GELORA.CO - Penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan telah memasuki hari ke-800. Namun hingga kini masih belum terungkap, siapa yang melakukan penyiraman air keras hingga mengakibatkan mata kiri Novel mengalami kerusakan fungsi penglihatan.
Novel masih konsisten menuntut keadilan. Apalagi, serangan itu terjadi saat dirinya sedang mengungkap kasus-kasus korupsi yang merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Seperti kasus pengadaan KTP-el yang telah merugikan keuangan negara Rp 2,7 triliun.
Selain itu, Novel juga tengah mengungkap kasus simulator SIM yang menyeret nama Djoko Susilo yang kala itu menjabat sebagai Kakorlantas Mabes Polri. Kasus ini ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp 32 miliar.
Namun demikian, Wadah Pegawai KPK menilai kasus Novel seperti tengah dikesampingkan dengan adanya seleksi calon pimpinan (capim) KPK. Tidak hanya itu, Novel juga sedang mendapat serangan secara personal. Dia dicitrakan sebagai bagian dari kelompok radikal dan ekstremis hanya karena berjenggot dan bercelana cingkrang.
Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo menyesalkan isu yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab itu. Menurutnya, isu tersebut sebatas upaya mengaburkan kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Sebab, kata Yudi, semua pegawai KPK tidak ada yang berafiliasi dengan kelompok radikal sebagaimana dituduhkan.
"Isu KPK radikal diduga sengaja dihembuskan agar perhatian publik terpecah, sehingga calon-calon pimpinan KPK yang justru memiliki persoalan integritas dapat masuk ke KPK untuk merusak KPK dari dalam," kata Yudi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (20/6).
Yudi menegaskan, sejak KPK berdiri pada tahun 2003 belum pernah ada personil KPK yang terafiliasi dengan kegiatan terorisme, organisasi terlarang, maupun menunjukan kebencian terhadap agama, ras maupun kelompok tertentu.
"Isu tersebut dimunculkan sebagai pengalihan isu atas berbagai persoalan yang hadir saat publik perlu untuk konsen pada track record calon pimpinan KPK, khususnya soal rekam jejak yang bersih serta potensi adanya conflict of interest dalam penanganan perkara yang menghambat kinerja KPK," tuturnya.
Alih-alih mencari tokoh anti korupsi yang bersih dan berintegritas, Yudi menyebut Pansel Capim KPK justru terkesan lebih konsen mencari tokoh anti teroris. Padahal, kata dia, justru KPK yang selama ini kerap menjadi korban dari aksi para teroris.
"Mulai dari pemukulan terhadap pegawai KPK, percobaan pembunuhan, penyiraman air keras, teror bom, pengrusakan mobil, dll. WP KPK mencatat setidaknya ada 10 kasus teror yang menimpa pegawai dan pimpinan KPK yang sampai saat ini belum terungkap," kata Yudi.
Atas alasan itu, sekali lagi Yudio menekankan bahwa semua hal tersebut merupakan bagian dari upaya mengalihkan perhatian publik agar lupa bahwa teror keji terhadap Novel Baswedan telah 800 hari belum terungkap.
"Untuk itu, WP KPK menegaskan bahwa isu KPK radikal adalah hoax dan serangan terhadap perang panjang pemberantasan korupsi di Indonesia," demikian Yudi. [rmol]