Oleh M Rizal Fadillah
Ramai berita mantan Ketua MK Arief Hidayat yang berdebat panas dengan Ketua Tim Pengacara Pasangan 02 Bambang Wijayanto yang berujung ancaman mengeluarkan BW dari persidangan. Tak gentar BW dengan lantang membela Saksi Idham yang direndahkan dengan sebutan "kampung".
Memang semestinya Saksi didengar dahulu apa yang disampaikan baru ditanya oleh Hakim hal hal yang perlu didalami. Bukan sedini mungkin seolah menolak saksi dan kesaksian. Itu jika memang Hakim profesional dan tidak "kampungan".
Menekan saksi tanpa alasan adalah pelanggaran etik. Memang Hakim Arief tidak arif. Ternyata Arief telah dua kali kena sanksi "melanggar etik" oleh Dewan Etik dan pernah didemo staf pula. Profilnya memang tidak bagus.
Guru besar UNDIP mantan aktivis GMNI ini pantas disidang Dewan Etik kembali karena tidak profesional mengemban amanat sebagai Hakim Konstitusi. Tidak ada kesan arifnya sebagai mantan Ketua MK. Ia tak sadar perilakunya ditonton rakyat bahkan dunia internasional. Secara institusi bisa mencemarkan nama MK juga. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Ia pun harusnya menyadari bahwa yang dihadapi ini kasus serius soal dugaan kecurangan Pemilu yang menentukan nasib bangsa ke depan. Di tengah keraguan obyektivitas MK mestinya dibuktikan dengan kearifan hukum dan hakim. Jangan justru menunjukkan ketidakprofesionalan. Atau membenarkan dalih ketika menolak keberadaan pengawasan Komisi Yudisial (KY) dengan alasan bahwa Hakim MK bukan "Hakim Profesional".
Termohon dan Terkait nampak satu "Korps" dalam menghadapi Pemohon Gugatan Pasangan 02. KPU akhirnya menampakkan diri berpihak pada Pasangan 01 sejak dini. Inilah sorotan kecurangan itu. Apapun putusan MK citra atas dasar fakta ini sulit dihapus. KPU memang tak netral. Bukti awal adalah hukuman Bawaslu dan pembangkangan atas hukuman tersebut. KPU penyebab kekisruhan Pemilu. Korban telah berjatuhan hingga menewaskan ratusan orang.
Kebetulan Ketua KPU adalah Arief Budiman. Tapi yaitu nampaknya Pak Arief ini kurang arif juga. Sebagai Ketua gagal membawa Pemilu sukses. Boleh dinilai gagal. Bahkan 25 Trilyun APBN yang dikeluarkan mesti diaudit demi pertanggungjawaban publik.
Ini semua adalah proses, kita sedang menunggu akhir. Rakyat melihat apakah memang Arief MK itu mendapat hidayah hingga menjadi bagian dari penyelamat bangsa atau sebaliknya. Begitu juga apakah Arief KPU itu menjadi orang budiman yang berprinsip "maju tak gentar membela yang benar" atau ngotot untuk "maju tak gentar membela yang bikin negara buyar".
Rakyat menanti putusan MK dengan berdebar-debar. Khawatir kalah oleh juru bayar. Kita tetap harus sabar.
Bandung, 20 Juni 2019 (*)