Oleh M Rizal Fadillah
Usul serius Hendro mengenai masa jabatan Presiden dan Kepala Daerah menjadi 8 tahun adalah mengada-ada. Datang sengaja kepada Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Usul lain yaitu Presiden dipilih oleh MPR. Alasan yang dibuat adalah soal mahal dan ruwetnya Pilpres 5 tahunan. Sepertinya usulan yang bagus tapi sebenarnya tidak, tentu inkonstitusional. Jika usul diterima katanya perlu addendum. Nampaknya Hendro tidak mengerti apa addendum dan amandemen dari Konstitusi. Timbul pertanyaan apakah ini pesanan Jokowi atau inisiatif sendiri, belum dilantik sudah pengen nambah. Ada ada saja. Negara ini kaya istana boneka, jadi main mainan.
Jika usulan itu fair maka dimaksudkan mestinya nanti setelah selesai periode 2019-2024. Lalu di dunia mana negara yang Presidennya sampai 8 tahun. Baru nemu Chili 6 tahun. Apakah ide Hendro itu berhubungan dengan baru saja China menetapkan Xi Jinping sebagai PM seumur hidup ? China memang negara otoriter "semi kekaisaran" yang sedang gencar membangun imperium dunia. Indonesia masuk paket target melalui proyek OBOR yang direspons bahagia oleh Pemerintah.
Adanya usul pemilihan Presiden dilakukan melalui MPR semestinya konsisten saja untuk "kembali ke UUD 1945" dengan demikian di samping tetap dipilih 5 tahun sekali juga harus "orang Indonesia asli". Jangan sekali kali menginginkan orang "asing" jadi Presiden.
Ini negara milik orang Indonesia. Dimerdekakan dengan darah orang-orang Indonesia. Presiden juga memang harus orang Indonesia asli. Itulah Presiden yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) jika konsisten.
Kedatangan tergesa gesa Hendropriyono kepada Ketua DPR RI dan tiba tiba usul pemilihan melalui MPR dengan perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi 8 tahun ini menimbulkan tanda tanya apakah usul kenegarawanan atau kepentingan ? Kepentingan pendek maksudnya. Semua tahu Hendro adalah tangan dari Presiden Jokowi dan ada yang menyebut sebagai "penentu" bersama Luhut, Moeldoko dan Wiranto. Jika konteksnya kenegarawanan mestinya datang ke MPR karena MPR yang memiliki kewenangan mengubah Konstitusi. Lagi pula Bamsoet adalah person yang "sedang" berkompetisi untuk menjadi Ketum Golkar bersaing dengan Airlangga.
8 tahun itu lama untuk menjabat Presiden. 5 tahun yang lalu saja ketika masa Presiden Jokowi, sudah ada semangat mengganti. Tagar ganti Presiden marak dan fenomenal. Kemenangan kedua Jokowi pun kontroversial. Suara tudingan kecurangan masih terdengar.
Moga benar alasan perpaniangan karena Pilpres secara langsung 5 tahunan itu mahal biayanya, bukan yang dimaksud adalah untuk dua periode itu mahal biaya kecurangannya.
Lagi juga Pak, 5 tahun pun terlalu lama untuk Presiden yang tidak disukai. Serasa panas duduk bersama pemimpin yang memuakkan. Namun sebaliknya 10 tahun masa jabatan akan menyenangkan jika pemimpin itu adil dan jujur serta memang berjuang serius untuk rakyat. Jadi relatif saja. Karenanya, sudahlah tetap 5 tahun sesuai aturan Konstitusi. Tak perlu berbuat bid"ah dengan menambah nambah menjadi 8 tahun. Kerja yang benar saja, jangan cuma bicara kerja dan kerja. Jangan sampai rakyat melihat sebenarnya tak ada yang ia kerjakan atau memang ia "bekerja" tapi seperti orang yang kurang kerjaan. Jabatan hanya nampang dan aksi-aksian. Rugi trilyunan untuk memilihnya.
Bandung, 13 Juli 2019 (*)