GELORA.CO - Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menciduk Faisol Abod Batis, Rabu (17/7/2019) kemarin. Ia disangka melanggar UU ITE menyusul unggahan di akun Instagram pribadinya, yang mengkritik Joko Widodo soal konflik agraria dengan menggunakan data.
Penangkapan ini dikecam peneliti hukum dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Dia menilai, Faisol tak melanggar undang-undang apa pun. Sehingga penangkapan ini seolah kembali membuktikan UU ITE digunakan untuk membungkam kritik.
"Jadi dari dulu memang diarahkan bagaimana caranya untuk melindungi presiden. Itu yang bahaya sebenarnya," ujar Erasmus, Kamis (18/7/2019).
Menurut Erasmus, pemidanaan atas penghinaan terhadap presiden sudah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Dalam pertimbangannya, Hakim MK menilai dalam demokrasi modern seorang Presiden tidak boleh dilindungi dari kritik warganya bahkan jika kritik itu dalam bentuk hinaan.
Selain itu, pasal-pasal yang dijeratkan kepada Faisol juga dinilai tidak tepat. Erasmus mencontohkan pasal 45 A Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) UU ITE tahun 2016. Dalam pasal tersebut, kata Erasmus, yang dilarang adalah ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan.
“Sementara Presiden adalah jabatan publik," ucap dia.
Selain itu, yang dilarang oleh pasal itu adalah ujaran kebencian atau hasutan, bukan penyampaian fakta. Erasmus merasa, apa yang dilakukan polisi dalam memproses kasus Faisol bisa jadi preseden buruk bagi aktivis lain yang mengkritik pemerintah dengan menggunakan data.
“Itu basisnya data. Kalau risetnya Konsorsium [Pembaruan] Agraria jadi kriminalisasi, ya, apa alasannya riset yang lain enggak dikriminalisasi?" ujarnya.
Faisol diringkus di Perumahan Permata Jingga, Blok I Nomor 4, Kota Malang, Jawa Timur, Rabu siang, sekitar pukul 14.00 WIB. Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul mengatakan, penangkapan Faisol dilakukan berdasarkan pantauan siber bukan laporan masyarakat.
Adapun tulisan yang ia unggah ke akun Instagram, antara lain:
- Kebohongan Demi Kebohongan Dipertontonkan oleh Seorang Pemimpin Negara. Bagaimana Rakyat akan Percaya terhadap Pemimpin seperti ini.
- Konflik agraria rezim Jokowi: 41 orang tewas, 51 orang tertembak, 546 dianiaya, dan 940 petani; pejuang lingkungan dikriminalisasi. Terjadi 1.769 kasus konflik agraria sepanjang pemerintahan tahun 2015 - 2018. Kasus tersebut meliputi konflik perkebunan, properti, hutan, laut, tambang, dan infrastruktur.
- Polisi gagal melindungi hak asasi manusia saat Aksi 21-23 Mei 2019.
Soal data riset yang digunakan Faisol, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengakui data tersebut hasil riset lembaganya. Data tersebut dirilis KPA pada catatan akhir tahun KPA 2018, salah satunya seperti yang tercantum dalam halaman 41.
Dewi pun menyebut sikap polisi sangat reaktif dalam kasus ini. Ia balik meminta polisi untuk menguji data hasil riset yang mereka lakukan, dan bukan dengan serampangan menyebut data tersebut berita bohong tapi tak melakukan pengujian.
“Tidak asal menerapkan UU tersebut lalu menuduh bahwa ini adalah berita bohong," ujar Dewi.
Kasus ini, mengingatkan publik pada kasus yang menjerat Uril dan Martha. Keduanya dicokok polisi pada Oktober 2018, usai mengunggah postingan di laman Facebook mereka soal kewaspadaan akan potensi gempa besar megatrush yang akan terjadi di Pulau Jawa.
Kala itu, Uril juga mengunggah empat postingan terkait informasi kegempaan.
Pertama soal gempa besar Pulau Jawa dan gempa beruntun di Lombok yang kemudian diperkarakan pihak kepolisian sebagai hoaks, kedua soal patahan aktif Sesar Kendeng yang melewati Surabaya dari mediatataruang.com, dan ketiga soal video penjelasan lempeng aktif di bumi yang diproduksi oleh media Deutsche Welle dan terakhir soal fenomena kolam renang yang airnya berombak dari berita tempo.co.
Penangkapan terhadap keduanya sempat dikritik ahli hukum pidana dari UII, Mudzakir. Menurutnya, dalam penetapan hukum pidana, seseorang tidak bisa dijerat dengan pidana apabila tidak ada unsur niat jahat. Ia justru mendorong, pemerintah seharusnya justru memberi informasi tandingan lewat pernyataan-pernyataan resmi.
"Cukup diberi peringatan saja, tidak harus pidana. Tidak usah seperti itu (ditangkap). Orang sudah susah tambah susah lagi. Belum tentu semuanya salah." bela Mudzakir, kala itu. [tt]