*Penulis: Hersubeno Arief
“Saya menolak hasil perhitungan yang curang. Kami tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujuran. Saya akan timbul dan tenggelam bersama rakyat.” — Prabowo Subianto 14 Mei 2019 —
Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi sudah menolak permohonan sengketa yang diajukan paslon 02. Bersamaan dengan itu Mahkamah Agung (MA) juga menolak gugatan pelanggaran adminstratif pilpres yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Dengan begitu Jokowi-Ma’ruf tinggal menunggu penetapan dari KPU, dan pelantikan pada bulan Oktober. Tak ada lagi celah hukum bagi Prabowo-Sandi untuk menggugat.
Kabar santer yang berhembus, Jokowi akan bergerak cepat melakukan reshufle kabinet, tanpa menunggu pelantikan. Jadi partai-partai yang membelot dari koalisi 02 sudah bisa masuk gerbong tanpa menunggu periode kedua pemerintahan Jokowi. Namanya “Kabinet Rekonsiliasi.”
Cepat lambatnya pembentukan kabinet, sangat bergantung keberhasilan mereka menggaet Prabowo dan Gerindra. Semakin cepat Prabowo memberi kepastian bersedia bergabung, semakin cepat pula Kabinet Rekonsiliasi dibentuk.
Partai-partai lain seperti Demokrat dan PAN hanya bonus tambahan. Posisi dua partai ini berubah menjadi sangat penting manakala Prabowo dan Gerindra urung bergabung.
Jokowi tampaknya ingin memastikan pada periode “terakhir” pemerintahannya harus sangat kuat di kabinet dan kuat di parlemen. Kalau perlu jangan sampai ada oposisi.
Bersedia dan tidaknya Prabowo bergabung ke dalam pemerintahan sangat menentukan masa depan demokrasi di Indonesia, dan masa depan politik Prabowo serta Gerindra.
Skenario pertama, Prabowo bersedia bergabung dan menempatkan kadernya di kabinet Jokowi.
Jika ini yang terjadi maka Indonesia akan memasuki masa-masa —meminjam istilah Prof Kunio Yoshihara— Ersatz Democracy (Demokrasi Semu).
Namanya saja negara demokrasi, namun pada praktiknya pemerintah berkuasa sepenuhnya (totaliter). Rakyat sama sekali tidak diberi peran dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pemerintah.
Semua cabang kekuasaan dalam negara demokrasi : Eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan media, semuanya di dalam kontrol pemerintah.
Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Rakyat tidak akan percaya lagi kepada para politisi, dan paling buruk rakyat tidak lagi percaya demokrasi.
Persepsi rakyat tentang politisi hanya memanipulasi suara rakyat, mengadu domba rakyat, mengorbankan rakyat, dan setelah itu mereka bagi-bagi kekuasaan dan rente ekonomi.
Bagi Prabowo dan Gerindra pilihan bergabung ke dalam pemerintahan dengan imbalan beberapa kursi menteri, jabatan di MPR, DPR, dan beberapa jabatan lain harus dibayar mahal.
Reputasi dan kredibilitas Prabowo sebagai politisi yang dihormati akan hancur. Dia bukan figur yang bisa memegang amanah, satu kata dan perbuatan.
Ucapan Prabowo bahwa dia menolak kecurangan, tidak menerima ketidak-adilan dan ketidak-jujuran masih lekat dalam ingatan publik.
Bila dia kemudian berkompromi dan bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi, maka ibarat pepatah “menelan ludah sendiri.” Bukan sikap seorang kesatria yang terhormat.
Kawan dan lawan tidak akan menghormatinya. Jangan pernah bermimpi untuk kembali mencalonkan diri sebagai capres pada Pilpres 2024!.
Hancurnya reputasi dan kredibilitas Prabowo berarti juga hancurnya masa depan Partai Gerindra.
Tak bisa dipungkiri besarnya suara Gerindra karena faktor figur Prabowo (coattail effect). Meminjam kalimat yang diucapkan Prabowo “Gerindra akan timbul dan tenggelam bersama Prabowo.”
Partai Gerindra sampai saat ini masih sangat mengandalkan ketokohan, dan belum menjelma menjadi partai kader. Untuk sukses, sebuah partai setidaknya harus mempunyai dua syarat : ketokohan, dan mesin partai. Satu lagi yang tak kalah pentingnya, yakni sumber dana yang kuat.
Nasib Gerindra akan sama, bahkan lebih buruk dari Partai Demokrat. Suaranya terus tergerus dari satu pemilu, ke pemilu lainnya.
Saat ini sudah ada wacana dari kalangan pendukung paslon 02 melakukan gugatan bila sampai Prabowo dan Gerindra bergabung dengan Jokowi.
Mereka menilai Prabowo berkhianat. Mandat suara yang diberikan malah digunakan untuk tawar menawar dan jabatan.
Skenario kedua, Prabowo dan Gerindra menolak bergabung dengan pemerintahan Jokowi.
Selain Gerindra dan PKS, besar kemungkinan PAN akan tetap ikut bertahan dalam barisan oposisi.
Faktor Amien Rais yang sangat kukuh pada pendirian, bisa menjadi tembok tebal yang membentengi sikap pragmatis sebagian politisi PAN. Hanya Demokrat yang dipastikan membelot dan melupakan komitmen awal koalisi.
Rakyat tetap bisa berharap partai oposisi menjalankan fungsinya melakukan kontrol atas pemerintah (check and balances).
Bila opsi ini yang dipilih Prabowo, maka kita masih memiliki sedikit harapan atas masa depan demokrasi Indonesia.
Rakyat masih percaya ada politisi yang teguh pada pendirian, sejalan antara ucapan dan tindakan. Tidak semua politisi bersikap pragmatis, oportunis, tidak loyal, berkhianat hanya untuk sekerat jabatan.
Prabowo akan dikenang sebagai figur politisi yang teguh pendirian. Satu kata antara ucapan dan perbuatan. Dia akan menjadi simbol perlawanan yang tetap menjaga tegaknya demokrasi.
Sebagai oposisi, Partai Gerindra akan menjadi partai yang kuat. Bukan tidak mungkin bisa menjadi pemenang pemilu. Saat ini saja posisinya berada di urutan kedua pemenang pemilu di bawah PDIP.
Semuanya terpulang kembali kepada Prabowo. Mau tetap timbul dan tenggelam bersama rakyat, atau timbul sendiri dan menunggu ditenggelamkan rakyat. end (*)