GELORA.CO - Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun mengatakan, pidato presiden Jokowi secara umum normatif, menghibur dan wajar sebagai Presiden, sudah seharusnya begitu. Makna pesannya bisa ditangkap dengan jelas diantaranya mengajak pentingnya kesadaran bahwa dunia saat ini sedang berubah, mengajak merubah mindset, mengajak efisiensi dalam bekerja, mengajak semangat bekerja, meneruskan pembangunan infrastruktur, membangun SDM dari kandungan, mengajak tidak pungli, mengajak bersatu dan pentingnya persatuan dalam membangun bangsa di masa depan.
“Pidato Pak Jokowi sangat menghibur puluhan ribu peserta Pidato Politik Jokowi yang bertajuk Visi Indonesia itu,” kata Ubedillah, Senin (15/7).
Meski demikian, menurut Ubedillah, secara gaya komunikasi publik pidato Jokowi mulai menarik karena kali ini ia berpidato tanpa teks yang menggebu-gebu. Namun Ubedillah memberikan catatan khusus secara diksi yang dipilihnya.
Dalam pidatonya, Jokowi memuat diksi-diksi yang agak berbau sentralistik dan sedikit keras, misalnya dengan kata-kata, ‘saya kejar’, ‘saya hajar’, ‘saya copot’, dan seterusnya. Namun seringkali tidak menyebutkan indikator yang jelas, misalnya menggunakan diksi tidak ada tempat bagi siapa saja yang mengganggu Pancasila tapi tidak menjelaskan ciri-ciri yang mengganggu Pancasila itu seperti apa.
“Ini berpotensi munculnya hegemoni makna atas tafsir Pancasila dan berpotensi otoriter atas nama Pancasila untuk membungkam mereka yang berbeda secara politik,” katanya
Menurutnya secara substansial visi yang dinarasikan dalam pidato Jokowi kurang visioner terutama pada dua hal yang justru penting ditunggu tunggu publik.Pertama, jika judul besar pidato Jokowi itu adalah Visi Indonesia, secara umum tidak menggambarkan visi yang kuat tentang visi.
“Sebab visi adalah bicara tentang masa depan Indonesia selama masa kepemimpinanya lima tahun kedepan. Terutama misalnya Jokowi tidak bicara Visi Ekonomi lima tahun kedepan itu ekonomi Indonesia akan seperti apa, hanya terucap kita akan bekerja keras, bangun infra struktur dan membuka investasi sebesar besarnya, itu bukan visi tapi itu cara mencapai visi,” Katanya.
Padahal publik Indonesia dan dunia internasional berharap kejelasan visi ekonomi periode kedua ini, misalnya bagaimana posisi ekonomi Indonesia lima tahun ke depan ditengah dinamika perang dagang Amerika dan China. Seperti apa wajah ekonomi lima tahun kedepan ditengah surplus demografi, dan kira kira lima tahun kedepan target angka pertumbuhan ekonomi kita seperti apa.
“Soal ini masih abstrak. Tidak terlihat dengan jelas,” tutur Ubedillah.
Kedua, Jokowi sama sekali tidak bicara visi kemanusiaan Indonesia. Padahal problem hak azasi manusia di Indonesia saat ini sedang menjadi sorotan dunia internasional.
Selama lima tahun periode pertama nyaris tidak ada satupun kasus hak azasi manusia yang tertangani dengan baika. Alih alih menangani kasus HAM yang lama, kasus HAM yang baru justru hadir di periode pertamanya yang nanti akan menjadi beban pemerintahanya selama lima tahun kedepan, seperti peristiwa penangkapan aktivis dan peristiwa penembakan dengan peluru tajam pada peristiwa 22-23 Mei 2019 di Jakarta.
“Visi kemanusiaan ini harusnya dibingkai dalam konteks visi demokrasi. Tapi visi demokrasi juga tidak dinarasikan dalam pidato tersebut hanya mengatakan demokrasi keadaban dan hentikan caci maki tapi seperti apa bentuk, pola dan sistemnya tidak dinarasikan sebagai visi demokrasi dalam pidato tersebut,” ujar Ubedillah.
Ia menambahkan, jika visi demokrasi dan hak azasi manusia Indonesia selama lima tahun kedepan tidak jelas, ini akan menjadi salah satu beban berat pemerintahan Jokowi selama lima tahun kedepan. “Masalah ini menambah deretan persoalan selain soal ekonomi yang tak tentu arah,” kata pengamat sosial politik Universitas Negeri Jakarta itu. [ns]