GELORA.CO - Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono wafat setelah berjuang selama empat bulan melawan kanker darah di National University Hospital Singapura. Namun, Tuhan Yang Maha Esa berkehendak lain, kekasih hati Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tutup usia pada Sabtu (1/6) pukul 11.50 waktu Singapura.
Selain suaminya, Ani wafat meninggalkan dua anak dan empat cucu. Sejak menjalani perawatan pada Februari silam, kondisi Ani memang dikabarkan terus menurun di hari-hari terakhir menjalani perawatan di ruang ICU, sebelum akhirnya kabar duka itu tiba. Ibu Negara sejak 20 Oktober 2004 hingga 20 Oktober 2014 ini mangkat pada usia 66 tahun.
Ani lahir di Yogyakarta pada 6 Juli 1952, anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah. Menikah dengan SBY pada 30 Juli 1976, ketika itu SBY baru saja dilantik menjadi Perwira TNI dan menjadi lulusan terbaik.
Ani sempat kuliah mengambil Jurusan Kedokteran di Universitas Kristen Indonesia (UKI), tetapi pada tahun ketiga ia terpaksa meninggalkan bangku kuliah karena ikut ayahnya pindah setelah ditunjuk menjadi Duta Besar RI Indonesia untuk Korea Selatan tahun 1974. Kelak, Ani melanjutkan kuliahnya di Universitas Terbuka dan lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Politik pada tahun 1998.
Ayahnya, Sarwo Edhie adalah komandan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD) di tahun 1965 yang mendampingi Soeharto menumpas komunis saat Gerakan 30 September meletus. Pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani. Pada tahun 1964, Yani telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang dapat ia percaya sebagai Komandan RPKAD
Sebelumnya, Sarwo Edhie pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964).
Ayah Sarwo, R Kartowilogo adalah seorang kepala rumah gadai di Zaman Belanda. Menurut sejarawan Peter Kasenda, pekerjan ayahnya adalah gambaran ideal bagi Sarwo Edhie sebagai model seorang pegawai negeri. Namun cita-cita itu kandas, setelah Sarwo Edhie yang doyan membaca mulai terpesona akan kemampuan serdadu Jepang mengalahkan Rusia di Manchuria.
“Juga karena melihat kenyataan bahwa pasukan Jepang menggulung serdadu serdadu Belanda yang menduduki Nusantara. Oleh karena itu, Sarwo Edhie Wibowo setelah tamat MULO mohon izin pada ibunya R.A. Sutini Kartowilogo untuk menjadi Heiho (pembantu tentara),” tulis Peter di blog pribadinya, dikutip Sabtu (1/6).
Sarwo selalu menuturkan kisah leluhurnya kepada anak-anaknya. Bagi Ani, cerita itu menjadi legenda kepahlawanan yang turun-temurun dalam kehidupan keluarganya. Dari kisah itu, Ani memandang kakeknya merupakan cerminan nasionalis sejati yang mempertaruhkan diri demi membela bangsa.
“Sikap dan prinsipnya dalam memenangkan kebutuhan rakyat daripada tunduk pada Belanda sangat tegas. Itu menyebabkan Eyang Kartowilogo tidak terlalu disukai Belanda. Walau kedudukannya cukup baik, penghasilan beliau sekadarnya saja,” kata Ani dalam buku biografinya berjudul Kepak Sayap Putri Prajurit (2010) yang ditulis Alberthiene Endah.
Kisah-kisah ini membawa pengaruh besar dalam kehidupan Ani nantinya. Kisah yang dituturkan ayahnya turut membentuk ketangguhannya sebagai istri seorang prajurit. Pengalaman menjadi anak tentara membuat Ani tak kaget setelah jadi istri tentara.
“Saya bisa mendampingi SBY menempuh karier militernya dengan corak kehidupan yang berubah-ubah,” katanya dalam buku biografinya yang lain Ani Yudhoyono, 10 Tahun Perjalanan Hati (2018) dengan penulis yang sama.
Satu momen yang paling diingatnya ketika baru saja menjadi seorang istri adalah harus merelakan kepergian suaminya, SBY berangkat tugas ke Timor-Timor tahun 1976. Baru sepekan pindah ke Bandung, mendadak sebuah perintah mengharuskan suaminya kembali bertugas. Timor Timur di masa itu adalah sebuah tempat yang membuat gentar hati para istri.
Kekokohan jiwa dan raga Ani selain diwarisi ayah dan kakeknya ternyata juga mengalir dari darah neneknya, Sutini Kartowilogo. Sutini sebagaimana dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit, rupanya memiliki leluhur-leluhur ningrat raja-raja Jawa.
Nasab RA Sutini Kartowilogo bersambung kepada RA Aminah Sastroprawiro. Di atasnya, RM Wiryokusumo. Di atasnya lagi RM Surokusumo. Kemudian, Bendoro Pangeran Haryo Balitar, dan di atasnya lagi adalah KS Hamengkubuwono I dan BRA Doyohasmoro.
Surokusumo dikisahkan secara turun-temurun bekerja sebagai orang kepercayaan Pangeran Diponegoro yang ikut berjuang di medan pertempuran (1825-1830) yang amat bersejarah. [ins]