GELORA.CO - Pertemuan antara Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto tak bisa dimaknai sekadar silaturahmi dan nostalgia antartokoh.
Menurut pengamat komunikasi politik Universitas Mercu Buana, Maksimus Ramses Lalongkoe, ada agenda besar yang dimungkinkan menjadi bahasan dalam pertemuan kedua tokoh itu.
"Silaturahmi tentu, tapi perlu kita ketahui bahwa pertemuan Mega-Prabowo itu sudah didahului dengan pertemuan antara Pak Presiden (Jokowi) dengan Prabowo. Tentu ini berkaitan dan bukan sekadar silaturahmi biasa," kata Ramses, Kamis (25/7).
Berkenaan dengan hal itu, ada dua hal yang dibahas dalam agenda 'politik nasi goreng' yang disuguhkna kepada publik di kediaman Mega kemarin.
Pertama, kata dia, adalah soal kans pertarungan Pilpres 2024 mendatang. Seperti diketahui bersama, periode tersebut PDIP tak bisa lagi mengusung Joko Widodo sebagai capres.
"Bisa saja Prabowo dipasangkan dengan Puan di Pilpres 2024. Jadi nanti setelah periode 2019-2024, akan ada Prabowo-Puan," sambungnya.
Hal lain yang tak bisa lepas dari pembicaraan Mega-Prabowo adalah soal komposisi Kabinet Jilid II pemerintahan Jokowi. Menurut Ramses, suara Megawati masih kuat sebagai bahan pertimbangan oleh Jokowi untuk memberi masukan dalam menyusun komposisi kabinet.
"Prabowo atau Gerindra bisa masuk, tapi tentu ini menjadi menarik jika melihat partai politik koalisi Jokowi. Tapi kembali lagi, itu adalah hak prerogatif presiden," tandasnya.
Di sisi lain, partai koalisi Jokowi-Maruf berpandangan bahwa pertemuan dua tokoh tersebut tak lebih dari ajang silaturahmi. Seperti yang diutarakan Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily.
"Golkar melihat pertemuan itu adalah proses silaturahmi biasa pasca Pilpres 2019," kata Ace.
Hal serupa juga disampaikan oleh politisi PKS, Aboe Bakar Al-Habsyi yang menganggap politik nasi goreng ala Megawati itu tak ubahnya nostalgia sahabat lama. [md]