GELORA.CO - BAGI publik, teguran terbuka Presiden Joko Widodo kepada pembantunya (baca: menteri) merupakan kejadian luar biasa. Gaya komunikasi Jokowi yang "khas Solo” dinilai terlalu jauh dari sikap tegas menunjuk hidung.
Karena itu masyarakat tercengang usai Jokowi mengkritik empat menteri sekaligus dalam rapat kabinet di Istana Bogor (Senin, 8/11). Hardikan Jokowi dibiarkan berkeliaran di ruang publik. Setelah itu muncul desakan agar para menteri bersangkutan mengundurkan diri daripada menunggu dipecat presiden.
Empat menteri yang ditegur Jokowi adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignatius Jonan; Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno; Menteri Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar; dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Sofyan Djalil.
“Ini teguran yang luar biasa. Jokowi kan orang Solo, kalau sudah memberi teguran di ruang publik itu berarti ada sesuatu yang urgen menurut presiden,” kata pakar komunikasi politik, Emrus Sihombing, dalam wawancara dengan redaksi, Kamis (11/7).
Tapi tidak begitu buat Rini. Kepada wartawan yang meminta tanggapannya atas teguran presiden, Rini menyebut teguran itu biasa, sebatas pengingat untuk meningkatkan kinerja agar ekspor migas bisa meningkat.
Rini menyadari Jokowi sedang mengungkit kelemahan kementeriannya, yang berkaitan sektor minyak dan gas bumi, karena paling banyak menyumbang defisit neraca perdagangan. “Kami harus lebih erja keras. Itu saja,” ucap Rini usai rapat.
Bukan cuma presiden, Rini juga sudah berkali-kali bikin para politikus di Senayan naik darah. Dialah satu-satunya menteri Jokowi yang terkena status “cekal” oleh DPR. Lantaran rekomendasi yang dikeluarkan Pansus Pelindo II. Tapi dia tetap leluasa menambah utang BUMN hingga menyentuh angka Rp 5 ribu triliun.
"Utang BUMN kita sudah lebih dari Rp 5.200 triliun. Masak kita DPR tidak bisa menghadirkan Menteri BUMN (Rini Soemarno). Saya ingin ke depan Menteri BUMN dihadirkan di sini," kata Anggota Komisi VI DPR, Zulfan Lindan, ketika Rapat Paripurna (Rapur) Masa Persidangan II Tahun 2018-2019, Kamis (13/12/2018).
Jauh sebelumnya, ada kasus yang tak kalah heboh. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Darmadi Durianto, mempertanyakan kebijakan Rini mengangkat Ahmad Bambang sebagai Wakil Direktur Utama PT Pertamina Persero.
Darmadi menduga pengangkatan Ahmad berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Kamis 20 Oktober 2016 itu diduga melanggar UU 19/2003 tentang BUMN. Dalam Pasal 16 diatur bahwa Direksi diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan Persero.
"Kan aneh ini, kok tiba-tiba dia (Ahmad Bambang) yang diduga tindak pidana korupsi, tapi saat ini malah diangkat dan menduduki jabatan bergengsi di PT Pertamina sebagai Wadirut PT Pertamina,” ucap Darmadi ketika diwawancara di Gedung DPR pada 27 Januari 2017.
Jabatan yang ditempati Ahmad Bambang pun tidak memiliki dasar hukum karena tidak sesuai dengan pasal 16 UU BUMN. Lebih ironisnya, Rini tidak melihat masalah yang mendera Ahmad Bambang karena terseret kasus dugaan korupsi penyedian dan operasional kapal di PT Pertamina Trans Kontinental tahun 2012- 2014.
"Apa kriteria menteri BUMN mengangkat Ahmad Bambang. Padahal, yang bersangkutan sedang ada dugaan kasus korupsi. Menteri yang ngangkat lain di mulut, lain di hati, lain di tindakan alias munafik. Bagaimana mengangkat Wadirut yang sudah punya dugaan korupsi?” tambah Darmadi kala itu.
Rini juga bermasalah ketika DPR menyorot penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) 72/2016, yang tidak mengikutsertakan peran pengawasan DPR dalam hal pengalihan aset BUMN. Dalam salah satu pasalnya, yakni pasal 2A, berisi detail tata cara peralihan aset-aset BUMN dalam penggabungan satu holding BUMN. Di dalamnya, secara literasinya tidak perlu melewati pembahasaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) alias tanpa perlu persetujuan DPR.
"Nah ini yang tidak benar, kenapa harus menghindari DPR? Kita tentu terlebih dahulu ingin mengetahui dan bertanya, apakah BUMN ini rugi atau untung. Jangan sampai BUMN yang rugi malah diberikan penyertaan modal atau pengalihan aset untuk menjadi holding BUMN,” ungkap legislator Nasdem, Zulfan Lindan.
Dalam penilaian Zulfan, Rini Soemarno kurang tepat dan tidak layak menjabat Menteri BUMN. Sejumlah kebijakannya sering menimbulkan kontroversi.
Pantas Rini dijuluki sakti. Anjing menggonggong, khafilah berlalu. DPR boleh menyalak hebat, Rini tetap dipertahankan presiden. Tiga kali perombakan kabinet tak menyentuh eks Ketua Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK pada 2014 itu.
Diharamkan menginjak DPR hingga sekarang, direkomendasikan Pansus Pelindo II untuk dipecat. Rini tetap selamat. Setelah teguran presiden, masih saktikah Rini? Para pengamat memprediksi Rini tidak akan dipertahankan Jokowi dalam kabinet periode 2019-2024. Tapi melihat kejadian yang sudah-sudah, mungkin saja analisa para pengamat meleset. [rmol]