GELORA.CO - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat, jika aturan tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam UUD 1945 diamendemen maka akan ada implikasi fundamental terhadap proses demokrasi di Indonesia. Karena itu, ide tentang amendemen tentang masa jabatan presiden harus dikaji dan didiskusikan secara luas.
Margarito mengatakan hal itu saat dimintai tanggapannya tentang ide mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono tentang pembatasan masa jabatan presiden satu periode saja dengan lama menjabat 8 tahun. Satu-satu caranya untuk mewujudkan ide itu adalah mengamendemen UUD 1945.
Margarito mengatakan, ide Hendro bukanlah hal baru. Sebab, sudah ada negara yang menerapkannya seperti Filipina yang masa jabatan presidennya selama 7 tahun untuk satu periode saja.
"Gagasan ini oke oke saja sebagai pemecahan atas masalah-masalah yang mengiringi kontestasi pemilihan presiden," ucap Margarito kepada jpnn.com, Minggu (21/7).
Boleh jadi, katanya, gagasan itu adalah salah satu cara mengefisienkan proses demokrasi, sekaligus agar pemerintahan hasil pemilu fokus mewujudkan amanat pembukaan UUD, yakni menyejahterakan rakyat. Poin penting lainnya, tutur Margarito, gagasan itu akan terealisasi bila UUD 1945 diubah lagi, terutama Pasal 7.
Klausul dalam pasal itu menyatakan bahwa presiden dan wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Margarito menambahkan, amendemen masa jabatan presiden akan menciptakan kondisi dan lingkungan hukum baru. Sebab, tatanan masa jabatan secara konstitusi berubah.
"Yang saya maksudkan dengan perubahan yang fundamental itu adalah Presiden Jokowi dengan tatanan masa jabatan yang baru tercipta, berdasarkan pasal 7 baru (jika UUD diamendemen lagi, red) dapat secara hukum mencalonkan diri lagi menjadi presiden. Ini yang harus didiskusikan secara dalam, serius dan sadar. Saya rasa ini gagasan bagus untuk didiskusikan secara terbuka," tandasnya. [jn]