Oleh Margarito Kamis
Hakim-hakim konstitusi yang menyidangkan perkara permohonan perkara perselisihan hasil pemilu presiden 2019, terlihat tampil berani, jujur, adil dan menyegarkan. Tidak hanya mereka para saksi pemohon juga sama, berani, malah terlihat santai. Tetapi tetap saja kredit harus diberikan kepada hakim. Mereka hebat. Bersidang sampai subuh, pagi hari.
Keberanian mereka terlihat pada pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada saksi, dan koreksi-koreksi atas sikap para pihak yang berselisih. Manis sekali. Itulah gambaran yang paling beralasan atas penampilan para hakim yang mengesankan sepanjang sidang yang melelahkan itu.
Mengawalinya dengan mengenali ketepatan hukum acara atas alat bukti surat yang disusulkan pemohon, dengan pernyataan bahwa alat bukti surat yang ditambahkan pemohon yang belum terverifikasi keabsahannya, tepat. Hebatnya tanpa memerlukan waktu, Bambang Wijoyanto, ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo meresponnya. Tegas dan luas Bambang menyatakan menarik alat bukti yang belum terverifikasi itu.
Manis, seorang Pak Hartoyo, anggota Majelis yang mulia itu segera memadatkan kejujuran MK dengan menyatakan bisa jadi sebagian alat bukti yang dinyatakan belum terferifikasi itu, boleh jadi telah diverifikasi, tetapi belum diketahui persisnya. Oke. Salut. Membanggakan.
Prosedur vs Hasil
Agus Maksum, kabarnya pernah jadi simpatisan PBB, yang menjadi saksi pertama tampil lugas meyampaikan kesaksiannya. Menariknya tak sepatah katapun yang keluar darinya, apalagi lugas dan tegas mengenai perolehan suara. Sama sekali tidak. Tidak ada sepatah katapun juga yang menegaskan, misalnya suara pasangan Prabowo-Sandi di TPS ini sebesar ini, tetapi dialihkan dengan cara tertentu ke pasangan Jokowi-Ma’ruf. Sama sekali tidak ada.
Kesaksiannya semata-mata soal DPT dan elemen-elemennya, yang ia sendiri istilahkan invalid 1 dan invalid 2. Terihat Maksum cukup menguasai proses lahirnya DPT. Ini boleh jadi karena Maksum sendiri terlibat, pada pada tahap tertentu dalam usaha BPN mengenali kekuragan DPT. Menariknya ia deretkan fakta itu dengan fakta lain yang dia, dalam batas yang paling mungkin berhasil menemukannya. Misalnya fakta tentang beberapa KK pada salah satu Desa di Bogor.
Saksi kedua, kalau tidak salah namanya Idham, orang Biringkanaya Kota Makassar, yang terlihat cukup intelek dibidangnya, seperti Maksum juga bicara lugas tentang hal diketahuinya. Tetapi seperti Maksum, Idham pun tidak bicara perolehan angka pasangan calon. Idam cuma bicara DPT. Tetapi berbeda dengan Maksum, Idam tidak terlibat dalam proses penyusunan DPT. DPT yang dapatkan dan dijadikan dasar analisisnya adalah DPT yang peroleh dari Partai Gerindra pada sekitar bulan Februari 2019.
Tetapi sejauh yang terlihat, seperti Maksum, Idam juga menemukan hal-hal yang ia, dalam nada meragukan keandalan validitas material DPT pilpres ini. Idam dalam kerangka itu, entah untuk memastikan ketepatan analisisnya atas validitas materil DPT itu, ia dengan cara sendiri mengecek DPT yang digunakan di beberapa TPS.
Masih dalam langgam yang sama, Saksi ketiga yang dihadirkan, kalau tak salah Hermansyah namanya, seperti Maksum dan Idam, juga tidak bicara peroehan angka. Keterangannya hanya berkisar pada hal-ihwal Sistim Informasi Penghitungan (Situng) KPU. Dalam penilaiannya Situng ini tidak cukup andal.
Saksi, kalau tidak salah namanya Nur Latifah, mak-mak berjilbab dari Boyolali ini malah terlihat sangat berani. Ia dengan tegas menyatakan keadaan yang dialaminya. Ia, kalau tidak salah dalam keterangannya itu menyatakan dua hari setelah pencoblosan suara mengalami ancaman yang membahayakan jiwanya. Ini terjadi lantaran ia melihat seorang petugas KPPS mencoblos sebanyak 15 kali, dan tindakan itu divideokan entah oleh siapa. Menariknya video itu menyebar luas.
Beda dengan Nur Latifa, tetapi sama dalam hal berani Anas, kabarnya caleg PBB dan ponaan Profesor Mahfud, MD mengungkapkan materi pelatihan yang diikutinya di TKN. Pelatihan itu diisi salah satunya oleh aparatur negara, yang menjadi tim sukses Jokowi-Ma’ruf. Anas, caleg PBB pemberani ini bisa mengikuti pelatihan itu, karena ia menjadi caleg PBB, partai yang dinahkodai Pak Yusril, yang kini dalam sidang ini menjadi kuasa hukumnya Pak Jokowi-Ma’ruf.
