GELORA.CO - Ekonom senior, Rizal Ramli, membeberkan kaitan erat pergantian rezim di awal masa reformasi dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Rizal memberi penjelasan keada wartawan setelah memberi keterangan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK, Jakarta, pada Jumat (19/8).
Awalnya, mantan Menko Ekuin dan Menteri Keuangan itu menguraikan soal muasal Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI pada 2004, di saat dirinya sudah tidak lagi menjabat di pemerintahan. BLBI bermula dari tahun 1998 saat krisis moneter menimpa Indonesia pasca Soeharto jatuh dan keterlibatan International Monetary Fund (IMF). Krisis dipicu swasta-swasta Indonesia yang utangnya besar sekali pada waktu itu.
"Kemudian IMF menaikkan tingkat bunga Bank Indonesia dari 18 persen ke 80 persen dan akhirnya bank-nya tumbang semua. Akhirnya pemerintah terpaksa menyuntik dengan apa yang disebut dana BLBI," jelas Rizal kepada wartawan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (19/7).
Rizal mengatakan, besar suntikan dana BLBI itu sekitar 80 miliar dolar AS. Di era Presiden BJ Habibie dengan Bambang Subianto sebagai Menteri Keuangan, pembayaran utang BLBI diubah dengan model aset. Perubahan itu berkat lobi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) waktu itu, Glenn Muhammad Surya Yusuf.
"Tapi ada juga (bank) yang bandel, padahal enggak bagus asetnya, busuk atau belum clean and clear. Misalnya tanah, padahal surat-suratnya belum jelas tapi dimasukkan sebagai aset," ungkap Rizal.
Kemudian, BPPN meminta bantuan perusahaan finansial di Amerika Serikat, Lehman Brothers, untuk melakukan valuasi (prosedur untuk mendapatkan nilai atas saham dari suatu perusahaan). Namun, kerja Lehman Brothers dianggapnya janggal karena dalam waktu satu bulan sudah bisa menilai ratusan perusahaan.
"Sehingga tidak aneh, banyak kasus di mana ngaku sudah menyerahkan aset segini, kenyataannya enggak segitu. Seandainya pada waktu itu BLBI ini dianggap sebagai utang tunai, pemerintah Indonesia malah selamat," kata Rizal.
Waktu membawa Rizal menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Perindustrian (Menko Ekuin) di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut dia, posisi pemerintah secara hukum ingin memulihkan kondisi ekonomi kala itu.
"Tahun 2000 saya diangkat jadi Menko, saya pelajari kasus BLBI. Saya kaget ternyata posisi pemerintah lemah sekali secara hukum. Kenapa perjanjian Master Settlement and Acquisition and Agreement (MSAA) macam-macam itu didraf sama konsultan asing, dipasarkan. Itu membuat posisi tawar pemerintah Indonesia lemah," kata Rizal.
Kemudian, Rizal mengambil sikap dengan menuntut semua obligor BLBI menyerahkan "personal guarantee" agar posisi tawar pemerintah Indonesia lebih kuat. Personal guarantee itu membuat pemerintah dapat menagih utang sampai pada keturunan si obligor.
"Mereka menolak. Ada yang bilang enggak mau anak cucunya kena. Sampai ada yang bilang lebih bagus bunuh diri daripada harus menyerahkan personal guarantee," jelas Rizal.
Sayangnya, upaya menuntut personal guarantee yang dilakukan pemerintahan Gus Dur akhirnya kandas. Pemerintahan Gus Dur ditumbangkan parlemen.
"Tapi saya enggak tahu alasannya, setelah pemerintahan Gus Dur jatuh diganti pemerintahan berikutnya, personal guarantee itu diubah. Posisi pemerintah Indonesia jadi lemah lagi," ungkap Rizal. [rmol]