OLEH: YUDHI HERTANTO
ARAL kembali melintang merundung BPJS Kesehatan. Keluh kesah para pengelola rumah sakit sudah sedemikian terbuka. Baik rumah sakit milik pemerintah, lebih-lebih lagi di rumah sakit swasta. Bila tidak segera ditangani, problem defisit akan semakin kronis.
Diskusi yang digelar PERSI di RSCM (16/7) itu menggugah pertanyaan terkait dengan problematika BPJS Kesehatan yang tidak kunjung “sehat”.
Pada arah pembicaraan yang dijadikan sebagai ruang audiensi publik antara stakeholder, maka representasi dari keterwakilan aspirasi pada kegiatan tersebut, hanya diusung oleh asosiasi profesi seperti IDI, asosiasi rumah sakit semisal PERSI dan ARSSI, perwakilan RSCM selaku tuan rumah, dan pihak BPJS Kesehatan.
Melihat komposisi figurasi tersebut, ada kekosongan pihak terkait, yakni Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan sebagai body authority. Dengan demikian, selintas, model diskusi yang dibangun hanya menjadi ruang keluh-kesah. Meski sesekali usulan solusi ditampilkan, tetapi sesungguhnya cerita yang sama telah berulang kali dikumandangkan.
Apa sebab awan hitam kembali memayungi BPJS Kesehatan? Soal lama yang kembali berulang, problem defisit pembiayaan tidak mampu dipecahkan. Bahkan akumulasi defisit yang diproyeksikan muncul pada 2019, tidak tanggung-tanggung diprediksi menyentuh Rp 28 triliun.
Konsekuensi Turunan
Masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan sejak awal pendirian masih terbilang sama, yakni soal defisit. Maka ketidakmampuan memahami defisit yang berulang tersebut, sekaligus juga merupakan catatan atas kegagalan dari antisipasi problem yang sudah jelas terbaca sebelumnya.
Pada tataran praktis, persoalan defisit merembet pada pelayanan. Bagaimana bisa? Terang saja, defisit pembiayaan BPJS Kesehatan akan mengakibatkan model pembayaran tunda klaim rumah sakit. Hal tersebut membuat rumah sakit harus melakukan siasat dalam mencukupi pembiayaan operasional, alhasil pelayanan menjadi dikorbankan.
Bukan hanya itu, bayangkan faktor psikologis dari beban manajemen, dokter, hingga karyawan rumah sakit yang berharap-harap cemas pada penyelesaian tagihan BPJS Kesehatan.
Ragam upaya yang telah dilakukan BPJS Kesehatan, melalui beragam bauran, belum tuntas dilakukan. Trlebih kajian yang dilakukan justru menempatkan institusi pemberi layanan dalam hal ini rumah sakit sebagai pelaku tindakan curang alias fraud, yang menggerogoti keuangan BPJS Kesehatan. Sebuah narasi yang perlu dipastikan dasar argumentasinya.
Bukankah selama ini rumah sakit selalu bersikap diam atas permintaan BPJS Kesehatan? Sesungguhnya, diam itu bukan berarti tanda setuju, bahkan bentuk antipati. Kok bisa begitu?
Tentu saja karena relasi hubungan BPJS Kesehatan dan rumah sakit ada dalam posisi yang tidak setara –asimetrik. Karena BPJS Kesehatan bertindak sebagai provider kesehatan nasional.
Apa itu artinya? Kedudukan BPJS Kesehatan menjadi kuasa penentu, relasi yang dibangun tidak setimbang karena dalam prinsip ekonomi terjadi monopsony -pembeli tunggal. Bukankah pembeli adalah raja? Nah, bayangkan kalau pembelinya ya cuma satu itu, dia menjadi maharaja.
Menemukan Akar Masalah
Sesungguhnya di mana letak duduk persoalan dasarnya? Sejatinya pihak manajemen BPJS Kesehatan sendiri telah memetakan permasalahan ini dengan tepat. Prioritas masalahnya adalah soal ketidakseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran, alias besar pasak daripada tiang. Kenapa? Karena prinsip hitung aktuaria untuk premi jaminan kesehatan ini tidak dipergunakan.
Terus bagaimana dengan persoalan kendala pembayaran premi alias kolektibilitas peserta mandiri, dan masalah fraud dari pemberi layanan? Kita harus jeli menempatkan akar pokok persoalan dari ranting-ranting masalah. Kalau yang dipangkas ranting, sementara akar pokoknya masih bercokol, ya sifatnya seperti pain killer, sebentar saja.
Bila demikian, apa yang dapat diformulasi sebagai fundamen mendasar dari permasalahan defisit? Hampir setiap kali defisit BPJS Kesehatan, kita berbicara tentang strategi. Padahal substansinya ada di pangkal soal. Apa itu? Lihat kembali komposisi representasi dari diskusi di RSCM di atas. Kekosongan perwakilan menyiratkan simbolisasi penuh makna.
Jika diterjemahkan secara lugas, ketika defisit terjadi kala premi ditetapkan di luar kaidah ekonomi, maka akseptasi program kegiatan menjadi serapan mutlak penyelenggara. Siapa itu? Siapa lagi kalau bukan pemerintah. Kok masuk wilayah politik? Sudah pasti, karena hanya dengan kebijakan politik, maka defisit BPJS Kesehatan bisa diselesaikan.
Cuma itu? Ya, komitmen itu dimuat dalam kebijakan politik, terang saja begitu. Percuma bicara tentang strategi? Aspek idealitas yang berbeda dengan realitas menghadirkan ketidakpuasan, rumusan ekonominya demikian. Apa yang perlu dilakukan? Turunkan kadar idealitas, atau hilangkan harapan akan realitas yang berlebihan, alias jangan ngarep.
Kenapa bahasan defisit kali ini begitu rendah dalam model tuturan? Kadang-kadang bahasa yang sederhana justru mampu dipahami, karena menyederhanakan hal kompleks itu sebuah kesulitan tersendiri. Jadi bagaimana kita melihat persoalan defisit kali ini? Kita tentu minta Pak Jokowi tegas bersikap dalam hal ini. Talangi dan bayar, jangan sampai ada pihak yang menderita.
Kenapa begitu? Tengok pidato “Visi Indonesia” di Sentul kemarin lalu. Beliau bicara tentang pembangunan sumberdaya manusia. Itu investasi jangka panjang, yang di dalamnya ada pendidikan dan kesehatan. Lha bagaimana kalau BPJS Kesehatan defisit terus, dan kita jadi masyarakat yang sakit-sakitan? Jangan ngimpi untuk bisa bersaing, untuk bangun tegak aja susah!
Wis gitu aja lah, segera bayar.
Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid [rmol]