PIDATO kemenangan Joko Widodo pada 14 Juli 2019 di Sentul berisi visi kepemimpinan lima tahun ke depan. Normatif dan wajar dikemukakan, meski ada ahli hukum tata negara yang menanggapi baiknya isi pidato itu menjadi bahan debat sewaktu kampanye sehingga dapat dikritisi, dielaborasi atau diperdalam dalam debat. Tentu akan mencerdaskan.
Meskipun demikian sebagai pandangan visioner penting juga disampaikan sebagai tolok ukur ke depan untuk pembuktian dijalankan atau tidaknya serta kewajaran jika ada hambatan dalam pelaksanaanya.
Ada dua hal yang secara materi dan gaya tekanan bernada ancaman, yang pertama menyangkut ideologi Pencasila dan kedua soal penghambat investasi.
Aspek ideologi tekanan pada gangguan terhadap Pancasila dan kebhinekaan. Kualifikasi ancaman pengganggu Pancasila agak kurang jelas arahnya. Normatif semata, karena semua kepentingan dipastikan akan "berlindung" pada Pancasila.
Dulu Aidit pun mengklaim pembela Pancasila. Semestinya ancaman itu jelas apakah kapitalisme liberalisme, komunisme atau ideologi agama. Sebab dalam praktiknya selalu saja arah gangguan Pancasila ditujukan pada agama, ditambah dengan bumbu radikalisme dan intoleransi. Ini tentu tak benar. Agama bukan ancaman bagi Pancasila.
Yang ditunggu dari Bapak Jokowi adalah visi dan keberanian serta galaknya pada paham atau ideologi liberalisme dan komunisme. Paham ini yang perlu diancam secara serius. Secara spesifik rakyat sedang khawatir akan bangkitnya ideologi komunisme.
Aspek kedua adalah investasi yang dibuka seluasnya. Suatu keniscayaan bahwa investasi itu berkaitan dengan lapangan kerja. Akan tetapi investasi berbahaya jika tanpa katalisator. Di samping pertanyaan kelas mana dari lapangan kerja yang terjaring juga sejauh mana pembatasan pada tenaga kerja asing. Pada investasi dengan model "turn key" maka tenaga kerja dari negeri investor selalu didatangkan.
Aspek investasi tanpa kendali bisa mengarah pada penguasaan. Investasi dengan tandem utang luar negeri adalah sarana aneksasi. Ini yang biasa terjadi. Jadi sembarang ancaman dianggap bagi penghambat investasi bisa berlebihan. Investasi yang membahayakan kedaulatan negeri wajib dihambat. Wajib.
Pidato visi lima tahun akan jadi "tagihan" meski diliputi skeptisme. Soal infrastuktur, birokrasi, sumber daya manusia, investasi dan ideologi. Pengalaman lima tahun ke belakang nyatanya banyak janji yang tak terealisasi. Karenanya sebetulnya tak perlu pidato dengan ancam-ancaman. Nanti rakyat juga balik ikut mengancam. Jika budaya"kekerasan" dibangun dalam berpolitik dan berekonomi maka lima tahun ke depan nantinya menjadi seperti tanpa visi. Atau visi yang hanya ilusi dan basa basi. Pencitraan lagi, tepuk tangan lagi, dan tak terbukti lagi.
Langkah kaki yang tertatih-tatih hanya sekedar menyeret-nyeret kursi. Kursi berat yang dibeli dengan harga mahal. Memakan korban tewas tertembak serta ratusan petugas yang meninggal penuh misteri.
Kursi kayu yang rapuh dimakan rayap kroni, korupsi dan kolusi.
M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik. [rmol]