Oleh: Surya Darma Hamonangan*
KEMAJUAN berkelanjutan dan kemenangan demokrasi membutuhkan ‘integritas elektoral’.
Sedemikian pentingnya hal ini, sehingga didirikan Electoral Integrity Project (EIP) pada pertengahan 2012 yang salah satu tujuannya adalah mengukur integritas pemilihan umum (pemilu) di seluruh dunia (1)(2). Walaupun EIP telah dikritik (3) oleh Andrew Gelman, yang mendapat balasan (4) dari pendirinya, Pippa Norris, istilah 'integritas elektoral' secara tepat menangkap semangat Pasal 21-3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:
"Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara."
Oleh itu, sangat mengkhawatirkan ketika mengetahui bahwa dalam beberapa tahun ini, pemilu yang dilaksanakan di Asia Tenggara dipersepsikan sebagai salah satu pemilu terburuk di dunia (5). Dengan catatan bahwa persepsi ini adalah hasil survei EIP, Max Gromping merangkum (6) bahwa Asia Tenggara mendapatkan nilai terendah di antara semua wilayah di dunia dalam sub-indeks prosedur pemilihan, pendaftaran pemilih, liputan media, hasil, dan otoritas pemilihan.
Tahun ini, lebih mengkhawatirkan lagi ketika mengamati bahwa pemilu di negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia, telah memakan korban sekitar setengah ribu jiwa (7) hingga saat ini.
Berdasarkan ukuran dan lokasinya, sangat penting untuk memastikan pemilu di Indonesia, yang secara umum telah berlangsung dengan damai, mendapatkan legitimasi yang cukup untuk memastikan stabilitas politik di negara dan wilayah ini.
Dari jauh, tampaknya memang tidak ada masalah dengan hasil pemilu Indonesia. Kandidat presiden pertahana, Jokowi, dilaporkan telah memenangkan pemilu (8) dengan selisih yang lumayan tinggi, sekitar 17 juta lebih suara (9) dari penantangnya, Prabowo. Sepertinya selisih ini sulit untuk digugat.
Namun, setelah diteliti lebih mendalam, tanda-tanda bahwa demokrasi sedang dalam bahaya di Indonesia menjadi jelas terlihat. Klaim dan presentasi yang dapat dikuantifikasi dan diverifikasi untuk menggambarkan kurangnya integritas pemilu atau kecurangan pemilu yang ‘terstruktur, sistematis, dan masif' telah terjadi secara konsisten disuarakan oleh para komentator pemilu yang lebih berpikiran statistik dan ilmiah.
Contohnya, akun twitter anonim @ireneviena berulang kali mengklaim bahwa pola statistik kecurangan pemilu dalam pemilihan pilpres 2019 dapat dengan mudah diperiksa dengan melihat sejarah pemilu-pemilu sebelumnya.
Salah satu pola adalah pada Pemilihan Presiden 2014, Jokowi secara konsisten memperoleh 67 persen (10) suara di seluruh Jawa Tengah kecuali untuk dua kabupaten atau kota. Akun tersebut kemudian mengklaim bahwa hasil yang seragam seperti ini secara statistik tidak mungkin dalam pemilu yang bebas dan adil.
Untuk pemilihan presiden 2019 pula, muncul pola lain. Di provinsi/kabupaten/kota yang dimenangkan oleh Jokowi, rasio suara terhadap penduduk secara konsisten berada di antara 56-100 persen (11), sementara yang dimenangkan oleh Prabowo, rasionya adalah 42-45 persen. Hal ini juga tidak mungkin secara statistik dalam pemilu yang berintegritas, klaim akun twitter tersebut lagi.
Juga dari twitter, dan kali ini tidak anonim, @cannywatae (12) menjelaskan secara mendalam detail grafik melalui serangkaian kicauan (13) bagaimana pemilih dan pengamat sengaja disesatkan oleh lembaga survei politik komersial dan sistem penghitungan suara elektronik Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Penjelasan statistik dalam blognya tentang mengapa hampir semua lembaga survei, komersial atau tidak, telah melakukan salah perhitungan juga sangat mencerahkan (14).
Klaim-klaim dan presentasi-presentasi ini dapat dengan mudah ditolak dan diabaikan, terutama mengingat keberpihakan para pelontarnya terhadap Prabowo secara eksplisit. Namun, sifat data mereka yang dapat diukur dan diverifikasi membuat klaim-klaim dan presentasi-presentasi ini layak diselidiki lebih lanjut, khususnya dalam konteks statistik dan sains.
Ternyata, dalam kedua konteks ini, ada bidang studi khusus yang objeknya adalah hasil pemilu, yaitu angka-angka yang dihasilkan dari prosedur-prosedur pemilihan, seperti jumlah pemilih, jumlah suara, dan variasi kedua hal ini. Bidang studi ini bernama forensik pemilu (15).
Istilah forensik pemilu diciptakan oleh oleh Walter Mebane (16) dari Universitas Michigan pada 2006 (17). Secara singkat, istilah ini dapat didefinisikan sebagai penggunaan metode kuantitatif (18) untuk mendeteksi kecurangan pemilu atau lebih ‘optimis’ (19), untuk “menentukan apakah hasil pemilu mencerminkan kehendak pemilih secara akurat”. Metode kuantitatif ini biasanya berbentuk (20) "seperangkat alat statistik yang dapat menganalisis data-data angka terkait pemilu dan mendeteksi pola-pola penyimpangan dari yang seharusnya terjadi secara alamiah, sesuai dengan prinsip-prinsip matematika yang ditetapkan."
Selanjutnya, “Angka-angka yang telah dimanipulasi manusia menunjukkan pola yang tidak mungkin terjadi jika dihasilkan oleh proses alamiah - seperti pada pemilu yang bebas dan adil ... Penyimpangan ini menunjukkan bahwa angka-angka ini sengaja diubah atau ada faktor-faktor lain - seperti tindakan-tindakan strategis pemilih - yang mempengaruhi hasil pemilihan.”
Forensik pemilu sangat berguna karena, seperti yang disebutkan sebelumnya, yang dibutuhkan hanya data angka-angka pemilihan untuk analisis, yaitu (21) “laporan hasil pemilu, dipilah sampai ke tingkat konstituensi pemilihan, daerah pemilihan, dan/atau tempat pemungutan suara (TPS)," yang memungkinkan untuk terjadinya “analisis sistematis terhadap laporan perolehan suara pada semua tingkat pemilihan di semua wilayah pemilihan.”
Dengan kata lain, jika pemilu merupakan kegiatan yang dapat dibagi menjadi input, proses, dan output, forensik pemilu adalah cara untuk menentukan secara statistik apakah output valid atau tidak, terlepas atau tidak tergantung dari input atau proses.
Dalam konteks Indonesia, metode ini sangat membantu karena data angka-angka hasil pemilu saat ini, bahkan hingga ke tingkat TPS, tersedia secara umum dan pribadi. Tidak peduli data mana yang analisis, baik yang resmi dari KPU, atau dari salah satu tim kandidat (BPN atau TKN), atau dari KawalPemilu (22) dan inisiatif serupa, kecurangan, jika ada, dapat dideteksi. Bahkan jika secara mencurigakan hasilnya terkesan sempurna (23), kecurangan tetap dapat terdeteksi.
Lebih berguna lagi adalah fakta bahwa alat-alat forensik pemilu terbaru dapat memperkirakan jumlah (24) suara curang (hingga puluhan juta), di mana (25) suara-suara ini dimanipulasi (hingga ke tingkat TPS), dan bagaimana (26) caranya (misalnya dengan menambah atau mengurangi suara). Dikombinasikan dengan informasi dan analisis ‘kualitatif’ (27) yang ada, metode ini sepertinya adalah cara pembuktian yang diminta dan dibutuhkan oleh (28) oleh Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pemenang sebenarnya dari pemilu 2019.
Metode ini memang telah disarankan sebagai cara pembuktian di pengadilan (29) untuk kasus-kasus seperti ini.
Dengan tingkat ketelitian dan kemenyeluruhan seperti ini, tidak mengherankan bahwa jika dilakukan dengan benar dan hati-hati, forensik pemilu sangat jarang gagal memprediksi terjadinya kecurangan dalam pemilu, terutama jika terjadi dalam skala besar atau secara meluas. Dua kasus baru-baru ini dapat menjadi contoh.
Kasus pertama adalah pemilu Kenya 2017. Ketika forensik pemilu dilakukan dengan data dari 40.818 tempat pemungutan suara (30) pada pertengahan September 2017, disimpulkan bahwa kecurangan secara meluas tapi dalam skala kecil telah terjadi, yang menghasilkan beberapa persen total suara curang.
Kesimpulan hati-hati (31) yang diambil dalam makalah ini kemungkinan besar digunakan karena ketidakpastian mengenai data penghitungan suara yang digunakan dalam forensik pemilu, yang mungkin tidak “sesuai dengan penghitungan sebenarnya di TPS.”
Mungkin karena mendapatkan lebih banyak informasi mengenai penghitungan suara dan data serta prosedur pemilu terkait lainnya, dalam keputusan bersejarah pada bulan September tahun tersebut, Mahkamah Agung (MA) Kenya memutuskan untuk menyetujui hasil pemilihan parlemen dan lokal (32), tetapi membatalkan hasil pemilihan presiden (33). MA Kenya memerintahkan pemilihan ulang dalam 60 hari setelah memutuskan bahwa Komisi Pemilihan dan Batas Independen Kenya “gagal, mengabaikan, atau menolak melakukan pemilihan presiden dengan cara yang sesuai dengan perintah Konstitusi” dan “melakukan penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam menyampaikan hasil pemilu.”
Kasus kedua adalah pemilihan presiden Austria 2016. Melalui perangkat forensik pemilu (34), di mana tiga jenis metode statistik (35) digunakan, disimpulkan pada awal Juli tahun itu bahwa tidak ada kecurangan (36) yang ditemukan. Pada putaran kedua pemilihan, anomali kecil terdeteksi, yang diperkirakan berkorelasi dengan 3870 suara curang atau 0.087 persen dari total suara, tidak cukup untuk mengubah hasil pemilu.
Pada akhir bulan yang sama, ketika kasus ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) Austria, ditemukan penyimpangan di 14 dari 117 distrik administratif, di mana lebih dari 77900 suara dari pemilih yang tidak hadir langsung di TPS (37) dihitung terlalu cepat. Dalam pemilihan ulang yang diperintahkan oleh MK Austria, yang akhirnya diadakan pada bulan Desember 2016, hasil yang sama dengan pemilihan sebelumnya tetap diperoleh.
Dari kasus Austria, dapat dilihat bahwa hasil analisis forensik pemilu sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Sayangnya, untuk kasus Kenya, meskipun pemilihan ulang diadakan, hasilnya tidak dapat dibandingkan dengan pemilihan sebelumnya karena calon presiden oposisi menarik diri dari pemilihan ulang sambil mengatakan bahwa "tidak ada harapan bahwa pemilihan yang kredibel akan terjadi" (38).
Selain dua kasus yang terjadi di tempat yang berbeda, selama data yang diperlukan ada, forensik pemilu juga dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan di waktu yang berbeda pada tempat yang sama, seperti yang ditunjukkan dalam kasus Turki (39) dan Venezuela (40).
Dari dua kasus terakhir ini dapat dilihat bahwa ketika para elite yang sama terlibat dalam pemilu berturut-turut, kecurangan pemilu dapat terjadi dengan pola yang sama (Turki) atau berbeda (Venezuela).
Tidak kalah bergunanya adalah temuan bahwa jika dilakukan pada satu ‘periode waktu’ (41), forensik pemilu dapat membantu menentukan kapan kecurangan pemilu mulai terjadi di sebuah tempat.
Temuan ini sangat penting bagi Indonesia karena terjadinya kecurangan pemilu telah disuarakan sejak pemilihan presiden 2004 terkait dengan satu variabel pemilu yaitu: Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pada tahun tersebut, Indonesia mulai memilih presidennya secara langsung (42).
Kecurigaan pertama kali muncul karena ketidaksinkronan antara jumlah DPT dengan populasi di Indonesia. Secara singkat, jumlah populasi meningkat dengan pola yang stabil sekitar 14 hingga 16 juta dari tahun 1999 hingga 2019. Namun, jumlah DPT sebaliknya, meningkat secara signifikan dari tahun 1999 hingga 2004, kemudian menurun dengan pola yang tidak menentu dari 2004 hingga 2019, seperti yang bisa dilihat pada data berikut.
Tahun 1999
Statistik Populasi 209 juta
Perubahan Populasi +15 juta
Daftar Pemilih Tetap 11 juta
Perubahan Pemilih +33 juta
Tahun 2004
Statistik Populasi 224 juta
Perubahan Populasi +15 juta
Daftar Pemilih Tetap 151 juta
Perubahan Pemilih +25 juta
Tahun 2009
Statistik Populasi 239 juta
Perubahan Populasi +16 juta
Daftar Pemilih Tetap 176 juta
Perubahan Pemilih +12 juta
Tahun 2014
Statistik Populasi 255 juta
Perubahan Populasi +14 juta
Daftar Pemilih Tetap 188 juta
Perubahan Pemilih +5 juta
Tahun 2019
Statistik Populasi 269 juta
Perubahan Populasi - juta
Daftar Pemilih Tetap 193 juta
Perubahan Pemilih - juta
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia and Badan Pusat Statistik (BPS)
Pada kenyataannya, pola yang tidak menentu ini, dengan nama ‘stagnasi DPT', diprotes oleh tim Jokowi sekitar setengah tahun sebelum hari pemilihan (43). Para elite Indonesia juga memprotesnya, bahkan pakar hukum konstitusi Yusril Ihza Mahendra (44) dan intelektual publik Yudi Latif (45) mencurigai bahwa DPT sempat diisi oleh puluhan juta pemilih fiktif di masa lalu.
Oleh itu, bagi Indonesia, kemajuan-kemajuan yang dihasilkan dalam bidang forensik pemilu adalah berkah. Kecurigaan terhadap kecurangan pemilu yang melibatkan puluhan juta pemilih fiktif, yang tentunya membutuhkan upaya ‘terstruktur, sistematis dan masif', dapat diverifikasi secara tuntas.
Verifikasi ini akan lebih otoritatif jika dilakukan sesuai dengan prinsip dan praktik sains terbuka. Warga negara atau warga dunia dengan kemampuan statistik dan ilmiah dapat melakukan forensik pemilu mengikuti gaya The Reproducibility Project (46), sebuah kolaborasi terkemuka yang melibatkan ratusan peneliti untuk memverifikasi temuan seratus penelitian dalam bidang psikologi.
Melaksanakan prinsip-prinsip dan praktik-praktik sains terbuka untuk forensik pemilu Indonesia 2019 bahkan lebih mudah karena data dapat diperoleh secara publik berkat karya-karya para Indonesianis seperti Nick Kuipers dan inisiatif seperti KawalPemilu. Kuipers telah membuat data (47), yang berisi total perhitungan suara dari hampir 700.000 TPS (48), tersedia untuk umum di situsnya.
Selain itu, KawalPemilu memiliki antarmuka pemrograman aplikasi yang dapat diminta untuk mengunduh data serupa. Data ini kemudian dapat dibuat tersedia untuk umum seperti yang telah dilakukan untuk Data Pemilihan Presiden Rusia 2018 (49).
Lebih jauh lagi mengikuti semangat sains terbuka adalah jika publikasi-publikasi yang dihasilkan dari data terbuka di atas diunggah ke platform seperti Curate Science (50). Mengingat tingginya dampak publik publikasi-publikasi ini, dapat dikejar semua label transparansi yang ada di Curate Science, yaitu pra-registrasi, bahan terbuka, data terbuka, kode terbuka, dan standar pelaporan (51) .
Salah satu cara cepat untuk melakukan forensik pemilu adalah dengan menggunakan perangkat Election Forensics Toolkit (52). Perangkat ini dilengkapi dengan panduan lengkap dan kertas kerja (53) untuk referensi, serta contoh data (54) dan visualisasi (55) untuk banyak negara.
Contoh forensik pemilu saat ini yang menggunakan metode statistik lebih banyak daripada yang tersedia di perangkat di atas telah dilakukan untuk Kongo (56) pada awal 2019. Di Asia Tenggara, sebuah contoh dapat dilihat dari forensik pemilu yang dilakukan untuk pemilu Filipina 2016 (57). Untuk Indonesia, langkah ke arah forensik pemilu telah diambil oleh Seth Soderborg dalam presentasinya (58) mengenai pemilihan 2019 di Kedutaan Besar Australia.
Sangat disayangkan bahwa dalam konteks pemilu 2019, kebanyakan orang Indonesia tampaknya hanya menyadari 2 jenis forensik, IT (59) berkaitan dengan sistem penghitungan suara KPU, dan medis (60), berkenaan dengan kematian sekitar setengah ribu petugas pemilu.
Implikasi dari banyaknya pemilih fiktif di Indonesia, jika benar-benar ada dan dapat diverifikasi melalui forensik pemilu, sangat serius, tidak hanya dalam kaitannya dengan menentukan siapa yang sebenarnya dipilih oleh orang Indonesia sebagai presiden dan wakil mereka. Setiap penelitian kuantitatif yang terkait dengan pemilu Indonesia seperti Religion, Ethnicity, and Indonesia’s 2019 Presidential Election (61) harus mempertimbangkan fakta puluhan juta pemilih fiktif ini.
Begitu juga lembaga yang melakukan atau melaporkan analisis statistik yang berkaitan dengan pemilu, seperti konsultan politik, organisasi non-pemerintah (62) dan media massa.
Akhirnya, jika kecurangan yang meluas dan berskala besar memang dikonfirmasi oleh forensik pemilu, terutama jika dilakukan sesuai dengan prinsip dan praktik sains terbuka, terlepas dari keputusan Mahkamah Konstitusi, warga negara Indonesia dan pengamat asing kemudian dapat memahami mengapa mungkin tidak pernah ada kemajuan berkelanjutan dan kemenangan yang demokrasi untuk Indonesia, dan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara.
Di Indonesia, konflik berdarah yang terjadi setelah hasil pemilu diumumkan berpotensi terulang kembali dalam skala yang jauh lebih besar. Dampaknya lalu tidak hanya terasa di wilayah ini, tetapi juga di dunia.
Referensi
(1) https://en.wikipedia.org/wiki/Electoral_Integrity_Project
(2) https://www.electoralintegrityproject.com/
(3) https://statmodeling.stat.columbia.edu/2017/01/02/about-that-bogus-claim-that-north-carolina-is-no-longer-a-democracy/
(4) https://statmodeling.stat.columbia.edu/2017/01/02/constructing-expert-indices-measuring-electoral-integrity-reply-pippa-norris/
(5) https://thediplomat.com/2015/02/asean-has-worlds-worst-elections/
(6) https://www.newmandala.org/southeast-asian-elections-worst-in-the-world/
(7) https://www.asiamediacentre.org.nz/opinion/death-by-overwork-the-complicated-case-of-the-indonesian-election/
(8) https://www.economist.com/asia/2019/04/17/indonesias-president-wins-a-second-term
(9) https://www.thejakartapost.com/news/2019/05/21/its-over-jokowi-wins.html
(10) https://twitter.com/IreneViena/status/973731755130793984/photo/1
(11) https://twitter.com/IreneViena/status/1138636175625805824
(12) https://twitter.com/CannyWatae
(13) https://chirpstory.com/li/432227
(14) https://cannywatae.blogspot.com/2019/06/sejatinya-tidak-ada-hasil-qc-pilpres.html
(15) http://www.electionguide.org/digest/post/271/
(16) http://www-personal.umich.edu/~wmebane/
(17) https://www.youtube.com/watch?v=zkx_eO0PvXU&t=830s
(18) https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2018.11.010
(19) https://phys.org/news/2018-11-elections-forensics-legitimacy-election-outcome.html
(20) https://www.iie.org/Research-and-Insights/Publications/DFG-UM-Publication
(21) http://electionlab.mit.edu/sites/default/files/2018-12/eas-mebane.pdf
(22) https://kawalpemilu.org/
(23) https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2017/01/11/when-the-russians-fake-their-election-results-they-may-be-giving-us-the-statistical-finger/?noredirect=on&utm_term=.254a38980684
(24) https://www.theatlantic.com/international/archive/2016/09/russia-putin-election-fraud/500867/
(25) https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2016/02/15/were-there-irregularities-in-turkeys-2015-elections-we-used-our-new-forensic-toolkit-to-check/
(26) https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2836775
(27) https://mkri.id/public/Risalah/5385_Risalah-pdf_1.Pilpres.2019%2014.06.19.pdf
(28) https://nasional.kompas.com/read/2014/08/22/11025921/Ini.Penjabaran.Lengkap.Putusan.MK.Tolak.Gugatan.Prabowo-Hatta?page=all
(29) https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3051050
(30) http://www-personal.umich.edu/~wmebane/Kenya2017.pdf
(31) https://twitter.com/jandrewharris/status/909681566661607425?lang=en
(32) https://en.wikipedia.org/wiki/2017_Kenyan_general_election
(33) https://www.nytimes.com/2017/09/01/world/africa/kenya-election-kenyatta-odinga.html
(34) http://www.electforensics.org:3838/EFT_USAID/
(35) https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2016/02/15/were-there-irregularities-in-turkeys-2015-elections-we-used-our-new-forensic-toolkit-to-check/
(36) https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2016/07/01/we-checked-austrias-extremely-close-may-2016-election-for-fraud-heres-what-we-found/
(37) https://en.wikipedia.org/wiki/2016_Austrian_presidential_election
(38) https://www.theguardian.com/world/2017/oct/10/kenya-raila-odinga-withdraws-election
(39) https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0204975
(40) https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0100884
(41) https://en.wikipedia.org/wiki/Longitudinal_study
(42) https://en.wikipedia.org/wiki/2004_Indonesian_presidential_election
(43) https://nasional.kompas.com/read/2018/11/16/17101901/tim-jokowi-maruf-soroti-dpt-pilpres-2019-yang-stagnan
(44) https://chirpstory.com/li/163153
(45) https://nasional.inilah.com/read/detail/137983/yudi-latif-pilpres-harus-dibatalkan
(46) https://en.wikipedia.org/wiki/Reproducibility_Project
(47) https://www.dropbox.com/s/4ivwvq2ng1chfj9/pres19_full.csv.zip?dl=0
(48) https://nicholaskuipers.com/Data
(49) https://www.kaggle.com/valenzione/russian-presidental-elections-2018-voting-data
(50) https://curatescience.org/app/
(51) https://curatescience.org/app/about
(52) http://www.electforensics.org:3838/EFT_USAID/)
(53) https://www.iie.org/Research-and-Insights/Publications/DFG-UM-Publication
(54) (http://www.electiondataarchive.org/forensics.php
(55) http://www.electiondataarchive.org/toolkit.html
(56) http://www-personal.umich.edu/~wmebane/reportDRC.pdf
(57) http://web.stanford.edu/~kkalinin/apsa17_4.pdf
(58) https://scholar.harvard.edu/files/soderborg/files/aus_embassy_images.pdf
(59) https://www.google.com/search?safe=strict&ei=Ds4IXZjYK9GR9QO854S4BQ&q=forensik+pemilu&oq=forensik+pemilu&gs_l=psy-ab.3..35i39l2j0i22i30.4294.12601..12848...1.0..0.189.2393.0j15......0....1..gws-wiz.......0i71j0i10i67j0i67j0j0i131j0i20i263j0i203j0i10i203.jwAupye2A_s
(60) https://www.google.com/search?q=forensik+pemilu&safe=strict&source=lnms&tbm=nws&sa=X&ved=0ahUKEwjZqK7Y-fLiAhXUbCsKHecbAf0Q_AUIESgC&biw=1366&bih=621
(61) https://tompepinsky.com/2019/05/27/religion-ethnicity-and-indonesias-2019-presidential-election/
(62) https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2019/04/18/in-indonesia-jokowis-victory-reveals-shifting-voting-patterns/
*) Penggagas Publikasi Sains Terbuka Indonesia