GELORA.CO - Twitter menerapkan kebijakan baru yang menyembunyikan twit dari para pemimpin negara dan politisi yang dinilai melanggar aturannya. Kebijakan ini dilakukan dengan alasan “demi kepentingan bersama”.
Dijelaskan, Twit dari pejabat dan politisi pemerintah terkemuka yang melanggar aturan platform tapi tidak dihapus namun akan disembunyikan di balik label pemberitahuan. Twitter mengakui bahwa mereka tidak secara jelas mengkomunikasikan banyak keputusan ini di masa lalu.
Melansir BBC News dan the verge, Jumat(28/6), kebijakan baru ini akan diterapkan pada twit yang dikirim setelah 27 Juni 2019 kemarin.
Jika tim Twitter menemukan postingan yang melanggar, maka twit tersebut akan muncul dalam bentuk kotak abu-abu yang memberi tahu pengguna bahwa itu berisi konten yang melanggar. Namun, pengguna masih bisa melihat twit tersebut dengan mengklik kotak bertuliskan “View”.
“Tokoh publik menggunakan Twitter memberikan pengaruh kepada publik dan kadang mencuitkan hal-hal yang dinilai kontroversial atau mengundang perdebatan dan diskusi bagi sebagian orang. Tugas kami untuk menyediakan wadah agar pengguna dapat secara terbuka menanggapi dan meminta klarifikasi para pemimpinnya,” tulis Twitter.
Di masa lalu, Twitter membela beberapa keputusannya dengan mengatakan bahwa twit yang dimaksud “layak diberitakan”. Contohnya, pada September 2017 perusahaan itu memutuskan untuk tidak menghapus sebuah twit kontroversial dari Presiden AS Donald Trump.
Dalam twit tersebut, Trump mengatakan: “Baru saja mendengar Menteri Luar Negeri Korea Utara berbicara di PBB. Jika dia menyampaikan pemikiran sang Little Rocket Man (julukan Trump untuk pemimpin Korea Utara Kim Jong-un -red.), mereka tidak akan ada lagi!”
Banyak orang menafsirkan pesan itu sebagai ancaman bagi Korea Utara. Meskipun Twitter memutuskan bahwa kiriman tersebut layak diberitakan, tidak ada indikasi akan hal tersebut di aplikasi maupun situs web Twitter.
Twit yang ditempatkan di belakang label pemberitahuan baru tidak akan lagi muncul dalam hasil pencarian dan tidak akan dipromosikan oleh algoritma platform.
Kebijakan baru ini hanya akan diterapkan pada pengguna yang merupakan atau mewakili pejabat pemerintahan, mencalonkan diri sebagai pejabat pemerintahan atau dipertimbangkan untuk posisi tertentu serta memiliki lebih dari 100.000 pengikut. Juga memiliki akun Twitter yang terverifikasi.
“Ini sebuah langkah, meskipun kecil, di arah yang benar,” kata Dr. Zoetanya Sujon dari London College of Communication.
“Tentu saja, ini tidak menghentikan rasisme atau disinformasi politik. Dan tidak akan memberi dampak yang berarti pada masalah pelecehan di Twitter,” tambahnya. [ns]