GELORA.CO - Ambang batas pencalonan presiden atau yang dikenal dengan istilah presidential threshold (PT) dianggap sebagai akar dari segala permasalahan yang timbul selama perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, PT yang disyaratkan hingga 20 persen untuk mencalonkan presiden telah menciptakan hanya ada dua kubu kekuatan politik dalam lima tahun terakhir.
Hal itu, kata Refly, turut mendorong munculnya fenomena sebutan cebong dan kampret untuk menjuluki para pendukung kedua kekuatan politik tersebut.
"Oligarki politik memborong semua parpol sehingga hanya menyisakan satu calon agar Pilpres tetap berlangsung," ujar Refly di Twitter, Sabtu (29/6).
Persoalan PT ini, lanjut Refly, menjadi salah satu tugas penting yang menanti presiden terpilih yaitu Joko Widodo.
"Ke depan, karena Jokowi tidak nyalon lagi, hapuskan PT," tegasnya.
Menghapus PT tersebut adalah salah satu cara untuk memberikan kesempatan bagi generasi pemimpin untuk tumbuh dan berkembang. Tanpa adanya PT, imbuh Refly, generasi tersebut juga dapat dengan leluasa untuk turut serta dalam kompetisi Pilpres.
"Jangan biarkan oligarki politik mempertahankan PT dan memborong semua parpol sehingga terjadi dua calon lagi," pungkasnya. [rm]