GELORA.CO - Sebelum memutuskan untuk menjadi mualaf, Deddy Corbuzier banyak berdiskusi dengan ustaz nyentrik Gus Miftah soal nilai-nilai keislaman. Pertemuan keduanya bermula saat Gus Miftah diundang di acara televisi yang dipandu Deddy, Hitam Putih. Kala itu Gus Miftah ramai diperbincangkan karena berdakwah di diskotek.
Penjelasan ustaz pendiri Ponpes Ora Aji, Kalasan, Yogyakarta, ini membuat Deddy tertarik. Sejak saat itu komunikasi mereka semakin intens, bahkan kerap berkolaborasi di YouTube. Lebih dari delapan bulan, kedua pria nyentrik tersebut intens berdiskusi soal nilai-nilai Islam hingga toleransi.
Gus Miftah mengaku, ada satu hal yang membuatnya kesulitan menjawab pertanyaan Deddy, yakni tentang sejumlah ayat Al-Quran yang sulit diterima akal. Namun pada akhirnya dia selalu menemukan jawabannya. Apa itu?
Untuk lebih jelasnya, simak wawancara dengan Gus Miftah di Swiss-Bel Hotel Soekarno-Hatta Airport, Tangerang, Senin (24/6). Gus Miftah yang saat itu baru pulang dakwah di Teipei, Taiwan, meladeni perbincangan dengan gaya santai khasnya: rambut gondrong diikat ke belakang, kaca mata hitam, dan kaus oblong.
Berikut wawancara lengkapnya:
Anda kenal Deddy Corbuzier sejak diundang di acara Hitam Putih?
Ya sejak aku diundang di Hitam Putih itu. Begitu ketemu langsung klik, sama-sama ngeklik. Ya habis itu setiap hari kita chat, lanjut ke collab YouTube. Dan sering kan kalau collab sama aku trending. Ya terus sampai hari ini Alhamdulillah.
Kesan yang saya tangkap begitu ketemu pertama kali sama Deddy, sama sekali enggak ada sombong-sombongnya. Bahkan ketika mau balik dia minta untuk bikin konten sebelum saya pulang, dia minta nomor HP saya.
Dari awal memang Deddy tertarik dengan konsep Islam yang Anda kenalkan? Soal toleransi?
Kita langsung berbicara toleransi. Saya ditanya, “apa pendapat Gus tentang pluralisme yang ada di Indonesia, bagaimana dengan Bhinneka Tunggal Ika, apa pendapat Gus tentang Pancasila”, dan ini bisa diterima oleh si Deddy. Menurut dia rasional. Karena saya memahami Deddy itu orangnya cerdas, ya bagaimana kemudian bahasa saya bisa ngimbangi dia, gitu lho. Dan itu barangkali salah satu daya tarik dialah.
Setelah itu Deddy mulai mendalami Islam karena konsep toleransi yang Anda sampaikan?
Satu itu (tentang toleransi), yang kedua orang itu kan kalau smart biasanya hal-hal sekecil mungkin menjadi penilaian. Deddy kan perfeksionis, maka hal-hal sekecil apa pun akan jadi penilaian dia. Maka seperti itu saya jaga. Contoh sebenarnya sepele sih, bulan puasa kemarin aku datang ke sana diajak YouTube-an.
Aku datang ke dia dalam keadaan berpuasa dan aku membawa makanan. Saya kasih ke dia, “gila elo, sampai segitunya elo toleransi sama orang lain”. “Aku enggak ada masalah, bro”. Sementara di satu pihak yang lain dia melihat kenyataan yang berbeda, orang teriak-teriak tutup rumah makan dan lain sebagainya.
aka di situlah kemudian saya bilang sama dia, wajah Islam seseorang itu tergantung dari mana pintu masuknya. Kalau pintu masuknya keras maka Islamnya akan keras. Kalau pintu masuknya marah-marah ya akan menjadi Islam yang marah. Tapi kalau pintu masuknya ramah, maka akan menjadi Islam yang ramah bukan Islam yang marah. Di konteks ini kemudian dia sangat takjub dengan apa yang saya sampaikan, “betul, bro,” katanya.
Jadi saya tidak mau sih memeta-metakan umat Islam di Indonesia. Biarlah Deddy menjadi dirinya sendiri. Tapi justru sifat-sifat seperti itu sangat dia perhatikan. Belum lagi karena kita friend ya, saya bilang sama dia dulu, barangkali kalau dialog itu dikembangkan di Indonesia saya pikir luar biasa.
Saya itu telepon Deddy, “hei kafir” tapi dia enggak marah dengan sebutan itu. Begitu juga dia manggil saya gara-gara kemarin viral Gus Telek itu, dia manggil saya juga saya enggak marah. Ya karena sudah dari hati ke hati.
"Wajah Islam seseorang itu tergantung dari mana pintu masuknya," Gus Miftah.
Jadi ada sekitar 8 bulan Deddy belajar Islam?
8 bulan itu sangat intensif, dia banyak tanya soal Islam, bagaimana Islam menghargai perbedaan. Dan saya tidak hanya omdo (omong doang). Saya buktikan, tetangga saya Nasrani, saya baik dengan siapa pun, kemudian ketika ramai-ramainya ustaz bertarif dia sama sekali tidak melihat itu dari sosok saya.
Saya YouTube-an ke tempat dia bahkan sekalipun dia yang minta, saya tetap enggak mau dibeliin tiket sama dia, saya beli tiket sendiri, banyaklah. Dan dia tahu kemudian kalau saya diundang di stasiun TV itu, fee yang saya terima saya kembalikan untuk kru, itu dia tahu. Makanya hal seperti itu dinilai sama dia.
Selama belajar 8 bulan ada hal yang membuat Deddy ragu dengan Islam?
Sebenarnya labil sih enggak tapi pernah dia ada kekhawatiran orang nganggapnya dia masuk Islam karena mau menikah. Padahal dari 0 dia mengatakan, wong dia itu udah bisik-bisik sama saya 8 bulan yang lalu, sementara dia tunangan baru 3 bulan yang lalu. Jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu.
Maka kemudian kata dia, “cemen amat gue masuk Islam karena nikah, karena cewek”. Jadi menurut saya itu luar biasa. Sampai akhirnya seminggu sebelum syahadat itu dia telepon aku. Dia bilang “brur, kayaknya gue mau syahadat deh, mau mualaf”. Saya bilang “seriusan lo?” Dijawab,“Iya”. Saya jawab lagi, “dipikir lagi, jadi Islam itu berat, Ferguso.”.
“Ya sudah cari kiai” akhirnya tak bilang gitu. Dia bilang “kalau gue harus masuk Islam ya harus sama elo lah, kan elo yang ngajarin gue,” gitu katanya. “Ya siapa tahu elo punya ustaz yang lain yang lebih mumpuni”, “Enggak, ah, kalau mau masuk Islam harus sama elu.”
Nah, masalah terjadi ketika kemudian ada permintaan dari pihak-pihak supaya kita live (menayangkan pengucapan syahadat) di Hitam Putih. Saya bilang ya udah enggak ada masalah. Sampai akhirnya kita tahu tidak memungkinkan karena regulasi KPI. Itu bukan permintaan saya, bukan permintaan Deddy. Untuk apa juga, sekarang kan TV juga banyak kalah dengan medsos.
Akhirnya karena Hitam Putih enggak jadi, itu H-2 kalau enggak salah. “Bro, Hitam Putih enggak bisa, regulasi KPI enggak memungkinkan”. “Terus gimana? Aku ke rumah elo enggak masalah, atau elo ke pondok enggak masalah”. Dia bilang “Ya afdalnya gue ke pondok elo-lah, kalau masuk Islam masak di rumah gue”. Ya udah akhirnya terjadilah itu.
Jadi dialog antara saya dengan dia itu tidak guru dengan murid, tapi lebih dari itu. Benar-benar sohiblah itu. Aku nyaman dengan dia dan dia nyaman dengan saya, itu kuncinya di situ aja sebenarnya. Kan yang ngajakin dia masuk Islam banyak. Ya jalan hidayah lah, dia milih saya ya karena Allah dan dia dapat hidayah bukan karena saya, tapi karena Allah.
Jadi guru spiritualnya Deddy adalah Anda?
Menurut pengakuan dia seperti itu.
Dia memang banyak ngobrolnya hanya dengan Anda atau ada ustaz yang lain?
Dia pernah bilang sama saya begini. Kalau saya harus belajar Islam atau kalau saya harus tahu tentang Islam, i want to learn just from 2 persons. From you, dari saya maksudnya, yang kedua dari Cak Nun.
Maka saya pernah diminta Deddy “Bro, ulang tahun Hitam Putih nih bisa enggak hadirkan Cak Nun?”. Saya datang kepada Cak Nun, saya teleponkan si Deddy, ngobrol mereka berdua. Ya tapi karena sibuk masing-masing kan jadi Cak Nun dengan Deddy belum bisa ketemu.
Kalau saya kan lebih banyak ngalahnya. Kayak besok hari Jumat saya ada jadwal di Jawa Timur, saya bela-belain ke Jakarta. “Gue punya janji sama elu, Jumatan” karena kan Jumatan perdana gitu lho. Kalau enggak saya bimbing, enggak saya bersamai kan pasti dia malu. “Udah gue ke Jakarta tapi langsung balik ya” “Ya bro, enggak masalah”.
Waktu itu yang sama Cak Nun juga membicarakan toleransi?
Ya saya pikir Deddy senang dengan pikiran-pikiran Cak Nun, salah satunya soal toleransi.
Apa hal yang membuat Deddy sangat gelisah soal spiritual?
Dia bilang begini, “Kalau toh saya harus masuk Islam, saya harus menjadi pembela kaum marjinal. Aku sama elo harus ada manfaatnya di wilayah itu.” Islam dalam bentuk yang lainlah. Kan Islam di Indonesia gambarannya cuma itu-itu terus.
Terakhir kemarin bulan Ramadhan sebelum dia memutuskan masuk Islam itu, seminggu sebelum Ramadhan dia bilang, sebenarnya konsep imannya orang Islam bagaimana sih, bro? Saya sampaikan iman kepada Allah itu konsepnya adalah meyakini bahwa Allah itu disifati dengan segala sifat kesempurnaan, dan dibersihkan dari semua sifat kekurangan. Terus dia bilang “Berarti Islam itu sempurna?” “Iya”. “Berarti Allah itu sempurna?” “Iya”. “Kalau memang Islam itu sempurna, kalau memang Allah itu sempurna, kenapa hari ini ada orang yang mengatakan membela Islam?”
Nah, haha, itu pasti larinya ke sana. Saya bilang “Kalau saya sih enggak setuju. Kalau orang membela berarti dia merasa lebih hebat dari yang dibela.” Dan dia mengatakan “This is amazing”.
Adakah pertanyaan Deddy yang membuat Anda kesulitan menjelaskan?
Dia pernah bertanya begini, “Bro, gue lihat kok kadang-kadang ajaran Islam banyak yang tidak rasional, ya. Ayat Al-Quran itu ada yang tidak rasional, bahkan banyak.”. Saya jawab, “contohnya apa, brad?”. “Tuh Ibrahim disuruh motong leher anaknya, kan enggak rasional. Punya anak cuma satu disuruh motong. Tuh Nabi Yunus dimakan ikan enggak mati.” Pertanyaan dia adalah kenapa tidak semua ajaran agama tidak bisa diterima oleh akal.
Waktu itu saya mikir, wah ini pas YouTube-an, collab, dan enggak ada persiapan kan. Waduh mati gue. Tak pikir, “tunggu, bro”. Beberapa saat kemudian akhirnya saya jawab “bro, kalau kamu bertanya kenapa tidak semua ajaran agama tidak bisa diterima oleh akal, tidak bisa dirasionalisasikan, tidak logis, saya jawab, karena kalau semua ajaran agama bisa dirasionalkan, bisa diterima oleh akal, berarti enggak ada bedanya agama dan ilmu pengetahuan. Di sana dia kaget, “Gila elo”. Dia tepuk tangan waktu itu. “This is good,” katanya.
Iya kan? Kalau semua agama itu masuk akal kita enggak perlu punya agama. Cukup sekolah saja, cukup kuliah saja.
Kemarin Deddy diajari wudu dan salat waktu mau jemaah bersama Kiai Ma’ruf hanya dalam waktu 3 menit, bagaimana ceritanya itu?
3 menit enggak ada. Saya ditelepon sama ajudannya Kiai (Ma’ruf Amin). Kan dijadwalkan ketemu sama Kiai jam 18.30. Saya perjalanan dari bandara menuju rumah Kiai. Di depan rumah Kiai, mau ketemu, ajudan bilang “Gus, itu si Deddy mau diajak salat Kiai Ma’ruf, sudah siap belum?” “Bentar Pak, saya tanya dulu”, “Bro, diajak salat jemaah Magrib” “Gila lo, kan elo belum ngajarin gue”.
Udah tuh aku praktik di depan dia “Elu contoh ya, elu liatin aja kan kita makmum tuh, gerakan Pak Kiai elu ikutin, elu di samping gue.” Itu lucu. “Imamnya berdiri, kamu berdiri, imamnya duduk kamu duduk, imamnya sujud kamu sujud, bisa kan?” Jadi kayak tangannya dia salah, memang belum saya ajari karena sudah ditunggu di dalam kan. Akhirnya dia mengatakan “it’s oke-lah”. “Gitu ya, gerakannya cuma itu tok kok enggak macam-macam. Elu aja gerakan sulap macam-macam bisa, masak kayak gini enggak bisa.”
Terus mau wudu, wudunya gimana dong? Langsung saya ajak ke kamar mandi. Aku wudu duluan tak suruh dia lihat, begitu dia wudu saya bimbing.
Bagaimana merespons komentar netizen di sosmed yang mengkritik gerakan salat Deddy?
Itulah kadang-kadang, kan artinya syahadat jam 13.00, salat jam 18.00, kan baru 5 jam masuk Islam. Sudah ada yang nyinyir gerakannya salah macam-macam. Makanya bahasa saya kan yang Islam dari orok saja banyak yang belum salat, cerewet amat. Terus dia telepon saya “Elu belain gue terus sih” katanya.
Dan dia betul-betul surprise dengan salat itu. Aku tanya kan habis itu “Feel you gimana bro? sense-nya gimana?”. “Amazing, bro”. Pengalaman yang luar biasa gitu lho.
Dia belum ngerti bacaannya kan itu?
Belum, tapi dia sudah bisa merasakan nikmatnya salat, dia memahami. Ini belum saya sampaikan filosofi kenapa orang rukuk, orang sujud, belum sampai situ. Bacaan aja belum, gerakan aja cuma 3 menit.
Tapi dia memang memutuskan masuk Islam karena nilai-nilai Islam ya?
Iya karena dia sebenarnya enggak belajar Islam, belajar jadi orang baik dan membaikkan. Lha dia melihat itu, aku bisa jadi contoh buat dia gitu. Dan akhirnya dia menyatakan kebaikan ini berangkat dari Islam, makanya gue harus masuk Islam.
Sebagai mualaf, apakah Anda menyarankan Deddy ikut pesantren kilat atau sejenisnya?
Saya bilang enggak harus seperti itu. Toh sekarang belajar bisa dari mana pun walaupun gue enggak bisa ketemu sama elo tiap hari, kita bisa teleponan. Saya bilang saya punya saudara di Jakarta karena kita enggak bisa ketemu sering nanti saudarakulah yang akan membimbing elo. “Tapi sama kan modelnya kayak elo?” dia bilang gitu. Yang ditanya model, gitu. “Iya, enjoy orangnya”. Yang simpel-simpel kayak gerakan salat, bacaan, dan sebagainya gitu.
Maka kayak sowan-sowan kiai itu murni ide saya. Saya sowankan Pak Kiai Said, Pak Kiai Ma’ruf, Abah Luthfi, dan kiai-kiai lain. Dan itu memang atas kehendak Allah. Begitu kita landing di Soekarno-Hatta itu Pak Said mau take off makanya ketemu sekalian. Jadi yang saya janjikan 3, udah ketemu 2.
Rencana tanggal 19 Juli kita ke Pekalongan, di sana ada maulid dan salawatnya Abah Luthfi, kita mau sowan ke sana insyaallah.
Semua yang dipertemukan kiai NU?
Ya, kebetulan karena yang saya kenal. Kalau saya enggak kenal gimana saya mau nemuin, gitu lho. Saya tidak ngomong harus kiai NU. Kebetulan kenalnya saya dengan kiai NU karena kultur saya seperti itu. Dan dia juga nyaman. “Kenalin kiai-kiai elu dong, yang deket sama elo,” gimana coba. Masak enggak dekat mau saya samperin, iya kalau diterima.
Ada pesan khusus untuk Deddy setelah mualaf?
Saya berharap kemudian dia betul-betul memaksimalkan potensi ini. Saya berharap dia menjadi muslim yang menjadi warna baru di Indonesia. Apa yang dia cita-citakan menjadi pembela kaum marjinal itu bisa terwujud. Saya enggak berharap banyak sih. Dia sudah bisa memililh mana yang baik mana yang buruk.
Saya cuma berdoa mudah-mudahan dia istikamah dan kemudian justru bukan kepada Deddynya. Saya minta kepada umat di Indonesia untuk support dengan dia. Kadang-kadang orang Islam malah nyinyirin sendiri, termasuk kemarin Gus Miftah ngajarin Al-Fatihah Deddy, tajwidnya enggak fasih. Gimana gue mau fasih, (kalau) pertama ketemu dia ngomong Al-Fatihah malah dia ilfeel entar. Ini lho metode saya.
Apakah menurut Anda Deddy cukup tahan menghadapi beragam komentar netizen soal keputusannya masuk Islam ini?
Saya pikir hari ini kalau konten Instagram, YouTube dan lain-lain yang senang 90 persen. 10 persennya (kontra), ya lumrahlah. Dan salah kalau orang bilang karena ini dibikin konten. Kemarin Deddy posting live di IG-nya enggak? Enggak kan. Dia live di YouTube enggak? Enggak. Dan saya pun juga enggak.
Saya posting dia syahadat baru kemarin setelah kejadian. Deddy posting besoknya dan itu pun sudah banyak yang posting. Artinya kalau dia mau eksklusif kan mending kita berdua, jadi konten, ngeri sekali kan begitu. Ternyata enggak, enggak ada sama sekali. Karena memang niatnya bukan untuk konten, bukan karena masalah, bukan karena nikah.
Soal konsekuensi sebagai muslim dengan sederet kewajiban seperti salat 5 waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain, apakah dia sudah menyadari dan berkomitmen dengan hal itu?
Ya saya pikir pelan-pelan. Saya pikir yang tadinya belum syahadat menjadi syahadat itu sudah lompatan yang luar biasa. Soal nanti amaliahnya kita tata pelan-pelan. Saya bilang begini yang namanya orang hijrah dalam tanda kutip atau taubat bukan buruk menjadi baik kemudian menjelekkan orang yang buruk. Tapi dari buruk menjadi baik, cukup di situ.
Yang tadinya belum salat menjadi salat, jangan pernah menjelekkan mereka yang belum salat. Ya kalau soal itu saya yakin Deddy kuatlah. Tapi memang saya butuh memberikan pemahaman kepada beliaunya soal itu step by step.
Jadi sampai sekarang komunikasi masih intens?
Oo masih. Hari ini tadi udah berapa kali telepon.Jumat saya ke sana saya ajak ke masjid. Kan perdana kalau enggak saya dampingi kasihan juga dia kan, masih bertanya-tanya.
Jumatan di mana?
Di Bintaro rencana. Dekat rumah dialah. [kp]