GELORA.CO - Mantan sekretaris kementerian BUMN, Said Didu turut mengkritik kebijakan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir yang terkesan hanya berkutat pada persoalan konten diskusi mahasiswa. Padahal, problematika dalam pendidikan tinggi sangat luas dan kompleks.
“Menteri ini cuma sibuk ngawasi mahasiswa dan dosen serta arahkan pemilihan rektor,” cuit Said Didu di akun resminya, Rabu (31/7).
Sebelumnya, Menristekdikti Nasir memperbolehkan pembahasan paham-paham seperti marxisme dan khilafah di kampus asalkan sebatas ilmu pengetahuan dan di bawah bimbingan dosen. “Mengkaji ilmu pengetahuan di kampus silakan, yang tidak boleh adalah memilih itu sebagai ideologi, karena negara telah menetapkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Pancasila,” kata Nasir dikutip Antara.
Nasir mengatakan Indonesia memiliki empat pilar kebangsaan yakni NKRI, Pancasila sebagai ideologi bangsa, Undang-undang Dasar (UUD) 1945, dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar ini yang harus dipegang teguh oleh seluruh masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Dia mengatakan paham-paham di luar Pancasila dapat dibahas dan dikaji dalam bentuk kajian akademik dan secara terbuka atau di mimbar akademik. “Batasannya adalah mengkomparasikan,” katanya.
Jika orang berbicara tentang Pancasila berbicara tentang ideologi suatu negara, bagaimana negara-negara lain yang punya pengalaman ideologinya katakan marxisme, negara pakai ideologi kapitalis, ada satu negara khilafah, kenapa mereka melakukan itu, sejarahnya bagaimana mereka terjadi. Namun, menurut dia, Indonesia tidak pernah memilih itu, Indonesia telah memilih NKRI, Pancasila sebagai ideologi negara, Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar negara dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Dia mengatakan empat pilar kebangsaan itu merupakan hasil pemikiran para pendahulu yang berasal dari berbagai latarbelakang yang bertujuan untuk merajut kebersamaan dalam Indonesia yang satu. Sekalipun membahas paham-paham seperti marxisme, maka hanya sebatas kajian internal antara mahasiswa dan dosen dan tidak untuk publik.
“Ini hanya untuk konsumsi internal di dalam kajian akademik, kalau kajiannya dibawa keluar berarti propaganda, itu tidak boleh,” ujarnya.
Di samping itu, Nasir meminta seluruh rektor perguruan tinggi dan direktur politeknik di seluruh Indonesia untuk mendata nomor kontak telepon dan media sosial baik dosen, pegawai maupun mahasiswa untuk mencegah radikalisme. “Kalau memang itu terbukti, maka kita harus edukasi mereka, harus kembali ke NKRI,” ujarnya. [ns]