GELORA.CO - Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi membebaskan terdakwa korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Padahal sebelumnya, pengadilan menyatakan Syafruddin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam perkara ini sehingga dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Peneliti ICW Kurnia Ramadana mengatakan putusan kasasi MA atas Syafruddin ini akan berimplikasi serius terhadap tingkat kepercayaan publik kepada lembaga peradilan.
ICW mendesak Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memeriksa Hakim yang mengadili perkara Syafruddin. "Jika ditemukan adanya pelanggaran maka hakim tersebut harus dijatuhi hukuman," kata Kurnia dalam siaran persnya, Selasa (9/7) malam.
ICW menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap mengusut tuntas perkara yang melibatkan dua tersangka lainnya, yakni Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sembari mengupayakan memaksimalkan pemulihan kerugian negara Rp 4,58 triliun.
Menurutnya, langkah KPK yang menggiring praktik rasuah ini ke ranah pidana sudah tepat. Terlebih, kata dia, sudah ada tiga putusan pengadilan yang membenarkan langkah KPK. Mulai dari praperadilan, pengadilan tingkat pertama, dan pada fase banding.
"Ketiganya menyatakan bahwa langkah KPK yang menyimpulkan bahwa perkara yang melibatkan Syafruddin murni pada rumpun hukum pidana telah benar," ungkap Kurnia.
Karena itu, Kurnia menyatakan, tidak ada landasan hukum apa pun yang membenarkan bahwa perkara ini berada dalam hukum perdata ataupun administrasi.
Perlu ditegaskan, banyak pihak yang seakan menganggap putusan MA kali ini dapat menggugurkan penyidikan KPK atas dua tersangka lain, yakni Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah keliru. Menurut dia, pada dasarnya Pasal 40 UU KPK telah menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Jadi, KPK dapat tetap melanjutkan penyidikan dan bahkan melimpahkan perkara Nursalim ke persidangan," katanya.
Sebagai informasi, jelas Kurnia, Syafruddin sebelumnya dinyatakan bersalah telah memperkaya salah satu obligor BLBI, Sjamsul Nursalim (Pemegang Saham Pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia) Rp 4,58 triliun atas dasar pengeluaran SKL. Padahal yang bersangkutan mengetahui aset yang dijaminkan oleh Nursalim berstatus misrepresentasi, sehingga tidak layak diberikan SKL.
"Pengeluaran SKL ini berdampak serius, karena mengakibatkan hak tagih negara menjadi hilang pada Nursalim," kata Kurnia, Selasa (9/7) malam.
Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim adalah sebesar Rp 47,2triliun (angka ini diperoleh berdasarkan kucuran BLBI yang diterima oleh BDNI dan total dana nasabah). Pada masa itu Nursalim mengklaim memiliki aset Rp 18,8 triliun, salah satunya diperoleh dari pinjaman petani atau petambak PT Dipasena Rp 4,8 triliun. Jadi jumlah kewajiban Nursalim dikurangi dengan aset yang ia miliki adalah senilai Rp 28 triliun.
Persoalan pun timbul, aset Rp 4,8 triliun yang dijaminkan Nursalim kepada negara untuk melunasi utang-utangnya ternyata bermasalah. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Saat itu BPPN telah melakukan dua model audit, yakni Financial Due Dilligence dan Legal Due Dilligence.
Kesimpulannya menerangkan bahwa aset ini dikatagorikan sebagai misrepresentasi atau sederhananya tidak sesuai dengan nilai yang disebutkan.
Tentu ini menimbulkan persepsi bahwa ada niat jahat (mens rea) dari Nursalim untuk berupaya mengelabui negara atas pelunasan uutangnya.
Selang waktu enam tahun kemudian, tepatnya pada Februari 2004 diadakan rapat kabinet terbatas yang dihadiri Presiden untuk membahas usulan dari Syafruddin yang meminta agar sisa utang Nursalim dihapus.
Padahal yang bersangkutan mengetahui secara jelas bahwa aset Rp 4,8 triliun milik Nursalim itu sedari awal bermasalah berdasarkan penjelasan audit di atas.
Dari data yang ditemukan diketahui bahwa rapat terbatas tersebut tidak membuahkan sebuah kesimpulan, atau dapat dikatakan presiden sama sekali belum memberikan persetujuan atas usul penghapusan utang itu.
Namun terjadi hal yang di luar dugaan, dua bulan pascarapat kabinet itu tiba-tiba BPPN menerbitkan SKL pada Nursalim. Kebijakan ini yang mengakibatkan Nursalim seakan terbebas dari kewajiban hukumnya, yakni melunasi utang BLBI pada negara.
Pada 2007 aset Nursalim yang telah dijaminkan kepada negara dilelang oleh Kementerian Keuangan. Benar saja, dua audit yang menghasilkan kesimpulan misrepresentasi atas aset Nursalim terbukti. Aset yang sedari awal diklaim Nursalim bernilai Rp 4,8 trilyun ternyata hanya laku Rp 220 miliar.
"Atas dasar selisih nilai aset itulah kemudian kerugian negara yang timbul atas kasus ini Rp 4,58 triliun," kata Kurnia. [jn]