Oleh : Hersubeno Arief
“Pengadilan melalui media ini sadis. Kalian jahat, atau kalian benci sekali kepada purnawirawan. Tolong kalian pakai hatimu sebagai manusia,” seru Kepala Staf Umum TNI ( 2011-2012) Letnan Jenderal TNI (Purn) Johannes Suryo Prabowo dari atas panggung di ruang Kesatria Wira Yudha, Hotel Atlet Century, Jakarta, Jumat (31/5) sore.
Para wartawan yang hadir menyesaki ruangan di lantai 1 itu hanya bisa terdiam. Seorang hadirin meneriakkan yel-yel “Komando!” Salam kebesaran pasukan baret merah Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD.
Sore itu Suryo bersama sejumlah purnawirawan jenderal tampak sangat berang kepada media dan petinggi pemerintah. Penangkapan Mayjen TNI (Purn) Soenarko Komandan Jederal Kopassus (2007-2008) dan pemberitaan media yang tidak proporsional membuat mereka marah besar.
“Saya bukan hanya marah, tapi sangat marah. Ini menyangkut harga diri Kopassus. Harga diri TNI,” ujar Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat.
“Banyak purnawirawan Kopassus dari Serang, Batujajar, dan Kandang Menjangan Kartasura yang ingin ke Jakarta. Termasuk kombatan GAM dari Aceh,” ujar Mayjen TNI (Purn) Zacky Anwar Makarim.
Soenarko dituduh menyelundupkan senjata dari Aceh, dan merencanakan makar dengan membuat kerusuhan pada aksi 22 Mei di depan Gedung Bawaslu.
Kasus Soenarko menjadi berita besar di sejumlah media. Majalah Tempo bahkan menjadikannya sebagai laporan utama.
Kalau benar seperti penjelasan Menkopolhukam Wiranto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala Staf Presiden Moeldoko, kasus ini memang sangat layak berita.
Ada keterlibatan tokoh besar, ada senjata, ada rencana pembunuhan, dan ada plot kerusuhan untuk menjatuhkan pemerintahan. Tapi apakah benar ceritanya seseram yang disampai para petinggi pemerintah dan diberitakan media?
Jumpa pers yang digelar oleh para pengacara Soenarko tergabung dalam Advokat Senopati-08 mencoba meluruskannya. Karena itu acaranya diberi tajuk “Trial By The Press”
Pengadilan oleh media. Seseorang sudah diputus bersalah oleh media, sebelum pengadilan memutuskan.
Jadilah ruang Kesatria Wira Yudha Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Jumat (31/5) sore berubah menjadi ruang pengadilan bagi media.
Ruangan yang terletak di lantai 1 itu penuh sesak. Di panggung duduk beberapa mantan petinggi TNI bersama beberapa orang pengacara dari Advokat Senopati-08.
Di atas panggung sejumlah kolega Soenarko duduk bersama Suryo. Mereka adalah Kepala Badan Intelijen ABRI (1997-1999 ) Mayjen TNI (Purn) Zacky Anwar Makarim, dan Sesmenko Polhukam (2016-2017) Letjen TNI (Purn) Yayat Sudradjat.
Ketiganya prajurit komando. Jiwa korsa, esprit de corps memanggil mereka untuk turun gunung. “ Ini tidak ada urusannya dukung mendukung 01, dan 02,” tegas Yayat.
Suryo (Akmil 76), dan Zacky (Akmil 71) adalah senior Soenarko (Akmil 78). Sedang Yayat (Akmil 82) adalah adik angkatan.
Selain mereka duduk di atas panggung Kolonel Inf (Purn) Sri Radjasa Chandra. Tokoh terakhir adalah saksi utama kepemilikan senjata “milik” Soenarko.
Radjasa saat itu menjadi Perwira Pembantu Madya (Pabandya) di Kodam I Iskandar Muda. Dia yang menerima penyerahan senjata yang kini diributkan itu dari kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Di bawah panggung sejumlah perwira tinggi tampak hadir. Mereka antara lain Wakil Kepala BIN (2014-2015) Mayjen TNI (Purn) Erfi Triassunu teman satu angkatan Soenarko di Akmil dan Kopassus, mantan Aslog Panglima TNI Mayjen TNI (Purn) Abikusno dan mantan Dan Satgas Intel BIA Brigjen TNI (Purn) Mazni Harun.
