OLEH: ZAINAL BINTANG
SANGAT menarik menyaksikan teater politik yang dipentaskan di gedung MK (Mahkamah Konstitusi) ketika menyidangkan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2019 antara kubu Paslon 01 (Jokowi-Maruf) versus Paslon 02 (Prabowo-Sandi) yang berlangsung dari 14 sampai 21 Juni 2019.
Yang digugat kubu Paslon 02 selaku pemohon adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) bersama pihak terkait Paslon 01 karena adanya dugaan kecurangan dan pelanggaran administrasi di dalam proses pengumpulan suara pada pertarungan elektoral bersiklus lima tahunan itu. Dikatakan teater politik karena melibatkan aktor politik kelas berat, baik Paslon 01 maupun Paslon 02. Kedua paslon itu maju bertarung atas legitimasi koalisi partai politik yang disyaratkan oleh UU.
Meskipun yang menjadi termohon adalah KPU namun pada hakekatnya Paslon 01-lah yang menjadi target gugatan pemohon karena dianggap telah menempuh jalan gelap untuk memenangi pertarungan elektoral tersebut. Oleh sebahagian publik keputusan Paslon 02 menggugat kemenangan Paslon 01 dipersepsikan sebagai pertarungan terbuka antara kubu kerakyatan melawan kubu kekuasaan.
Tim kuasa hukum Paslon 02 tidak puas dengan cara penanganan lembaga pengelola sengketa Pemilu awal yang bernama KPU, Bawaslu (Badan pengawas Pemilu), Sentra Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu) dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
Mereka memilih berjuang keras membawa gugatan ke dalam gedung MK. Meskipun oleh UU 7/2017 secara tegas telah membagi habis tugas institusi penanganan sengketa. MK mendapat bagian paling akhir: memeriksa keabsahan selisih suara limpahan dari KPU.
Peluang terbuka yang diberikan oleh majelis hakim MK membuka mata dan hati masyarakat untuk ikut larut menyelam ke dalam samudera lika liku permainan kecurangan dan pelanggaran yang didalilkan. Hal yang sama terjadi pada kubu yang tergugat dan terkait. Merekapun memperoleh ruang yang sama luasnya untuk menampilkan tangkisan dan bantahan dengan berbagai argumentasi, kiat dan taktik melalui kepiawaian saksi fakta dan ahli-ahli yang sangat mumpuni di bidangnya untuk mementahkan dalil pemohon.
Persidangan yang terbuka untuk umum itu disiarkan langsung televisi. Ditonton seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di luar negeri. Pementasan sengketa politik di wilayah hukum memantik partispasi emosi penonton. Pasif namun impresif. Menunjukkan betapa tingginya respons emosionalitas publik di dalam pencarian keadilan.
Di luar gedung MK, segala bentuk argumentasi, diksi, narasi dan intrik yang berhamburan di persidangan mendapat perhatian masyarakat secara sungguh-sungguh. Sebuah pengadilan "tandingan" untuk mencari keadilan dalam bentuk lain berlangsung di luar gedung MK. Di warung-warung kopi berkelas maupun di tempat mangkal masyarakat the man on the street pun tidak mau ketinggalan memberikan penilaian sesuai apa yang mereka rasakan.
Medan perang yang dikobarkan para pihak bersengketa adalah pada wilayah pembuktian atau pembantahan tuduhan kecurangan dan pelanggaran. Paparan lika liku dugaan kecurangan maupun sanggahan dan bantahannya dibeberkan dengan gamblang dan rinci oleh saksi fakta dan ahli dari dua kubu. Publikpun dengan leluasa menyimak dengan khidmat presentasi visual yang cukup dramatik.
Pengadilan sengketa di MK itu pada akhirnya akan menggelinding mengikuti sumbu konstitusional yang ajeg. Siapa kelak yang akan menjadi pemenang sengketa, putusan akhirnya memang ada di tangan sembilan majelis hakim yang bekerja berdasarkan subjektifitas suara hati nurani mereka selaku "wakil Tuhan" di dunia.
Keadilan dari gedung persidangan MK tidak akan pernah sama dengan keadilan yang mengeram di dalam lubuk hati masyarakat. Keduanya akan terus berkelindan di dalam rantai sejarah peradilan dari masa ke masa. Teater politik itu telah turut menyumbang banyak renungan dan membuka ruang terdorongnya kegelisahan pembaharuan di dalam khasanah dunia peradilan kita.
Apapun itu, fiat justitia ruat caelum: hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Seperti kata Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.[rmol]