Oleh: Hersubeno Arief
Oposisi naga-naganya akan menjadi kata yang hilang dari kamus politik di Indonesia. Ada upaya yang sangat nyata, anak kandung resmi dan sah dari demokrasi itu “dikriminalisasi.”
Secara hukum statusnya dijadikan “anak haram.” Kehadirannya tidak dikehendaki.
“Kriminalisasi” terhadap kata oposisi itu dibungkus dengan kemasan yang sangat “mulia,” dan gagah. Penting dan perlunya dibentuk “Kabinet Rekonsiliasi” untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara.
Munculnya wacana dan operasi politik “Kabinet Rekonsiliasi, ” bahkan sudah jauh terjadi sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sengketa hasil Pilpres 2019. Hari-hari ini, isu dan wacana itu makin menguat bersamaan rencana lembaga penjaga konstitusi itu mengambil keputusan.
Operasi politik melalui para broker, operasi media berupa pembentukan opini, dan operasi hukum berupa tekanan dan kompromi, kian digencarkan.
Para elit bertemu di ruang-ruang tertutup, menghindari tatapan mata publik.
Dengan format seperti itu, tak ada yang menang dan kalah dalam pemilu legislatif, maupun pilpres. Semua masuk dalam kabinet. Semua kebagian jabatan pimpinan, alat kelengkapannya di MPR dan DPR, dan berbagai jabatan-jabatan lain yang cukup menggiurkan. Bagi-bagi proyek dan bisnis di departemen dan proyek-proyek pemerintah lainnya.
Lupakan perdebatan-perdebatan keras sepanjang masa kampanye. Itu hanya gimmick kampanye. Daya tarik yang membuat rakyat terlena. Membuat rakyat percaya bahwa para calon pemimpin, akan memperjuangkan aspirasi mereka.
Sekarang waktunya baku atur. Bagi kapling dan kesepakatan untuk tak saling mengganggu. “Saya dan kami dapat apa, kamu dan kalian dapat apa?” Semua elit politik happy.
Tak ada yang namanya oposisi. Yang ada bagi-bagi P-O-S-I-S-I. Kalau toh ada yang tersisa di luar kabinet, tidak bisa disebut sebagai oposisi. Posisinya sangat lemah. Tidak signifikan. Oposisi silakan menggonggong, penguasa berlalu.
Sekilas gagasan itu sangat mulia. Menjadi sebuah terobosan jenial mempersatukan bangsa yang kini tengah terpecah dalam dua kelompok besar : Pro 01 dan Pro 02.
Gagasan “mulia” namun absurd ini belakangan banyak dikemukakan oleh kubu paslon 01 dan juga oleh sebagian elit partai pendukung 02.
Mereka tak sabar dan mendorong agar Mahkamah Konstitusi (MK) segera menyampaikan putusan. Semakin cepat semakin baik. Seperti apa keputusannya, sudah bisa diduga.
Para pembantu utama Jokowi misalnya tak segan-segan memuja-muji Prabowo sebagai negarawan dan championdemokrasi. Elit PDIP sebagai partai pengusung Jokowi-Ma’ruf juga sudah membuka wacana akan menerima dengan tangan terbuka, jika Partai Demokrat, PAN, dan Partai Gerindra bersedia bergabung.
Para petinggi Demokrat sudah menunjukkan sikapnya secara jelas. Bagi mereka Prabowo adalah masa lalu. Jokowi c/q Agus Harimurti adalah masa depan.
Sebagian pengurus PAN juga sudah secara terbuka menyatakan sikapnya ingin bergabung dengan pemerintah. Yang cukup menarik sikap serupa juga sudah muncul di sebagian internal Partai Gerindra. Namun mereka melakukannya secara diam-diam dan dalam kalimat yang bersayap.
Hanya PKS saja yang sejauh ini sudah menyatakan menolak bergabung. Namun melihat dinamika politik yang sangat dinamis, bisa saja terjadi perubahan sikap di menit-menit akhir.
Menjadi oposisi itu berat
Mengapa para elit terkesan sangat ingin cepat melakukan “rekonsiliasi,” atau bahasa tegasnya berkompromi bagi-bagi kekuasaan?
Padahal anggota majelis hakim MK juga sedang menelaah berbagai dokumen. Menganalisis fakta dan bukti di persidangan. Peluang diterima atau ditolaknya gugatan, seharusnya juga sama besarnya.
Artinya kalau gugatan ditolak, atau hanya sebagian yang diterima, Jokowi-Ma’ruf secara legal formal memenangkan Pilpres 2019. Tak perlu ada tambahan koalisi karena hasil pileg menunjukkan partai pendukungnya sudah menguasai kursi di parlemen.
Sebaliknya jika gugatan diterima, Prabowo-Sandi dinyatakan menang dan berhak menyusun pemerintahan sendiri.
Pertama, bagi kubu Jokowi kalkulasinya lebih menguntungkan bila sudah ada deal politik sebelum sidang MK dimulai.
Sidang hanya bersifat formalitas agar kedua kubu tidak kehilangan muka dan rakyat tidak semakin marah karena dikhianati oleh para elit politik.
Biaya politik yang dikeluarkan dipastikan akan sangat mahal bila tidak ada kesepakatan politik apapun sebelumnya.
Melihat legal standing dan konstruksi hukum yang diajukan pengacara paslon 02, bisa terjadi bola liar.
Karena itu kabarnya ada upaya-upaya dari orang tertentu untuk “menjinakkan’ tim kuasa hukum yang dipimpin oleh mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto.
Namun melihat garangnya para kuasa hukum dan saksi-saksi yang diajukan paslon 02, upaya menjinakkan kuasa hukum itu tampaknya gagal total.
Apa yang dilakukan Oleh Bambang Widjojanto Dkk memang ngeri-ngeri sedap. Mereka menyasar posisi cawapres Ma’ruf Amin sebagai dewan pengawas di dua bank syariah, besarnya sumbangan capres Jokowi untuk tim kampanye, tidak sesuai dengan profil laporan kekayaannya.
Fakta-fakta yang dikemukakan tim ahli dan para saksi juga tak kalah ngerinya. Kesaksian Prof Jaswar Koto tentang kemungkinan adanya penggelembungan suara, dan pengakuan Hairul Anas Suadi seorang mantan caleg Partai Bulan Bintang (PBB) yang menggemparkan tentang doktrin “Kecurangan adalah bagian dari demokrasi.”
Kalau toh dasar gugatan itu secara hukum ditolak oleh majelis hakim, namun secara opini publik kredibilitas dan basis legitimasi pemerintahan Jokowi sangat berat.
Kedua, bagi partai pendukung 02 yang ingin bergabung dengan kubu Jokowi, saat ini “harga jual” mereka sedang sangat tinggi. Jika deal dilakukan sebelum sidang MK mereka bisa mendapat imbalan politik yang sangat menguntungkan.
Sangat berbeda bila sidang MK sudah menghasilkan keputusan bahwa Jokowi-Ma’ruf dinyatakan sebagai pemenang. Posisi tawar mereka akan rendah. Tidak tertutup kemungkinan terpaksa jual obral.
Yang penting selamat tidak menjadi oposisi dan harus puasa lagi selama lima tahun ke depan.
Maka berlakulah hukum penawaran dan permintaan ( supply and demand ). Semakin banyak permintaan, semakin tinggi penawaran. Begitu pula sebaliknya.
*Ketiga,* banyak elit politik kita saat ini bukan dari kalangan aktivis yang terlatih berjuang, apalagi berada di luar pemerintahan dalam jangka waktu yang lama.
Salah satu sikap yang paling menonjol dari politisi semacam ini adalah oportunis dan tidak setia kawan. Meraih kekuasaan atau setidaknya tetap berada dalam lingkar kekuasaan merupakan satu-satunya tujuan.
Tipe politisi semacam ini akan lari terlebih dahulu manakala menghadapi kesulitan. Mereka tak peduli bagaimana nasib teman seiiring. Yang penting mereka selamat.
Untuk mencapai tujuan tersebut mereka rela dan tega menghalalkan segala cara. Kalau perlu menabrak berbagai aturan hukum dan perundang-undangan. Konon pula hanya soal moral, etika, dan integritas, tidak masuk dalam hitungan.
Kalau mau jadi politisi yang sukses di Indonesia jangan bawa-bawa idealisme, apalagi main hati.
Hal itu menjelaskan mengapa kita mendapati banyak sekali politisi yang bisa dengan mudahnya lompat dari satu partai ke partai lainnya. Pemilu kali ini bersama partai A. Pemilu berikutnya bersama partai B, dan pemilu berikutnya lagi menjadi caleg partai C.
Dalam skala yang lebih besar kita bisa menyaksikan partai yang semula berada dalam kubu oposisi tiba-tiba lompat ke kubu pemerintah.
Dengan latar belakang politisi semacam itu tidak mengherankan bila oposisi menjadi barang haram dalam demokrasi Indonesia.
Yang tengah berkuasa tidak menghendaki ada oposisi. Dengan berbagai cara berusaha merangkul lawan politiknya. Sebaliknya yang berada di luar pemerintahan ingin secepatnya masuk ke dalam pemerintahan.
Rakyat tinggal terbengong-bengong, tak memahami logika dan nalar para politisi.
Para elit politik ini lupa, bahwa agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik, menjalankan janji-janji kampanye, perlu oposisi untuk mengontrolnya.
Tanpa oposisi, kekuasaan yang sangat besar dan absolut, cenderung disalahgunakan.
Sejarawan Inggris Lord Acton sudah jauh-jauh hari mengingatkan : Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.
Jika ingin menjadi partai yang kuat, meraih simpati dan dukungan yang luas dari rakyat, harus berani mengambil jalan penjang penuh onak dan duri menjadi oposisi.
Sebagai politisi akan dihormati rakyat dan dikenang sebagai tokoh yang punya prinsip dan menjunjung tinggi kehormatan. Cara ini juga sangat efektif untuk mengukur loyalitas seorang teman seiring dalam perjuangan.
Tak ada salahnya belajar dari Ketua Umum PDIP Megawati. Puluhan tahun menjadi oposisi Orde Baru, plus 10 tahun oposisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
PDIP sekarang menjadi partai terbesar, Jokowi seorang kadernya menjadi presiden.
Dengan menjadi oposisi, tokoh maupun partai akan menjadi kuat dan mencapai posisi tinggi. Seperti layang-layang terbang tinggi karena melawan arah angin. (*)