PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan Visi Indonesia pada 14 Juli 2019. Menurut Jokowi, salah satu perhatiannya adalah mengundang investor yang seluas-luasnya. Jokowi melarang adanya pihak yang alergi terhadap investasi. Menurutnya, dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka sebesar-besarnya. Jokowi pun memberikan ancaman kepada mereka yang menghambat investasi. Secara khusus, Jokowi mengancam birokrasi yang lambat dan berbelit-belit.
Narasi Usang
Pidato Jokowi ini menuai kritikan dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyatakan bahwa pidato ini merupakan narasi usang. Pangi menilai Jokowi terlihat menggebu-gebu membahas investasi. Narasi Jokowi yang akan menghajar siapapun yang menghambat investasi justru menimbulkan kecurigaan bahwa Jokowi membela korporasi besar atau pihak-pihak yang sudah berkontribusi di kampanye Pilpres 2019. Apalagi selama lima tahun periode pertama Jokowi, penciptaan lapangan kerja kurang terlihat.
Sementara itu Manajer Kajian Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Boy Even Sembiring mengatakan pernyataan Jokowi yang mengundang investasi seluas-luasnya merupakan sebuah pandangan yang usang dan sudah waktunya ditinggalkan. Rakyat semestinya ditempatkan sebagai subjek yang mampu mengelola kekayaan alamnya lewat kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat. Genjot investasi seperti itu tidak lebih dilihat hanya sebagai trickle down effect.
Mengokohkan Imperialisme
Pada tahun 2014, Ichsanudin Noorsy menyatakan bahwa dengan membuka peluang sebesar-besarnya terhadap asing Jokowi sama saja menyerahkan pembuluh darahnya kepada asing sehingga kapan saja bisa diambil. Investor asing akan leluasa menjarah kekayaan alam Indonesia secara legal. Sementara rakyat tak bisa menikmati kekayaan alamnya sendiri. Rakyat tenggelam dalam kemiskinan, sementara kekayaan alamnya diusung keluar negeri.
Jelaslah bahwa pemerintah melakukan liberalisasi ekonomi melalui visi ini. Jika liberalisasi ekonomi terus-menerus terjadi, kedaulatan negara akan tergadai. Rakyat akan menjadi budak di negeri sendiri. Hakikatnya, ini adalah penjajahan ekonomi. Namun melalui istilah manis investasi. Memang ada janji transfer teknologi pada setiap perjanjian investasi, namun nyatanya tak terealisasi hingga kini.
Ironisnya, pemerintah sibuk mengundang investasi asing sementara BUMN dan industri dalam negeri sedang bermasalah. Terhitung 24 perusahaan pelat merah merugi pada semester I/2017, lalu tahun 2018 maupun 2019. Kerugian 24 BUMN pada semester I/2017 saja sebesar Rp 5,852 triliun. Dalam catatan PB FEMMI, ke-24 BUMN yang mengalami kerugian tersebut adalah PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), Perum Bulog, PT Berdikari (Persero), PT Indofarma (Persero) Tbk, PT Energy Management Indonesia (Persero), PT Hotel Indonesia Natour (Persero), PT Pos Indonesia (Persero), Perum PFN, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Balai Pustaka (Persero), PT PAL Indonesia (Persero).
PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Boma Bisma Indra (Persero), PT INTI (Persero), PT Dirgantara Indonesia (Persero), PT Amarta Karya (Persero), PT PDI Pulau Batam (Persero), Perum Damri, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Danareksa (Persero), PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero), PT Iglas (Persero), dan PT Istaka Karya (Persero).
Seharusnya pemerintah menyibukkan diri untuk membenahi BUMN dan industri dalam negeri. Serta menguatkannya sehingga membawa keuntungan bagi rakyat. BUMN yang kuat akan menjadi pemimpin di negeri sendiri, atau bahkan di level regional dan internasional. Mengundang investasi asing seluas-luasnya berarti pemerintah lepas tangan dari pengurusan rakyat dan menyerahkannya pada swasta. Regulasi pun banyak dikepras untuk memudahkan investor. Padahal regulasi yang berlapis seringkali ditujukan untuk menjaga kedaulatan agar tidak semua sektor strategis dikuasai asing. Jika semua di-deregulasi, lantas rakyat dipaksa berkompetisi dengan kapitalis asing bermodal besar, ini tentu persaingan yang tak seimbang. Akhirnya banyak industri rakyat yang gulung tikar, sementara buruhnya DI-PHK. Akibatnya, janji penciptaan lapangan kerja tak terwujud, pengangguran justru merajalela.
Ekonomi Berdikari
Seharusnya Indonesia berupaya untuk membangun ekonomi di atas kakinya sendiri. Ekonomi yang berdikari akan terwujud jika negara konsisten pada sebuah ideologi yang benar. Ideologi ini yang menjadi sandaran sistem ekonominya. Negara tak boleh tertipu kamuflase negara barat yang seolah membantu namun nyatanya menipu. Ideologi yang benar akan memberikan solusi ekonomi yang menyejahterakan. Seperti sistem ekonomi Islam yang kini dilirik barat. Misalnya dalam konsep zero interest (bebas riba). Bank-bank di barat seperti di negara Inggris justru mengadopsi konsep ini sebagai obat saat perbankan mereka kolaps karena buble economy. Pemerintah harus menghentikan ketergantungan terhadap asing dan menjalankan sistem ekonomi yang berdikari. Jika tidak, sekian tahun kedepan Indonesia akan sold-out. rmol.id
Ragil Rahayu, SE
Komunitas Revo-ekonomi. [rmol]