GELORA.CO - Pembongkaran instalasi seni bambu Getah Getih di Bundaran HI, Jakarta, beberapa hari lalu ternyata memicu sejumlah 'buntut' kurang sedap bagi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Sejumlah kritik langsung diarahkan kepada Anies.
Dalam pandangan Anggota DPD RI, Fahira Idris, kritikan yang ditujukan kepada Anies akan makin besar ketika sang Gubernur mampu menunjukkan prestasi. Tujuannya, mendegradasi berbagai capaian yang diraih Jakarta dan program pembangunan yang mulai dirasakan warga Ibu Kota.
Menurut Fahira, intensitas ‘serangan’ terhadap Anies biasanya meningkat di saat-saat Gubernur DKI Jakarta ini membuat terobosan baru atau saat Pemprov mendapat prestasi.
“Amatan saya, semakin sering Pemprov DKI membuat terobosan atau mendapat apresiasi, serangan akan semakin intensif. Sebenarnya jika isu yang jadi tema kritikan atau ajang cacian kepada Anies substanstif, tidak masalah," ucap Fahira melalui rilis yang diterima redaksi RMOL, Senin (22/7).
"Namun, sering sekali yang jadi ‘peluru’ hal-hal tidak penting. Sudah tidak penting, dilebarkan kemana-mana yang mengarah kepada serangan personal dan pembunuhan karakter serta dikait-kaitkan dengan isu SARA,” tambah dia.
Seperti soal instalasi bambu Getah Getih di Bundaran HI yang dipajang guna kepentingan Asian Games 2018. Instalasi tersebut memang hanya berdurasi enam bulan saja.
Instalasi tersebut mendadak dijadikan ‘peluru’ untuk menyerang Anies saat waktunya memang harus dibongkar. Saat semua terklarifikasi, termasuk pendanaan yang merupakan bantuan dari 10 BUMD DKI, kini pesan dari instalasi seni berbahan bambu—bukan bahan lain misalnya baja—yaitu menaikkan potensi ekonomi bambu dan memberdayakan petani dan seniman bambu, malah dibelokkan ke soal-soal lain yang sama sekali tidak substantif.
“Kita kebanjiran baja impor asal Tiongkok itu fakta. Kenapa tidak terima dan malah membelokkan fakta ini menjadi sentimen ras. Kalau terminologi Tiongkok saja mereka tidak paham bagaimana mau menjadi pengkritik yang cerdas. Jika paradigma berpikir mereka terus seperti ini, bisa gawat negeri ini,” lanjut Fahira.
Di negara demokrasi, kata Fahira, konsekuensi menjadi seorang pemimpin adalah harus siap dikritik, dihujat, dicaci, bahkan difitnah. Rentetan prestasi tidak akan menjamin seorang pemimpin mendapat pujian apalagi pengakuan. Malah mungkin semakin berprestasi, serangan akan semakin menjadi.
"Ada pemimpin yang biasa-biasa saja, tetapi karena dukungan publikasi ditampilkan seperti dewa tanpa cela. Demikian juga sebaliknya, ada pemimpin berprestasi dan hasil kerjanya dirasakan rakyat, tetapi ‘dibonsai' menjadi tidak bisa apa-apa karena prestasinya ditutupi oleh isu-isu tidak substansi yang diembuskan dengan masif dan rapi,” pungkas Fahira. [rmol]