GELORA.CO - Pernyataan Menko Polhukan Wiranto yang mengatakan peristiwa 411, 212 dan 225 sebagai ancaman dan gangguan dalam rangka pembangunan nasional dipertanyakan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo.
"Bilang aksi 411, 212 dan 225 ancaman nasional, dasarnya apa?" kata mantan petinggi Polri ini dalam keterangannya kepada redaksi, Senin (22/7).
Anton Tabah membuka sedikit kronologis peristiwa yang dituduh Wiranto sebagai ancaman.
Jelas dia, aksi 411 atau 4 November 2016 lahir karena rezim tidak menindak Gubernur Jakarta Basuki T. Purnama alias Ahok ketika diduga menista Al-Quran terkait Surah Al-Maidah ayat 51.
Dari aksi 411, lanjut Anton Tabah, Ahok ditetapkan jadi tersangka tapi tidak ditahan, padahal yurisprudensi semua tersangka penista agama ditahan. Maka, lahirlah aksi 212 (2 Desember 2016), Ahok segera disidang. Lalu lahir aksi 313 (31 Maret 2017) ketika publik mendengar Ahok akan dibebaskan.
"Kasus penistaan agama di Indonesia masuk crime indeks karena derajat keresahan masyarakat sangat tinggi. Karena itu ada surat ederan Mahkamah Agung agar semua hakim menghukum maksimal pelaku penista agama," tuturnya.
Sedangkan aksi 225 (22 Mei 2019), rakyat menuntut Mahkamah Konstitusi (MK) agar adil dan jujur dalam memutus sengketa kecurangan Pilpres 2019.
"Ketiga aksi tersebut agendanya jelas seperti itu. Tiada agenda lain. Lalu ancaman nasionalnya dimana?" tanya Anton Tabah yang juga anggota Dewan Pakar ICMI Pusat. [rmol]