Nasdem Mau Menjadi Oposisi, yang Benar Saja?

Nasdem Mau Menjadi Oposisi, yang Benar Saja?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Hersubeno Arief

WARTAWAN senior dan anggota Dewan Redaksi Media Group Saur Hutabarat Kamis (25/7) membuat sebuah tulisan menarik tentang pertemuan Megawati-Prabowo.

Kesimpulan artikel berjudul “Megawati Ketemu Prabowo” itu berada di akhir  tulisan.

“Jika Gerindra dibawa PDIP masuk ke pemerintahan Jokowi jilid II, dan Jokowi menggunakan hak prerogatif menyetujuinya, semua itu sah secara konstitusional.“

“Bila itu yang terjadi, kiranya juga bagus bagi demokrasi, bagi tegaknya checks and balances, bila ada partai pengusung Jokowi yang berada di luar kabinet. Inilah kawan sejati yang memilih dari parlemen mengontrol kawan yang berkuasa di pemerintahan.”

“Adakah partai macam itu? Bukan mustahil Partai Nasdem mengambil pilihan itu.”

Disampaikan dengan argumen yang cukup kuat, tanpa nada menggugat, artikel itu bisa dilihat sebagai sebuah sikap resmi dari Big Bos Media Group sekaligus Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (SP).

Sebagai seorang petinggi Media Group, mantan wartawan senior majalah Tempo itu adalah salah satu orang dekat (inner circle) SP. Dia paham betul cara berpikir dan apa yang dimaui SP.

Jadi apa yang dia pikirkan dan disampaikan ke publik dipastikan tidak jauh berbeda dan tidak mungkin bertentangan dengan sikap resmi yang akan diambil partai. 

Apa yang dipikirkan oleh SP, itulah yang dia tuliskan. Apalagi tulisan itu dimuat di harian Media Indonesia corong resmi dari Partai Nasdem

Gagasan Nasdem menjadi oposisi  yang disampaikan Saur, sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan. Publik bisa dengan mudah menangkap: SP tidak happy dengan acara makan siang Megawati-Prabowo.

Tanda-tandanya sangat kuat dan mudah dibaca. SP sebelumnya bertemu dengan tiga orang  ketua umum partai koalisi Jokowi (Golkar, PPP, dan PKB), tanpa wakil PDIP. Dia juga bertemu dan makan siang dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Pertemuan itu dihelat bersamaan dengan makan siang Megawati-Prabowo.

Semua itu adalah signal-signal politik yang ditujukan kepada Jokowi dan Megawati. Ketika gagasan itu disampaikan secara eksplisit melalui sebuah opini di media resmi, masalahnya menjadi lain. 

SP telah menyampaikan isyaratnya secara lebih tegas, tidak tersamar, dalam bahasa yang terang, namun belum menjadi sikap resmi partai yang dipublikasikan ke publik.

Kekecewaan SP sesungguhnya sangat wajar. Sebagai partai koalisi pendukung Jokowi, Nasdem berhak kecewa. 

Setelah berjibaku mendukung Jokowi melalui kontestasi berdarah-darah, tetiba Jokowi dan PDIP malah mengajak lawan mereka bergabung ke dalam pemerintahan.

Apalagi bila nanti jatah kursi yang diberikan kepada Gerindra lebih banyak, lebih penting, dan lebih basah dibanding parpol lainnya. Lengkap sudah.

Pertama, praktik politik yang dilakukan oleh Jokowi dan Megawati tidak wajar dalam sebuah proses demokrasi. 

Benar seperti dikatakan Saur, dengan mengajak Gerindra bergabung ke dalam pemerintahan, akan menimbulkan problem serius pada proses ketatanegaraan kita. Di negara demokrasi yang benar, menganut pembagian kekuasaan.  Eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica).

Dengan bergabungnya Gerindra, koalisi pemerintah akan menguasai lebih dari 70 persen kursi di parlemen. Hal itu jelas akan menimbulkan implikasi serius pada praktik demokrasi. Mengganggu proses checks and balances.

Kedua, kehadiran Gerindra dipastikan akan mengganggu dan mengurangi jatah kursi parpol pendukung Jokowi. 

Tidak perlu malulah membicarakan masalah ini. Absah dan halal.

Kendati soal ini berkali-kali dibantah, dan SP selalu menyatakan mendukung Jokowi tanpa syarat, tapi alasan itu terlalu naif. Hanya lips service. Basa-basi seorang politisi.

Di belakang layar dipastikan saat ini tengah terjadi tawar menawar, tarik menarik, dan rebutan pos-pos kementerian, jabatan yang penting dan strategis. 

Koran Tempo misalnya melaporkan, saat ini PDIP dan Nasdem tengah bersitegang memperebutkan posisi Jaksa Agung.

Tidak ada salahnya dan sangat absah dukungan politik yang diberikan oleh Nasdem harus mendapat kompensasi yang setimpal.

Pada awal Kabinet Jokowi Jilid I, Nasdem mendapat jatah tiga kursi menteri dan Jaksa Agung. Jatah itu berkurang satu, ketika Jokowi melakukan reshufle kabinet jilid I. Menkopolhukam pos yang ditempati oleh kader Nasdem Tedjo Edhy Purdijatno diganti Luhut Binsar Panjaitan.

Ketiga, sudah lama diketahui SP dan Prabowo mempunyai hubungan yang tidak harmonis.  

Sepanjang proses pilpres berjalan, Prabowo selalu menolak diwawancarai stasiun Metro TV milik SP. Dalam berbagai kesempatan Prabowo secara demonstratif menyatakan ketidaksukaannya terhadap Metro TV di depan publik.

Perseteruan ini tampaknya bisa kita runut dari kasus meledaknya bom di sebuah rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta 18 Januari 1998. Bom tesebut meledak di kamar yang disewa oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).

SP bersama kakak beradik Jusuf dan Sofyan Wanandi (CSIS) dituding terlibat dalam kasus itu. SP sempat diperiksa oleh aparat militer. Saat itu Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus dan dua bulan kemudian diangkat menjadi Pangkostrad.

Mungkinkah Nasdem Oposisi?

Pertanyaannya sekarang: Seberapa serius “ancaman“ menjadi oposisi itu?

Jawabannya sangat tergantung bagaimana Jokowi, terutama Megawati meresponnya. Manuver SP sampai saat ini boleh dibilang masih belum serius. 

Hanya warning yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam silat hanya jurus kembangan. Bukan serangan yang mematikan.

Harus dipahami yang kecewa dengan masuknya Gerindra bukan hanya SP. Para ketua umum parpol pendukung lainnya juga sangat kecewa. Bahkan lebih khawatir. Ngeri-ngeri sedap karena jatah kursinya akan berkurang. 

Bukan tidak mungkin perannya di pemerintahan Jokowi juga diambilalih Gerindra. Jangan lupa perolehan suara Gerindra pada pemilu lalu berada di urutan kedua di bawah PDIP. Koalisi PDIP-Gerindra akan menjadi duet yang mendominasi pemerintahan Jokowi.

Ada beberapa alasan mengapa SP tidak mungkin begitu saja mengambil langkah secara frontal meninggalkan Jokowi, dan terutama Megawati.

Pertama, hubungan SP-Megawati telah berlangsung cukup lama. Bahkan sudah sejak  pemerintahan Orde Baru. Ketika Megawati menjadi salah satu oposisi utama Soeharto. SP selalu mesuport Megawati.

Hubungan ini cukup menarik. SP juga dikenal mempunyai hubungan dekat dengan putra-putri Soeharto. Rosano Barack adik ipar SP adalah salah satu petinggi di Bimantara. Perusahaan itu dimiliki Bambang Trihatmodjo putra Soeharto. 

Apakah mungkin hanya gegara bergabungnya Prabowo ke pemerintahan, membuat SP dan Megawati melupakan persahabatan lama yang sudah terjalin. 

Kedua, sebelum mendirikan Nasdem, SP adalah politisi Golkar. Para kader partai berlambang pohon beringin ini tidak terbiasa berada di kubu oposisi. Habitat mereka selalu berada dalam kekuasaan.

Kebetulan pula sejak berdiri pada tahun 2011 dan ikut pemilu pertama kali pada tahun 2014, Nasdem langsung bergabung menjadi partai penguasa. Mereka menjadi salah satu parpol pengusung Jokowi-Jusuf Kalla.

Ketiga, SP adalah politisi sekaligus pengusaha. Berada di luar pemerintahan tidak hanya membuat posisi Nasdem akan kesulitan bermanuver, juga dipastikan berdampak tidak baik bagi kerajaan bisnis SP. 

Peran SP di Nasdem sangat sentral. Eksistensi Nasdem tidak lepas dari topangan hasil bisnis SP. Meminjam kalimat yang pernah diucapkan Prabowo, kondisi Nasdem saat ini “Akan timbul tenggelam bersama SP.”

Dengan kalkulasi semacam itu, sulit membayangkan SP akan mengambil langkah frontal: MENJADI OPOSISI!

SP saat ini sedang merajuk saja. Semuanya sangat bergantung bagaimana Jokowi dan "sekali lagi" terutama Megawati menyikapinya. 

Kita tingal menunggu apakah jargon:  A friend in need is a friend indeed, teman sejati adalah teman di waktu susah dan senang,  masih berlaku juga di dunia politik. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita