Menurut Konstitusi, Menhan Ryamizard Lebih Penting dari Wiranto

Menurut Konstitusi, Menhan Ryamizard Lebih Penting dari Wiranto

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pemerhati politik, pemilu dan kenegaraan Said Salahudin mengatakan, dalam konstruksi hukum tata negara di Indonesia, posisi menteri pertahanan (menhan) yang kini dipegang Ryamizard Ryacudu memiliki kedudukan yang sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan alias Menko Polhukam Wiranto.

Said berpandangan, walaupun Kemenhan berada di bawah Kemenkopolhukam, bukan berarti menhan bisa dikendalikan menko polhukam.

"Sangat keliru jika sampai muncul anggapan karena menhan berada dalam jajaran menko polhukam, maka Ryamizard Ryacudu merupakan bawahan Wiranto," ujar Said di Jakarta, Senin (3/6).

Menurut Direktur Sinergi masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin ini, posisi menhan di menko polhukam hanya bersifat administratif untuk memudahkan presiden mengkoordinasikan fungsi-fungsi kementerian yang berada di bawahnya.

Bahkan, secara konstitusional posisi yang ditempati Ryamizard justru dianggap lebih penting oleh UUD 1945 daripada posisi yang ditempati oleh Wiranto. Sebab, konstitusi tidak pernah meminta negara membentuk Kemenko Polhukam, tetapi konstitusi mewajibkan negara membentuk Kemenhan.

"Kalau presiden mau membubarkan jabatan menko polhukam, misalnya, tidak ada satu pun undang-undang yang dilanggar oleh presiden. Sebab jabatan menko polhukam boleh dibentuk, boleh juga tidak. Tetapi jangan coba-coba meniadakan jabatan menhan. Presiden bisa terancam dimakzulkan karena dianggap telah melanggar konstitusi," katanya.

Said kemudian membeberkan alasan untuk memperkuat argumentasinya. Dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 diatur ketentuan, mendagri, menteri luar negeri (menlu) dan menhan merupakan calon pelaksana tugas kepresidenan apabila dalam keadaan tertentu presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melaksanakan kewajibannya.

Dalam doktrin hukum tata negara, ketiga menteri itu disebut dengan 'triumvirat'. Yaitu, rezim politik yang dipegang bersama-sama oleh tiga penguasa. Kalau sampai terjadi sesuatu pada presiden dan wakil presiden sehingga menyebabkan muncul kekosongan kekuasaan (vacuum of power), maka yang bisa mengambil kendali pemerintahan adalah menhan, mendagri, dan menlu. Bukan menko polhukam, Kapolri, apalagi KSP.

"Kalau kondisi itu sampai terjadi, maka sebelum MPR memilih presiden dan wakil presiden yang baru, Ryamizard bersama Tjahjo Kumolo dan Retno Marsudi dapat saja memecat Wiranto, termasuk membubarkan Kemenko Polhukam jika dianggap perlu, misalnya," kata Said.

Lebih lanjut konsultan senior pada Political and Constitutional Law Consulting (Postulat) ini mengatakan, berdasarkan alasan konstitusional yang dipaparkan sebelumnya, maka ketika muncul perbedaan pandangan di antara para menteri, sudah sepatutnya presiden lebih mendengarkan pendapat dari institusi di bawahnya, yang menurut konstitusi memiliki kedudukan lebih kuat dan lebih penting di dalam pemerintahan.

"Konkretnya, pendapat menhan lebih perlu diutamakan untuk didengar atau diperhatikan oleh presiden daripada pendapat menko polhukam, termasuk dalam kasus penahanan sejumlah jenderal purnawirawan yang diduga hendak melakukan makar terkait peristiwa 21-22 Mei yang lalu," pungkas Said.[jpnn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita