Oleh Soemantri Hassan (Pemerhati Kebijakan Publik)
Tahun 1990an adalah tahun tahun ledakan intelektual bagi seorang Emha Ainun Najib. Kami generasi muda 90an merasa banyak utang intelektual padanya.
Tahun tahun 90an. Begitu banyak tulisan Emha Ainun Najib alias Cak Nun biasa kami menyapanya menghiasi pemikiran generasi muda 90an.
Bahkan karya Cak Nun sebagian besar hadir dalam buku dan pementasan drama Kyai Mbeling. Salah satu buku yang saya crop dan sudah 2x cetak ulang kisah berjudul "2,5 jam bersama almarhum Presiden Suharto".
Cak Nun secara intelektual sebenarnya lebih dulu masuk gelanggang dan dikenal publik ketimbang tokoh NU yang lain. Termasuk almarhum Gus Dur yang baru di kenal luas tahun 80an.
Sedangkan Cak Nun sejak tahun 70an sudah menulis pemikiran pemikirannya baik di media massa atau pertunjukan drama kolosal.
Tahun kritis keintelektualan Cak Nun adalah tahun 1998. Tepatnya 18 Mei 1998, yang mana ia mempertaruhkan keintelektualannya menjadi salah satu utusan (dikenal tim 9) menemui Presiden Suharto untuk mundur.
Arus besar menghujatnya seperti ia ungkapkan di buku ini. Cak Nun harap harap cemas Suharto akan mundur. Intelektual sejati memang alergi ke istana.
Pada akhirnya Suharto memang mundur. 21 Mei 1998. Sejak Suharto mundur, sejak itu pula ia mundur dari gelanggang. Ia bahkan tak bermedsos. Cak Nun hanya tampil dalam pengajian yang kadang di televisi lokal atau youtube kita menemuinya.
Cak Nun menghilang.....di saat masih banyak para penumpang gelap dan pengkhianat 98 berkuasa. Kepada sidang pembaca yang budiman dan generasi milineal tolong sampaikan kepada Mbah Nun, ia harus ke gelanggang kembali.
Sampaikan pula Mbah Nun kepada manusia manusia Indonesia generasi penerus, siapa Prabowo Subianto, sebenarnya.
Prabowo Subianto seorang menantu yang lebih dahulu berani menasehati mertuanya untuk mundur (lihat hal 46).
Siapa yang lebih reformis disini sebenarnya Mbah Nun lebih tahu. Buku ini saksinya.[tsc]