GELORA.CO - China selama ini masih mengaku sebagai negara berkembang ketimbang negara maju. Ternyata, negara itu terkuak sebagai peminjam uang alias kreditor terbesar di dunia.
Melansir laporan CNBC, kucuran utang dari China ke berbagai negara membengkak menjadi lebih dari USD 5 triliun atau Rp 69 ribu triliun (USD 1 = Rp 13.921). Itu berdasarkan data periode 2000 dan 2017.
"Itu telah mentransformasi China menjadi kreditor resmi terbesar yang dengan mudah melewati IMF dan Bank Dunia," tulis laporan yang ditulis Carmen Reinhard dari Universitas Harvard bersama Christoph Trebesch dan Sebastian Horn dari Kiel Institute.
Secara keseluruhan, studi itu meneliti 2.000 pinjaman China kepada 152 negara pada tahun 1949-2017. Tercatat sejak tahun 2015 saja ada 50 negara berkembang yang terus menambah utang dari China.
Negara yang lebih maju berutang ke China lewat surat utang negara (sovereign bonds). Sementara, negara berpenghasilan rendah biasa mendapat utang langsung dari BUMN China seperti China Development Bank dan Export-Import Bank of China.
"Gencarnya pinjaman utang internasional itu adalah hasil pertumbuhan ekonomi China yang cepat, tetapi juga karena kebijakan going global dari China," ujar Tresbech yang menjadi kepala peneliti keuangan internasional dan pemerintahan dunia di Kiel Institute.
Selama ini China dikritik karena menggelontorkan utang lewat program Jalur Sutera Baru mereka. Foreign Policy dan berbagai pengamat kerap menyebutnya sebagai Diplomasi Utang (debt diplomacy).
Utang Tersembunyi
Masalah lain dari utang China adalah negara itu tidak transparan dalam pelaporan utang. Utang tersembunyi ini memberi dampak berat bagi negara seperti Venezuela, Iran, dan Zimbabwe.
Akibat dari kasus utang tersembunyi ini, ada negara yang utangnya tampak lebih kecil dari sebenarnya. Lembaga internasional seperti IMF kesulitan untuk menganalisis tingkat utang negara tersebut demi memberikan strategi dalam meringankan utang.
Meski bunga utang dari China lebih kecil, mereka memiliki tempo pembayaran yang lebih singkat. China pun siap menerima pembayaran dari sumber daya negara itu seperti minyak.
Tahun lalu, Sri Lanka harus rela menyerahkan pelabuhannya karena masalah utang ke China. Akibatnya, Diplomasi Utang China juga mendapat julukan Diplomasi Jebakan Utang (debt-trap diplomacy).
Menurut laporan Reinhard, Trebesch, dan Horn, daerah-daerah yang paling banyak berutang ke China adalah di wilayah Asia Tengah dan Timur Jauh (Asia Timur dan Tenggara) seperti Las dan Kamboja. Selanjutnya ada Amerika Latin dan negara Eropa Timur.
Impor China dari AS Turun 31 Persen Akibat Perang Tarif
Impor China dari Amerika Serikat merosot pada bulan Juni di tengah-tengah perang tarif dengan Washington, sementara ekspor ke pasar Amerika melemah.
Dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu, 14 Juli 2019. Impor barang-barang Amerika turun 31,4 persen dari angka tahun sebelumnya menjadi USD 9,4 miliar dolar.
Sementara ekspor ke pasar Amerika turun 7,8 persen menjadi 39,3 miliar dolar, sebut data bea cukai hari Jumat. Surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat melebar tiga persen menjadi 29,9 miliar dolar.
Perdagangan Amerika-China telah melemah sejak Presiden Donald Trump mulai menaikkan tarif tahun lalu terhadap berbagai produk dari China dalam perselisihan mengenai ambisi teknologi Beijing.
China membalas dengan menerapkan pajak tambahan dan memerintahkan para importir untuk mencari para pemasok non-Amerika.
Trump dan presiden China Xi Jinping sepakat pada Juni lalu untuk memulai kembali perundingan.
Ini membantu menenangkan pasar keuangan yang gelisah tetapi para pakar menyatakan peredaan ketegangan itu rapuh karena kedua pihak masih berbeda pendapat akibat sejumlah konflik yang sama yang menyebabkan gagalnya pembicaraan pada Mei lalu.
Para utusan perdagangan berbicara melalui telepon Selasa, 8 Juli 2019, dalam kontak pertama mereka sejak Trump dan Xi bertemu di Jepang, sebut Kementerian Perdagangan China. Kementerian itu tidak memberi rincian atau tanggal untuk kontak-kontak selanjutnya. [l6]