OOleh: Yudhi Hertanto*
MENGANCAM! Konstruksi realitas tentang cadar menjadi sebuah ancaman menakutkan, bahkan rok mini pun tidak bisa mengalahkannya. Ketakutan menjalar ketika publik melihat ekspresi religiusitas, dibanding liberalisme. Bagaimana memahaminya?
Semua bentuk kognisi publik, saat ini khususnya tentang Islam dan ekspresi ke-Islaman, tidak lepas dari bagaimana dunia dikepung oleh kekhawatiran yang diproduksi pasca tragedi WTC 9/11.
Lalu generalisasi terjadi, Islam menjadi bagian yang diperlekatkan kepada wajah kekerasan. Terorisme, radikalisme, bahkan fundamentalisme adalah citra baru yang disematkan pada tubuh Islam.
Padahal, Islam adalah agama yang sejatinya membawa pembebasan dan kebaharuan, bahkan melengkapi sekaligus menggenapkan peradaban kemanusiaan.
Dalam konteks komunikasi, produksi teks dalam narasi Barat, menembus benak khalayak tentang Islam yang kelam, berwajah gelap penuh kesuraman. Hasil konstruksi itu pula yang kini timbul, terutama dalam realitas ruang publik kita hari ini.
Arabisasi atau Islamisasi?
Jika merujuk pada kajian Oliver Roy dalam Globalisasi Islam, maka mampu dipahami bahwa nilai-nilai Islam hadir sebagai wacana pembanding dari kegagalan proyek westernisasi yang ternyata gagal menghadirkan konsep keadilan dan kemanusiaan, bahkan melalui proses demokratisasi ala Barat sekalipun.
Problemnya, dalam tubuh pemeluk Islam pun, tafsir atas petunjuk Hadits dan Al Quran juga berkembang. Maka kegagalan internalisasi demokrasi pada negara-negara Islam dengan menggunakan mekanisme politik, membuat munculnya interpretasi baru atas pemaknaan Islam yang bisa jadi berbeda dari arus utama.
Komplikasi dari perbenturan situasi tersebut pada akhirnya menghadirkan model radikalisme dan terorisme sebagaimana konstruksi kognisi ala Barat. Mengakibatkan kita menjadi semakin alergi pada gagasan Islam, tetapi sekaligus permisif pada nilai liberalisme yang seolah modern dan kekinian.
Salah satu bentuk yang salah dipahami bahwa identitas ke-Islaman kemudian dijuluki sebagai Arabisasi, yang dimaknai berbeda dari Islamisasi. Kedua istilah tersebut, tentu perlu mendapatkan tempat berpangkal dalam pengistilahan.
Islam memang berakar serta bermula di jazirah Arab, meski budaya Arab tidak melulu merupakan budaya Islam, tetapi perlu dimengerti keberadaan Islam menyempurnakan sendi kehidupan dan budaya Arab.
Bagaimana dengan identitas religiusitas? Tengok saja hijab syari, bahkan cadar sebagaimana di awal tulisan, jenggot, celana cingkrang, atau pendidikan yang terpisah. Apakah itu budaya Arab atau menjadi aturan dalam Islam? Perlu diingat, sebelum Islam datang, Arab memiliki perilaku jahiliyah, jadi benarkah pilihan bentuk tampilan religiusitas itu sekadar Arabisasi?
Penulis memahami, keseluruhan identitas itu adalah bentuk ekspresi ke-Islaman. Kita tentu memahami komunikasi yang terdistorsi menyebabkan kemunculan sentimen dan prasangka, mendorong potensi konflik terjadi. Perang informasi terjadi.
Persentuhan Ideologi
Mengacu pada Huntington, yang mengatakan seluruh model perbenturan peradaban adalah tentang ideologi, maka Islam menjadi salah satu warna yang diidentifikasi.
Lebih jauh, Fukuyama mengungkapkan yang tersisa dari perjalanan kesejarahan adalah kemampuan bertahan kapitalisme sebagai sebuah ideologi.
Lantas, Islam terkategori sebagai ideologi yang berpengaruh. Sehingga, Islam pun mengambil bagian dalam pentas demokrasi. Tentu tidak lepas dari konsep Islam sebagai rahmat semesta alam yang mengatur gerak laku kehidupan individu dan sosial.
Problem yang tampil kini adalah Islamophobia, ketakutan psikologis yang sengaja diciptakan. Kapitalisme membutuhkan ruang dialektika, konflik abadi ideologis dimainkan, dimana Islam sebagai entitas dan identitas yang mudah diposisikan berseberangan.
Stereotype dan stigma dimunculkan. Islam diasosiasikan pada negativitas. Keburukan digeneralisasi untuk memberi label dan cap kepada wajah Islam yang sejatinya ramah dan membawa keberkahan. Bahkan Islam dimaknai sebagai kekakuan, ruang dengan konservatisme tertutup.
Identitas Politik
Arena politik menjadi ruang baru dalam perbenturan ideologi. Politik yang memiliki orientasi praktis serta ruang sempit bagi kepentingan kekuasaan yang bersifat fana, sejatinya harus mengadopsi nilai-nilai luhur agama yang substantif dan hakiki.
Maka kemudian, politik beridentitas muncul. Meski bisa jadi terjerumus pada politisasi simbol, tapi itulah konsekuensi ruang politik dalam demokrasi. Kita tidak perlu memproduksi kebencian baru atas nama kebenaran subjektif.
Hari-hari ini dibutuhkan lebih banyak kemampuan literasi dan tumbuhnya ruang dialog, dalam mengelola perbedaan. Islamophobia adalah bentuk dari hasil konstruksi atas preteks kepentingan demokratisasi ala Barat. Konsumsi narasi politik dan ideologi kita yang terbatas membuat gelap mata sebelah.
Kegagalan memahami ekspresi keberagamaan yang kemudian diseret ke dalam aspek politik adalah bentuk dari rasionalitas terbatas elite dan didistribusikan kepada publik untuk kepentingan masing-masing.
Kalau Anda sudah khawatir berlebihan dalam melihat cadar, silakan cek kembali konstruksi narasi di benak Anda.
*) Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid