*Penulis: A. Sofiyanto (Wartawan Senior)
Istilah “oposisi” dipandang lebih bernilai positif dan terhormat karena menjadi penyeimbang atau berani melawan penguasa, bukan menjilat atau membebek. Sebaliknya, istlah “oplosan” cenderung bernilai negatif karena diartikan campuran untuk membuat minuman yang memabukkan atau bahkan cairan beracun.
Setelah KPU menetapkan Jokowi-Maruf sebagai presiden-wapres terpilih 2019-2024 pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)–, meski dibayangi tudingan pemilu curang– maka partai partai koalisi pendukung capres-cawapres Prabowo-Sandi (PADI) mau tidak mau harus menentukan pilihan politik. Memilih sebagai oposisi di luar pemerintahan Jokowi, atau menjadi “oplosan” (ikut bercampur) di dalam koalisi pemerintahan Jokowi ?
Ada empat partai koalisi pengusung PADI yang lolos parliamentary threshold (PT) yaitu Partai Gerindra, PKS , PAN dan Partai Demokrat. PKS sudah tegas menyatakan menjadi oposisi di pemerintahan maupun DPR. Demokrat sudah loncat pagar alias pindah perahu yang lebih “empuk” yaitu ikut bergabung ke koalisi pemerintah 2019-2024. Ini dapat dilihat dari perilaku AHY, anaknya bos Demokrat yang sudah sowan kepada Jokowi dan bahkan bersama adiknya Ibas telah “bersilaturahmi politik” ke Megawati yang bisa diartikan untuk meminta “restu” alias menaklukkan hati Megawati yang selama ini keras “bermusuhan” dengan SBY bak minyak dan air.
Sementara PAN nampaknya masih abu abu. Meski Amien Rais yang dikenal sesepuh yang juga pentolan PAN , mengarahkan partai berlambang matahari ini untuk menjadi oposisi. Namun, gelagat Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang saat masih awal KPU mengumumkan hasil Pemilu 2019, Zulkifli sudah mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi. Kabarnya, ucapan yang dilontarkan terlalu prematur oleh Zulkifli ini ditegur oleh Amien Rais yang juga besannya . Namun, seperti periode 2014-2019 sebelumnya, ternyata PAN menitipkan kadernya ke Presiden Jokowi untuk ditimang menjadi menteri. Entah atas persetujuan Amien Rais atau tidak, yang jelas sikap PAN saat itu lebih memilih jabatan menteri ketimbang oposisi.
Lantas bagaimana dengan Gerindra, partai yang dipimpin capres Prabowo yang menjadi pemenang kedua dalam pemilihan umum 2019? Apabila menjadi oposisi, ada peluang bagi Gerindra untuk menjadikan partai ini lebih besar lagi. Namun, jika menjadi “oplosan” alias ikut bercampur dalam partai koalisi penguasa, maka kevokalan Gerindra di parlemen tidak maksimal dan bahkan mengkeret atau kurang berani mengeritik penguasa. Jika ini terjadi, maka Gerindra rugi dua kali. Pertama, Gerindra bakal tidak populer dan menjadikan suaranya akan bisa anjlok di pemilu 2024. Kedua, pendukung Prabowo bakal banyak yang kecewa sehingga minggat dari Gerindra yang juga berdampak menjadikan suara Gerindra akan terjun bebas di pemilu mendatang.
Hingga sejauh ini, para pendukung PADI masih meyakini bahwa telah tejadi kecurangan di Pemilu 2019. Nampaknya, siapa pun petahana sangat berpeluang untuk berbuat curang dalam pemilihan presiden. Karena itu, lebih baik ada undang undang yang meniadakan petahana atau melarang masa jabatan dua periode seperti yang diusulkan Prof Dr Salim Said dengan kompensasi masa jabatan presiden ditambah menjadi enam atau tujuh tahun seperti diterapkan di beberapa negara maju.
Kalangan pengamat menilai bahwa memang secara legal Jokowi menang berdasar putusan MK. Namun, legitimasi rakyat dan kaum cendekiawan lebih berpihak kepada capres Prabowo. Untuk itulah tidak mengherankan apabila Jokowi berharap kubu Prabowo mau bergabung ke pemerintahannya. Keinginan kubu Jokowi untuk “rekonsiliasi” dengan kubu Prabowo menjadi penting, sehigga tawaran bergabung dengan imbalan kursi jabatan menteri dihembuskan terus oleh pihak Jokowi.
Tanpa “rekonsiliasi” dengan Prabowo, maka dibayangi ada kekhawatiran bagi Presiden Jokowi nanti bakal banyak dijemput aksi demo apabila melakukan kunjungan ke daerah daerah seperti Sumatera Barat dan daerah lainnya yang mayoritas pilih Prabowo. Apalagi Aceh yang sudah mengancam akan melakukan referendum jika presidennya Jokowi.
Apakah ada orang Gerindra yang ngiler (tergiur) dengan tawaran menteri atau jabatan lainnya? Bilamana Gerindra menyatakan menerima tawaran jabatan tersebut, nampaknya Jokowi langsung melakukan reshuffle kabinet secepatnya dengan memasukkan kader Gerindra menjadi menteri hingga masa jabatan Jokowi pada akhir September 2019. Lantas bagaimana nasib Gerindra setelah Jokowi dilantik lagi sebagai presiden pada Oktober 2019? Saat itu nilai deal (dagang sapi) dari Gerindra sudah lemah, sehingga Gerindra asal diberi kursi menteri yang kurang bergengsi.
Lagipula, dengan menjadi partai yang bergabung atau menempel kepada koalisi pemerintahan Jokowi di periode kedua, Gerindra terancam terpuruk karena bakal banyak pendukungnya yang kecewa dan lari lari meninggalkan partai pimpinan Prabowo ini. Wajar kecewa, karena pendukung sekaligus pemilih Prabowo pada Pemilu 17 April 2019 sudah banyak berkorban waktu, tenaga , pikiran serta finansial. Bahkan, ada korban nyawa dari pihak pendukung Prabowo. Kekecewaan pemilih ini akan membuat suara Gerindra nyungsep (menyusut) di pemilu 2024.
Karena itu, mau tidak mau Gerindra harus menjadi oposisi jika ingin suaranya tetap besar. Artinya , oposisi merupakan pilihan terbaik bagi Gerindra ketimbang menjadi “oplosan” alias campuran dalam kabinet Jokowi. Sempat mengagetkan, di saat pendukung PADI merasa kecewa dengan proses dan hasil pemuilu 2019,tiba-tiba muncul video ucapan selamat dari cawapres Sandiaga Uno yang memberi ucapan selamat bekerja kepada Jokowi-Maruf untuk periode 2019-2014. Tentu ini semakin menyayat hari para pemilih loyal PADI. Untungnya, pada 1 Juli 2019 melalui instagramnya, Sandiaga Uno menyatakan memilih menjadi oposisi. Sehingga, para pemilih yang kecewa tadi rasanya menjadi plong kembali.
Sebenarnya, PKS sudah berkali-kali mengajak Gerindra untuk menjadi oposisi. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera secara tegas mengajak semua partai pendukung PADI tetap menjadi oposisi menjadi penyeimbang/pengontrol untuk mengawal kebijakan rezim Jokowi di periode berikutnya. Namun, ada beberapa politikus Gerindra yang masih diragukan menyambut ajakan PKS tersebut. Diantaranya Ketua Bidang Advokasi DPP Gerindra, Habiburokhman misalnya, kepada wartawan, Selasa (2/7/2019), berkilah, “Kami sangat hormati pilihan PKS karena mereka sahabat setia kami. Tapi kami punya pertimbangan sendiri.”
Setelah KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai presiden-cawapres terpilih 2019-2024, muncul isu Gerindra akan bergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Maruf, apalagi ada politikus Gerindra yang ucapkan selamat kepada Jokowi. Namun, Anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra Muhammad Syafi’i yang dikenal vokal meyakini Prabowo memilih berada di luar pemerintahan. Menurutnya, keberadaan oposisi menyehatkan iklim demokrasi. “Demokrasi yang sehat itu harus ada check and balance, yaitu selain partai pendukung, harus ada partai oposisi. Saya meyakini Gerindra akan tetap pada posisi sebagai oposisi,” kata Syafi’i di Gedung DPR, Senin (1/7/2019).
Para pejuang sejati pendukung 02 ataupun yang mengklaim pembela kebenaran, keadilan dan kejujuran, tentunya berharap sikap Syafii ini bisa disepekati Prabowo dan akan menenggelamkan orang orang di Gerindra yang kebelet tawaran jabatan menteri atau sejenisnya dari kjubu sebelah. Syafi’i menegaskan, demokrasi hanya akan berjalan dengan baik jika terpenuhi dua unsur: pemerintah dan oposisi. Ini memungkinan check and balance, mekanisme yang meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemenang.
Menjadi oposisi dituntut pengorbanan untuk berjuang keras namun lebih terhormat di mata rakyat. Dibanding memilih menjadi “oplosan” ikut bercampur partai penguasa dan mendapat kue jabatan empuk tetapi ditinggalkan rakyat pemilihnya. Sekarang terserah Gerindra, ingin menempatkan diri sebagai oposisi yang terhormat atau mau menjadi “oplosan” yang bisa dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap rakyat pemilik suara pendukungnya? Please! (*)