PEKERJAAN nelayan secara turun temurun diwarisakan kepada anggota keluarganya, terutama berlangsung pada nelayan kecil. Kemampuan menjadi seorang nelayan pun beradasarkan pengalaman dari generasi ke generasi, sedikit perubahan kalaupun ada paling hanya pada alat tangkap supaya bisa lebih menjaring ikan target tangkapan. Akan tetapi sekarang ini, pekerjaan nelayan sangat sedikit dilanjutkan oleh generasi keluarga nelayan atau hanya menjadi pilihan kesekian.
Pekerjaan nelayan memang memiliki resiko yang cukup besar, kesehariannya bisa saja dihadapkan dengan keadaan laut yang cepat berubah-ubah. Terpaan ombak dan angin besarpun bak kawan yang sering dijumpai, cuaca akhir-akhir ini memang tidak mudah diprediksi.
Selain itu, faktor penghasilan yang tidak menentu pun menjadi alasan utama minimnya pekerjaan nelayan menjadi pilihan. Misalnya di Desa Labuhan, Kecamantan Brondong, Kabupeten, Lamongan, Jawa Timur, para pemudanya lebih memilih menjadi TKI ke Malaysia dan Brunei. Lain halnya dengan di Muarareja, Tegal, para pemudanya lebih memilih menjadi nelayan ABK di negara-negara seperti Taiwan, Jepang, Selandia Baru, Afrika Selatan, Spanyol dengan alasan penghasilan yang pasti.
Tentu hal ini sangat disayangkan, ketika negara dengan luas total perairan mencapai 6,4 juta km2 dikemudian hari sepi dari aktivitas nelayan.
Tidak berbeda jauh dengan daerah-daerah yang sudah disebutkan, anggota keluarga nelayan di Kota Semarang mulai tidak lagi melirik pekerjaan nelayan sebagai pilihan. Mengingat penghasilan yang tidak menentu serta dukungan sarana prasarana yang cukup kurang, salah satunya seperti ketidakadaan SPBN yang menyebabkan kelangkaan BBM. Tidak aktifnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) padahal di perkampungan nelayan yang cukup padat, alhasil kedaulatan harga ikan tidak lagi menjadi milik nelayan.
Terkadang pekerjaan nelayan dipilih apabila mengalami musibah seperti di-PHK, dengan alasan adanya pengurangan pekerja di perusahaan atau habis masa kontrak. Ketika hendak melamar ke perusahaan lainnya, kadang saat itu usia mereka menjadi kendala untuk mencari pekerjaan selanjutanya. Sehingga pekerjaan nelayan menjadi pilihannya, fenomena ini bisa didapati di Tambak Lorok yang mana merupakan perkampungan nelayan terpadat di Kota Semarang. Saat ini nelayan di daerah tersebut kebanyakan berusia rata-rata 35 tahun ke atas bahkan sudah ada yang mencapai 50 tahun ke atas.
Lantas bagaimana dengan masa depan nelayan? Tentu harapannya ada komitmen bersama antara pemangku kebijakan dengan nelayan. Selain penjaminan pemenuhan pengadaan kebutuhan nelayan, keluarga nelayan bisa didorong untuk lebih kreatif, seperti istrinya bisa diberdayakan untuk berinovasi dalam pengolahan ikan ataupun anak-anak nelayan bisa diajari mengenai budidaya.
Jika melirik sektor budidaya, saya rasa ini bisa jadi sarana nelayan secara kelompok tentunya untuk mengelola sektor budidaya. Tujuannya agar nelayan memiliki sumber penghasilan cadangan dari kegiatan usaha perikanan tangkap, terlebih bila memasuki masa paceklik seperti gelombang tinggi yang memaksa nelayan tidak melaut.
Semoga pemerintahan Presiden Joko Widodo Jilid II, bisa menjawab permasalahan nelayan kecil yang sedikit banyak tersampaikan dalam catatan ini. Sehingga regenarasi nelayan tetap ada dan tingkat kesejahteraanya lebih baik.
Hendra Wiguna
Humas Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Semarang. [rmol]