Dalam Langgam yang sama –prosedur- terlihat juga pada kesaksian saksi lainnya, termasuk ahli IT yang dihadirkan dipenghujung persidangan. Sejauh yang terberitakan ahli ini memfokuskan keterangan pada hal-ihwal Situng. Dalam penilaian profesionalnya sang ahli pemberani ini menilai isi Situng cenderung menguntungkan pasangan Jokowi-Ma’ruf. Praktis medan sidang kemarin menjadi medan pertempuran “prosedur,” bukan hasil, angka.
Integrasikan Angka dan Prosedur
Nada dominan prosedur dalam kesaksian itu, tentu tidak menyulitkan KPU dan pasangan Jokowi –Ma’ruf mendemonstrasikan sanggahan-sanggahannya. Terlihat begitu nyata KPU dan kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf bersandar sepenuhnya pada terminologi “hasil” dalam pasal 24C ayat (1) yang didefenisikan pada pasal 475 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dalam menyanggah dengan nada meyakinkan kesaksian saksi-saksi Prabowo-Sandi.
Apakah saksi melihat orang-orang yang saksi identifikasi siluman, tidak ada di dunia nyata dan lainnya itu yang jumlah 17 juta lebih itu menggunakan hak pilihnya dan memilih siapa? Omong kosong bila saksi bisa mengetahuinya. Bila saksi tahu, maka pemilu justru tambah cacat, setidaknya sebagian. Mana bisa pemilu yang berasaskan Luber, ko ada orang tahu pemilih mencoblos calon tertentu? Ini haknya Allah, dan mungkin hanya bisa dilakukan malaikat. Ini bukan pekerjaan manusia.
Apa logika sanggahan termohon dan pihak ketiga terhadap kesaksian para saksi pemohon? Logikanya logika “hasil perolehan suara” khas pasal 475 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017. Logika ini mengenyampingkan prosedur pelaksanaan pemilu sebagai argumen menolak angka penghitungan dan perolehan suara.
Saksi, dalam logika ini harus menerangkan, misalnya suara yang diperoleh pasangan 02 begini, dan perolehan suara pasangan 01 begini. Itulah tipikal logika minimum pasal 475 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017. Tidak lebih. Logika itu juga menyatakan angka-angka diklaim saksi “harus secara nyata” mengubah, dalam arti membalikan komposisi perolehan suara dari kalah menjadi menang. Sekali lagi itulah logika pasal 475 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017. Tidak lebih.
Tetapi terlepas dari itu, bangsa ini patut bersyukur masih memiliki orang-orang berani, lugas dalam menerangkan sebuah soal kecil, tetapi turut menentukan perjalanan bangsa ini menggapai, menapaki hari-hari berat yang akan datang. Lalu apa yang bisa dimaknai dari keterangan-keterangan, baik saksi maupun ahli pemohon.
Menariknya, KPU hanya menghadirkan satu saksi, itupun ahli. KPU tidak menghadirkan saksi yang menerangkan soal DPT, yang pada sesi sidang kemarin cukup menarik perhatian dan memukau. Mungkin saja KPU menilai keterangan saksi pemohon tentang DPT tidak beralasan, apalagi bernilai hukum.
Tetapi terlepas dari soal itu keterangan ahli KPU sejauh yang terpublikasi menggambarkan terdapat masalah dalam Situng. Berbeda dengan keterangan ahli Prabowo-Sandi, ahli KPU menyanggah keterangan ahli pemohon. Menurut ahli KPU kesalahan data Situng itu tidak hanya menimpa Prabowo-Sandi, tetapi juga Jokowi-M’ruf. Ini menarik.
Apa yang menarik? Yang menarik adalah keterangan ini berpadu pada level tertentu dengan keterangan ahli pemohon pada aspek ada masalah dalam data situng. Bagaimana memaknai fakta ini? Hakim tahu cara mengenal dan memberi nilai hukum atas fakta itu. Fakta ini bernilai tinggi bagi, membimbing mereka dalam meramu keyakinan atas derkat validitas dalil pemohon.
Bisakah hanya dengan itu hakim mengakhirkan, menetapkan hukum perkara ini, misalnya menolak atau mengabulkan permohonan pemohon? Dapat dipastikan tidak. Seluruh fakta dalam sidang ini akan ditimbang dengan otak terbimbing ilmu pengetahuan hukum, kepekaan plus hati dan jiwa yang hidup. DPT dan fakta lain, termasuk fakta keterangan ahli KPU, dan fakta yang lahir dari kesaksian saksi-saksi pasangan pihak terkait pun akan ditimbang secara utuh.
Fakta sidang sejauh ini cukup jelas. Tidak ada fakta angka yang secara signifikan mengubah komposisi perolehan suara. Itu Jelas. Tetapi fakta tentang prosedur bermasalah dalam pemilu, juga sama jelasnya dalam sidang ini. Akankah hakim bertumpu pada angka, atau menggabungkannya dengan proses perolehan angka? Itu masalahnya; masalah yang terkecil, tetapi menentukan.
Oliver Wendel Holmes, hakim top Mahkamah Agung Amerika itu mengubah “makna bahaya nyata,” yang sebelumnya dianggap ada hanya dengan kritik keras atas kebijakan pemerintah, oleh Oliver diubah maknanya menjadi tindakan, bukan fikiran, yang nyata-nyata ada. Akankah perubahan radikal ala Oliver itu mendekat dan menjadi jalan hakim mengukir sejarah bangsa ini? Semoga Allah Subhanahu Wata’ala membimbing mereka. Insya Allah. Amin.
Jakarta, 20 Juni 2019 (*)