MK Tolak Gugatan Prabowo soal Penggelembungan Suara di 3 Provinsi

MK Tolak Gugatan Prabowo soal Penggelembungan Suara di 3 Provinsi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Prabowo-Sandi yang menyebutkan adanya penggelembungan suara di tiga provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Majelis hakim menilai dalil yang diajukan pemohon tidak berdasarkan hukum.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalil pemohon tidak berdasarkan hukum,” kata Hakim Arief Hidayat saat persidangan di MK, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).

Putusan hakim ini berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah asumsi pemohon atas tuduhan penggelembungan suara tersebut diperoleh dengan membandingkan data pemilihan presiden dan gubernur.

“Hasil Pilpres juga tidak dapat dibandingkan dengan pemilihan gubernur dalam rangka perbedaan persyaratan partisipasi pemilih,” kata Arief.

“Pertanyaan metodologi mendasar yang harus dikemukakan adalah mengapa pemohon memilih hasil pileg DPD dan gubernur sebagai angka pembanding hasil pemilihan suara sah presiden di masing-masing provinsi tersebut,” sambung Arief.

Pernyataan ahli yang dihadirkan Prabowo-Sandi, Jaswar Koto, yang menyebut tidak memiliki data hasil pemilu DPR ditolak hakim dan dianggap tidak masuk akal. Sebab, data dari hasil pemilu serentak ada di laman KPU.

“Ketidakmasukakalan demikian sekaligus menyebabkan seluruh argumentasi saksi ahli pemohon sulit untuk dipertahankan. Sebagai akibatnya hal itu pun berlaku pada dalil pemohon yang di dalam permohonannya menggunakan logika sama dengan ahli,” kata Arief.

Majelis hakim pun turut pula membandingkan data dari pemohon dan termohon. Majelis hakim menemukan ketidakcermatan dari data pemohon untuk wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur.

“Apabila disandingkan data pemohon dengan data perolehan suara di bagan milik termohon data di Jawa Barat dan Jawa Timur tidak sesuai dengan data yang ditetapkan termohon, baik suara sah dan tidak sah, sedangkan di Jawa Tengah milik pemohon  sesuai dengan milik termohon,” kata Arief.

Majelis hakim pun menilai wajar jika perbedaan jumlah suara di Pilpres menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan pemilihan DPD dan gubernur. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor.

“Di antaranya perbedaan seperti antusiasme memilih presiden wapres dan anggota DPD, adanya pemilih pindahan yang hanya diberi surat suara presiden tanpa diberi untuk DPD dan DPRD,” kata Arief.

“Kemudian surat suara di pilpres hanya memilih satu dari dua, sedangkan dalam DPD untuk provinsi tertentu bisa mencapai puluhan bahkan ratusan gambar calon,” ujar Arief. [km]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita