Kata Yusril Ihza Mahendra soal Kasus Habil Marati hingga Strategi Rekonsiliasi Pilpres

Kata Yusril Ihza Mahendra soal Kasus Habil Marati hingga Strategi Rekonsiliasi Pilpres

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -Yusril Ihza Mahendraangkat bicara soal kasusHabil Maratihingga strategi rekonsiliasi Pilpres.

Langkahnya Yusril Ihza Mahendra menjadi pengacara sejumlah tersangka tindak pidana makar di negeri ini tidak hanya didasarkan atas argumentasi hukum, melainkan juga bermuara pada cita-cita mulia, rekonsiliasi. Yusril diketahui merupakan kuasa hukum pasangan capres cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam sidang sengketa Pilpres 2019.

Namun, pria yang sempat menjadi pengacara tersangka makar Rachmawati Soekarnoputri dan Kivlan Zen itu belakangan juga menangani perkara Habil Marati, tersangka pendana rencana pembunuhan empat pejabat yang notabene anak buah Presiden Jokowi. Berdasarkan keterangan kepolisian, Habil diduga memberikan uang sebesar 4.000 dollar Singapura dan Rp 50 juta kepada Kivlan Zen untuk membeli senjata api. Senjata api itu yang akan digunakan untuk membunuh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Kepala BIN Budi Gunawan dan Staf Khusus Presiden bidang Intelijen Gorries Mere.

Kasus rencana pembunuhan keempat pejabat tersebut muncul di tengah upaya penyelidikan kerusuhan terkait hasil Pilpres 2019 pada 21-22 Mei. Lantas, bagaimana Yusril menjalankan strateginya itu? Berupaya meringankan, bahkan membebaskan tersangka rencana pembunuhan pejabat, namun juga mengarahkan ke jalan rekonsiliasi elemen-elemen negeri?

Wartawan Kompas.com ,Rakhmat Nur Hakim, Kristian Erdianto, dan Fabian Januarius Kuwado berkesempatan mewawancarai Yusril secara khusus di kantornya Kasablanka Office Tower, Jakarta Selatan pada Jumat (12/7/2019). 

Berikut petikan wawancaranya:

Mengapa tertarik menangani kasus Habil Marati

? Tentu Anda akan tanya bukankah saya ini jadi lawyer-nya Pak Jokowi-Ma'ruf Amin. Tapi saya juga menangani kasusnya Pak Habil Marati

. Atau seperti dulu saya membela HTI di pengadilan TUN sampai selesai di MA. Akhirnya kami kalah semua. Tapi pada sisi lain saya juga menjadi lawyer-nya Pak Jokowi-Ma'ruf Amin dan seringkali pemerintah minta bantuan saya juga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum terkait juga soal-soal politik di negara ini. Barangkali ini sisi uniknya. Hal yang barangkali orang tidak mau lakukan atau tidak bisa lakukan tapi saya coba lakukan. Kemudian menemukan satu jalan keluarnya. Dan saya pikir saya berhubungan baik dengan semua pihak. Dan saya senang semua pihak percaya pada saya.

Persoalannya Pak Habil ini saya melihat ini kaitannya dengan upaya kita melakukan rekonsiliasi. Saya kira rekonsiliasi itu penting sesudah terjadinya hiruk pikuk pilpres, pileg yang begitu melelahkan kita semua. Lalu terjadi ketegangan. Masyarakat kita sepertinya terbelah dan saya pribadi mengalami hal itu. Kawan-kawan yang selama ini baik sama saya kadang-kadang juga kalau lagi susah minta tolong pada saya, tiba-tiba jadi musuh.

Tiap hari saya dicaci maki di media. Bahkan saya dibilang sudah kafir, sudah murtad dari Islam. Saya pikir ini hanya urusan pilpres, urusan kita beda pilihan, Anda dukung Pak Prabowo Subianto dan Pak Sandi, saya dukung Pak Jokowi dan Pak Ma'ruf, kok lantas Anda kemudian mengatakan saya murtad, saya jadi kafir. Sejak kapan Anda ini jadi Tuhan, saya pikir begitu ya.

Jadi kasusnya Pak Habil yang sekarang ini saya tangani ini, tiba saatnya nanti kasus kami pelajari semua, saya akan sampaikan ke Pak Jokowi. Pak, ini saatnya Bapak memberikan amnesti abolisi kepada mereka yang disangka makar. Baik yang terkait dengan 212 maupun yang sekarang ini terjadi.

Saya pikir itu baik bagi bangsa ini, baik bagi Pak Jokowi juga. Bahwa masyarakat akan melihat Pak Jokowi orang baik hati yang murah hati, orang yang... mungkin juga Pak Wiranto, yang mau dibunuh itu... Sudahlah, kita saling memafkan, rekonsiliasi. Semua dengan jiwa besar. Saya pikir bangsa kita jadi bersatu kembali. luka-luka kita selesai.

Cuma ya harus dikasih catatan seperti saya dulu mendraf amnesti dan abolisi kepada GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Jadi itu ada klausul. Amnesti dan abolisi ini menjadi batal demi hukum apabila mereka yang diberikan amnesti dan abolisi ini kembali menggunakan senjata untuk memperjuangkan Aceh merdeka. Jadi tetap terikat pada satu syarat.

Apakah Anda hendak menjadi jembatan bagi elemen-elemen yang berseberangan di negeri ini?

Ya sudah banyak saya melakukan hal seperti itu sebenarnya. Dulu misalnya pada 1999 sesudah terjadi masalah Timor Timur. Sudah terjadi kerusuhan Mei. Itu kan ada suara-suara membentuk semacam International Tribunal. Di Indonesia ini, kayak Rwanda dan Yugoslavia.

Itu saya mati-matian membuat Undang-Undang Pengadilan HAM. Dan itu meyakinkan dunia internasional, termasuk Dewan HAM PBB. Karena pada waktu itu di Dewan Keamanan PBB kita khawatir karena upaya untuk membentuk International Tribunal itu. Jadi dengan itu kan banyak perwira kita terselamatkan. Termasuk barangkali Pak Wiranto. Termasuk Pak Prabowo juga ya pada waktu itu.

Jadi ya tanpa beliau-beliau itu tahu saya melakukan upaya-upaya yang sebenarnya untuk melindungi bukan saja para jenderal kita pada waktu itu. Tapi juga kepentingan kita sebagai bangsa dan negara.

Konsep rekonsiliasi ini datang dari Pak Jokowi atau Anda sendiri? Saya jalan sendiri dulu. Tapi pikiran seperti ini belum saya kemukakan. Jadi Anda (Kompas.com) saja yang malah tanya. Tapi sudah ada dalam pikiran saya. Tapi saya berkoordinasi dengan Pak Jokowi. Karena Pak Jokowi keluar kemarin. Tapi message sudah saya sampaikan. Saya menangani masalah Pak Habil, karena Pak Habil meminta. Jadi saya akan bertemu Beliau. Mungkin saya akan tangani. Pokoknya jangan khawatir, lah. Pasti yang terbaik buat kita semua, lah. Alhamdulillah ya Beliau (Presiden) itu percaya pada saya.

Bagaimana respons Presiden ketika Anda memberi tahu akan menangani kasus Habil?

Hahaha... Pak Jokowi kan orangnya santai saja kalau saya ajak ngomong. "Gimana, Prof?" (menirukan gaya bicara Jokowi). "Pak Yusril, dijalankan saja". Orangnya kan enggak terlalu njelimet pikirannya. Simpel-simpel saja. Sederhana saja.

Walaupun saya belum bertemu langsung mengenai Habil, tapi saya sudah sampaikan juga melalui pejabat pemerintah kita juga yang memang terus-menerus bertemu Pak Jokowi. Saya enggak sempat bertemu Beliau. Tolong sampaikan bahwa saya menangani. Bagaimana? Saya bilang (ke pejabat pemerintah). (Pak Jokowi) bilang, jalan. Ya sudah saya jalan. Jadi bukan Pak Jokowi tidak tahu. Tahu.

Ada tanggapan dari Pak Jokowi melalui pejabat yang bersangkutan?

Nanti saya, kalau Beliau sudah datang, saya laporin.

Peluangnya Habil, bebas atau bersalah?

Belum. Karena belum final. Jadi kan ini kan begini, di samping itu kan juga teknis dakwaannya. Apakah nanti didakwa bersama-sama? Ataukah dia ini delik penyertaan? Kalau di delik penyertaan nanti siapa yang jadi auktor intelektualis? Ini makanya saya bilang jadi panjang kan. Aktor intelektualnya siapa? Apa Pak Kivlan? Atau siapa? Atau enggak mungkin? Lalu Habil. Habil ini yang punya duit, danain. Habil disuruh sama siapa atau dia punya niat sendiri? Jadi itu memang perlu pendalaman betul dalam hal ini.

Berdasarkan fakta yang disampaikan Habil, apakah peluang bebasnya besar?

Tentulah. Namanya dari sisi Pak Habil tentu akan seperti itu. Dari sisi penyidik yang akan memberatkan Pak Habil. Itu yang disampaikan.

Tapi kan saya mesti menilai secara obyektifnya bagaimana. Walaupun saya sebenarnya advokatnya Pak Habil. Tapi saya ingin supaya itu didudukkan secara proporsional.

Walaupun orang yang didakwa di pengadilan itu punya hak ingkar, tapi saya enggak ingin juga (itu dipakai). Anda nanti jangan bohong-bohong. Sebab dengan kejujuranlah, keterbukaanlah, itu ada dasar saya untuk bicara dengan Pak Jokowi.

"Pak, ini coba dipertimbangkan untuk amnesti abolisi".

Tapi kalau semua bohong-bohong kan celaka saya. Kalau dia bohong sementara saya sudah upayakan ini semua, celakalah saya.
[tn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita