GELORA.CO - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Pramono Ubaid Thantowi, menyoroti permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk pemilihan presiden (pilpres) yang diajukan tim kuasa hukum pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Menurut dia, terdapat ketidaksesuaian antara permohonan dengan petitum mengenai hasil penghitungan suara Pilpres 2019.
"Dalam permohonan yang dibacakan, pemohon mendalilkan KPU melakukan kecurangan dengan cara merekayasa Situng. Namun dalam Petitum, mereka meminta MK membatalkan perolehan suara hasil rekapitulasi secara manual. Ini namanya tidak nyambung," kata Pramono, dalam keterangannya, Sabtu (16/6/2019).
Dia menilai, untuk menyambungkan antara penghitungan menggunakan metode Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) dengan metode penghitungan manual, pemohon mencoba menyusun teori "adjustment" atau "penyesuaian".
"Dalam asumsi pemohon, angka di dalam Situng direkayasa sedemikian rupa oleh KPU untuk menyesuaikan dengan target angka tertentu, atau angka hasil rekap secara manual. Ini adalah asumsi yang tidak tepat," kata dia.
Dia menjelaskan, dua metode penghitungan suara itu berawal dari formulir C1. Namun, kata dia, mempunyai alur penghitungan berbeda.
Untuk metode penghitungan Situng, menurut dia, C1 dari setiap tempat pemungutan suara dilakukan pemindaian. Setelah itu, dilakukan mengunggah ke Situng oleh KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan, untuk metode secara manual dilakukan proses rekapitulasi secara berjenjang.
"Nah, angka yang digunakan untuk menetapkan perolehan suara setiap peserta pemilu adalah angka yang direkap secara berjenjang itu," tuturnya.
Sehingga, dia mengklaim, apabila logika pemohon diikuti, maka yang salah adalah angka yang tampil di Situng, karena hasil rekayasa. Seharusnya, dia menegaskan, angka penghitungan suara di Situng yang dipermasalahkan.
"Bukan angka hasil rekap manual. Kenapa? Karena angka hasil rekap secara manual tidak dibahas kecurangannya oleh pemohon di TPS mana, di kecamatan mana, atau di Kabupatem/Kota mana sebagaimana dituangkan dalam dokumen2 C1, DA1, atau DB1. Sama sekali tak ada," tegasnya.
Oleh karena itu, dia menambahkan, permohonan pemohon dengan apa yang dicantumkan di petitum tidak nyambung.
"Jadi, tuntutan agar hasil rekap manual dibatalkan, karena Situng katanya direkayasa, itu didasarkan pada logika yang tidak nyambung," tambahnya.
Untuk diketahui, tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno membacakan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk pemilihan presiden (pilpres) di ruang sidang lantai 2 Gedung MK, Jumat (14/6/2019).
Dalam permohonannya, ketua tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto menduga telah terjadi penggerusan dan penggelembungan suara selama proses Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
Menurut dia, berdasarkan hitungan Tim IT internal, ada penggerusan suara pasangan calon presiden-calon wakil presiden 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebesar lebih dari 2.500.000 dan penggelembungan suara pasangan calon presiden-calon wakil presiden 01, Joko Widodo-KH Maruf Amin sekitar di atas 20.000.000.
"Sehingga perolehan sebenarnya untuk suara pasangan 01 sekitar 62.886.362 (48%) dan suara untuk pasangan 02 sekitar 71.247.792 (52%)," kata BW, dalam keterangaanya, Jumat (14/6/2019).
Dia menjelaskan, proses itu diduga dilakukan menggunakan teknologi informasi. Hal ini, karena ditemukannya indikasi proses rekayasa (engineering), dan sekaligus adjustment atas perolehan suara yang sedari awal sudah di desain dengan komposisi atau target tertentu dengan menggunakan sistem IT tertentu.
Sementara itu, pada petitumnya, tim kuasa hukum Prabowo-Sandi meminta hakim konstitusi Menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wapres, anggota DPR, DPD, DPRD dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 dan Berita Acara KPU Nomor 135/PL.01.8-BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilu Tahun 2019 sepanjang terkait dengan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019. []