“Saya minta media seimbang, jangan hanya menulis berita berdasarkan kutipan seseorang. Jujur saya sakit hati dengan pemberitaan seperti itu. Jangan mengutip mentah-mentah pernyataan pejabat, meskipun yang bersangkutan memiliki wewenang dan kekuasaan. Tolong cover both side,” tegas Suryo.
Seperti orang dungu
Jika menyimak pemberitaan media arus utama (mainstream) kita pasti sampai pada satu kesimpulan : Bahwa Soenarko benar telah menyeludupkan senjata dari Aceh. Senjata itu akan digunakan untuk membuat kekacauan.
Skenarionya, kata Kepala Staf Presiden Moeldoko, seperti kerusuhan Mei 1998.
“Bila sampai ada yang tewas tertembak, maka seolah-olah aparat yang disalahkan,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Penjelasan Tito yang disampaikan dalam jumpa pers bersama Wiranto, dan Moeldoko, Selasa (21/5) sangat meyakinkan.
Kepada media mereka menunjukkan barang bukti senjata yang diselundupkan. Apalagi Wiranto menyebut ada rencana pembunuhan terhadap empat orang tokoh, termasuk dirinya.
Framing berita semacam itu kian mendapat pembenaran karena sebelumnya di sebuah video yang viral, Soenarko tampak mengarahkan massa untuk mengepung istana dan KPU.
Dalam laporan utama edisi pekan lalu Majalah Tempo menurunkan tulisan panjang dengan judul “ Paket dalam Tas Raket dan Skenario 22 Mei.”
Dalam tulisan itu dilaporkan dengan rinci proses “penyelundupan” senjata dari Aceh, sampai proses penangkapan Soenarko.
Tempo sempat mewawancarai Soenarko dua hari sebelum ia ditangkap. Soenarko membantah menyiapkan skenario makar. “Masak, makar membawa sajadah, kacamata, dan masker?” ujarnya.
Soenarko mengatakan berniat turun ke jalan untuk memprotes hasil pemilu bersama sejumlah purnawirawan. “Kalau sesuai undang undang kan boleh,” katanya. “Tapi, kalau mereka tak berangkat, saya juga tak berangkat.”
Dengan menampilkan hasil wawancara tersebut, sekilas Tempo sudah menjalankan prinsip cover both side meliput kedua belah pihak secara seimbang seperti yang dituntut Suryo. Namun secara keseluruhan laporan utama itu tidak berimbang.
Ada kalimat-kalimat yang telah menghakimi. Tempo misalnya menggunakan kata “ surat lancung” untuk untuk dokumen yang disebut palsu.
Dari laporan utama tersebut juga tampak Tempo mendapatkan pasokan informasi dari “orang dalam” karena mendapatkan detil proses pengiriman senjata, sampai penangkapan Soenarko.
Ada beberapa poin keberatan yang disampaikan para purnawirawan itu.
Pertama, istilah penyelundupan. Pengiriman senjata dari Aceh ke Jakarta, apalagi melalui jalur “resmi” —seperti penjelasan Radjasa— tidak bisa disebut sebagai penyelundupan.
“Penyelundupan itu berasal dari luar negeri. Ke dalam negeri,” tambah Suryo.
Menhan Ryamizard Ryacudu termasuk yang tidak sepakat dengan terminologi penyelundupan. Sebagai prajurit TNI yang kenyang dalam pertempuran, Ryamizard sangat tahu dalam operasi semacam itu ada senjata rampasan.
“Bukan senjata dari luar negeri. Itu senjata rampasan dari Aceh, Papua, dan Timtim,” kata Ryamizard.
Kedua, pengiriman senjata itu, seperti dikatakan Radjasa, sudah lama diminta oleh Soenarko. Setelah diperbaiki akan diserahkan ke museum Kopassus. Jadi bukan disiapkan untuk kerusuhan 22 Mei.
Ketiga, kalau memang benar Soenarko menyelundupkan senjata untuk membuat kerusuhan, maka jumlahnya bukan hanya satu. Seperti dikutip Tempo, Sunarko mendapat kiriman sepucuk M14, dua magasen, dan satu peredam. “ Kalau menyelundupkan jumlahnya ribuan. Seribu, dua ribu,” kata Suryo.
Keempat, senjata M14 itu usianya sudah sangat tua. Tidak lagi laik pakai. Zacky Anwar menyebut masa aktif sebuah senjata berkisar 10-20 tahun.
“Karena senjata, begitu dilewati 10 ribu hingga 20 ribu peluru, larasnya sudah aus, sudah non-standart, sudah under value, sudah tidak layak pakai bagi prajurit profesional,” katanya.
Senjata jenis M-16-A1 dan AR-15 banyak digunakan AS pada perang Vietnam 1957 dan perang di Indochina, serta Thailand Selatan. Senjata itu kemudian masuk ke Aceh. Jumlahnya ribuan.
Setelah Perdamaian di Aceh (2005) sebanyak 840 pucuk dimusnahkan sesuai perjanjian Helsinki. Namun warga banyak yang menyimpannya dan kemudian melalui berbagai pendekatan diserahkan kepada militer Indonesia. Salah satunya adalah senjata yang belakangan diributkan sebagai milik Soenarko.
“Usianya sekitar 30-35 tahun. Secara teknis itu senjata rongsokan,” tambah Zacky.
Kelima, Soenarko adalah jagoan tempur yang berpengalaman. Tuduhan bahwa dia akan membuat kerusuhan dengan menggunakan senjata rongsokan membuatnya menjadi seperti orang dungu. Itu sangat menghina.
Soenarko, kata Suryo, lulus terbaik dalam seleksi pasukan komando. Ketika Suryo menjadi Wakil Danrem Timtim, Soenarko menjadi Dandim Kota Dili. “Pos itu untuk orang pilihan.”
Untuk menjadi Pangdam Iskandar Muda di Aceh juga tidak mudah. Sebagai daerah konflik hanya orang-orang spesial yang bisa mendudukinya. Psikotesnya harus A plus. “ Seseorang bisa menjadi Pangdam I Iskandar Muda benar-benar pilihan. Most selected officer” tegas Zacky.
Soenarko bukan hanya jago tempur, tapi juga hebat dalam penggalangan. “Dia disayang oleh bekas musuh-musuhnya,” tambah Suryo.
Sebagai mantan militer dan orang Jawa kelahiran Medan, dia mempunyai posisi yang unik di partai lokal Aceh. Dia menjadi Dewan Pembina Partai Nanggroe Aceh.
“Semasa dia menjadi Pangdam Iskandar Muda, ulama keluar masuk kantor Kodam, seperti rumah sendiri,” tambah Zacky.
Keenam, senjata milik Soenarko, kata Soeryo, adalah jenis M16A1 l laras pendek. Beda dengan senjata M4 baru yang ditunjukkan Kapolri ke media. Senjata laras pendek tidak cocok digunakan oleh penembak jitu (sniper) yang akan membuat kerusuhan.
“Masak seorang Soenarko, Kopassus lagi, kemudian mau memberontak, dan yang lucunya kok menyelundupkan senjata hanya satu, ini masuk akal enggak ini, dan itu senjata busuk, itu senjata dimodifikasi,” tegas Yayat.
Dengan fakta-fakta tersebut para purnawirawan minta agar nama baik Soenarko dipulihkan.
Bagaimana media harus menyikapi kemarahan dan tuntutan itu?
Sebagai sebuah proses hukum, tentu kita kembalikan persoalannya dalam ranah hukum. Hanya pengadilan yang bisa memutuskan seseorang bersalah atau tidak.
Pengadilan oleh media, trial by press, jelas sangat terlarang. Dampaknya bisa jauh lebih serius dari vonis hakim itu sendiri. Dalam proses peradilan seseorang berhak menyampaikan pembelaan sebelum divonis.
Sementara dalam trial by the press media mengambilalih tugas dan hak seorang hakim. Seseorang sudah bersalah sebelum diadili. end