Periode pertama Jokowi membesarkan dua partai: PKB dan Nasdem. Ikatan utang piutang politik di-closing dengan memenangkan Jokowi di Pilpres 2019.
PDI Perjuangan pegang kunci kemenangan Jokowi. 16 provinsi dikuasai. Sumatera, Kalimantan, Indonesia Timur. PDIP bikin hattrick di dua provinsi. Di Jawa Timur, dia menumbangkan PKB sebagai penguasa primordial.
PDIP mementahkan mitos pemenang Pilgub Jakarta otomatis menang di Pilpres dan Pileg. Enggak main-main, Jakarta dikuasai dengan angka 24 persen.
Perbedaan PDIP dan Partai Nasdem sekitar 15 juta suara. Too wide. Jauh. Wajar bila PDIP punya dominasi menentukan arah Jokowi periode Dua.
Bagi PKB, Partai Demokrat, beberapa partai gagal treshold dan tokoh muda, Pilpres 2019 bukan hanya menangkan Jokowi. Motif utamanya menjegal Sandiaga Uno berkuasa.
Sehingga bursa Pilpres 2024 akan diisi orang baru. Start dari nol. Tidak ada incumbent.
Jadi Jokowi tidak benar-benar berutang budi kepada golongan yang disebut di atas. Justru mereka butuh Jokowi dalam rangka agenda besar subjektif 2024.
Pemerintahan Jokowi aman bila ditopang tiga partai dua digit: PDIP, Gerindra dan Golkar.
Statement Ibu Megawati di Pertemuan Tengku Umar jelas menyatakan, "sistem Indonesia tidak mengenal oposisi".
Artinya dia ingin merangkul semua partai lolos parliamentary threshold duduk bersama membangun negeri. Tidak terkecuali PKS.
Pertemuan semi konspiratif empat parpol hanya menghasilkan manuver Surya Paloh makan siang dengan Anies Baswedan. Golkar pasti blocking ke Mega-Pro. PKB beri sinyal positif dengan statement di Harlah 21 PKB.
Sikap dan manuver Partai Demokrat yang lentur sulit diterima kiri-kanan. Sekeras apa pun kadernya menjilat. Ibu Megawati enggan. Pak Prabowo ya so so. Tempat paling pas bagi Partai Demokrat dalam rangka AHY 2024 adalah oposisi.
PKS masih usung jargon "Kami Oposisi". Tarik menarik internal Nasdem. Jika mengkristal dan tidak bisa diubah, maka PKS-Nasdem-PD akan jadi oposisi.
*) Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak).