GELORA.CO - PAKAR Hukum Tata Negara Prof Mohammad Mahfud MD meminta untuk menyudahi perdebatan curang dan tidak curang Pilpres 2019 di publik.
Sebab, kata Mohammad Mahfud MD, yang harus menjadi perhatian kali ini ialah perbaikan Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) ke depannya.
Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) dengan tema Setelah Vonis MK: Seperti Apa Wajah Demokrasi Kita? Mahfud menjelaskan UU Pemilu masih memiliki banyak cacat.
“Segera memperbaiki kembali UU Penyelenggaraan Pemilu,” kata Mahfud dalam tayangan Youtube ILC pada Rabu (3/7/2019).
Misalnya saja kata Mahfud ialah soal kesepakatan Presidential Threshold yang perlu dibicarakan lagi.
“Kita perlu diskusikan lagi, apa harus 20 persen, atau kalau ada harus berapa?” ujar Mahfud.
Selain itu yang tidak kalah penting, sistem Pemilu Proporsional juga kata Mahfud harus dibicarakan lagi.
“Mau proposional terbuka atau tertutup,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2008-2013 itu.
Mahfud pun mengkritisi sistem proporsional terbuka yang kini tengah dijalankan Indonesia.
Menurut Mahfud MD, sistem proporsional terbuka tersebut membuat partai-partai di Indonesia mengalami krisis kader.
Sebab, mereka akan lebih memilih yang populer untuk maju di perebutan kursi legislatif.
“Karena dengan sistem sekarang ini, orang sering beli kursi karena popularitasnya, padahal dia gak ngerti ideologi partai,” jelas Mahfud.
Apa itu sistem proporsional terbuka?
Sistem proporsional terbuka adalah sebuah sistem Pemilu yang memungkinkan pemilih (konstituen) menentukan nama caleg untuk lolos atau terpilih menjadi wakil rakyat, dengan cara mencoblos nama.
Sistem proporsional terbuka memungkinkan caleg yang bukan kader partai dan nomor urut di bawah tetapi terpilih karena memiliki modal dan populer.
Mahfud memberi contoh dampak sistem proporsional terbuka seperti yang tengah dialami oleh PDI Perjuangan dan PKB.
“Banyak, misalnya banyak orang di PDIP itu gak ngerti ideologi Bung Karno itu apa, banyak di PKB gak ngerti Aswaja karena masuk populer,” terang Mahfud.
Mahfud juga enggan untuk disalahkan atas keputusan sistem proporsional tertutup.
Menurutnya, meskipun pada eranya MK memutuskan hal tersebut, keputusan dominan tetap ada di DPR dan Pemerintah.
“DPR dalam UU No 8 pasal 5 katakan penetapan hasil suara pemilihan ditetapkan dengan suara terbanyak secara berurutan, MK hanya coret syarat-syarat untuk itu sesudah lebih dari 30 persen, sedangkan pemilihan terbanyak DPR, artinya DPR dan pemerintah bisa ubah lagi,” kata Mahfud.
Diketahui sistem pemilu proporsional terbuka adalah pemilih memilih langsung nama calon, dan calon terpilih kemudian ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Sedangkan sistem pemilu proporsional tertutup adalah pemilih hanya memilih partai politik, dan calon terpilih kemudian ditentukan berdasarkan nomor urut yang telah ditetapkan oleh partai politik.
Indonesia memakai sistem pemilu proporsional tertutup pada masa Orde Baru. Pada masa itu sistem oligarki kepartian dan partai semakin menguat.
Namun belakangan sistem ini dikritik oleh beberapa pihak.
Pengkritik itu di antaranya adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Mohammad Mahfud MD.
Mahfud mengungkapkan sistem ini menciptakan banyaknya praktik politik transaksional di masyarakat.
Masyarakat tidak mengenal caleg atau programnya, namun memilih karena banyaknya APK dan amplop.
"Kalau di sistem tertutup masyarakat tinggal pilih partainya. Nanti partai yang akan memilih calegnya," kata dia.
Menurutnya, sistem ini juga tidak menutup kemungkinan adanya suap pada elit politik untuk penentuan caleg.
Hal ini berdasar atas isu yang didengarnya.
"Namun, daripada eceran yang disuap. Dulu diputuskan oleh MK untuk sistem proporsional terbuka, namun itu bukan keharusan, " urainya. []