Oleh: Gde Siriana*
SEJAK acara di Grand Sahid tanggal 14 Mei 2019 BPN menyatakan menolak hasil perhitungan sementara KPU dan Prabowo menyatakan siap tenggelam bersama rakyat demi menegakkan kedaulatan rakyat.
Di grassroot berbagai daerah para pendukung capres 02 telah bulat untuk membela capres 02. Masyarakat akan menunggu hasil akhir KPU mendatang, meski dengan sebuah keyakinan KPU akan memenangkan capres 01.
Terlepas dari upaya-upaya yang masih dilakukan BPN dan relawan untuk mengumpulkan dan melaporkan bukti-bukti kecurangan pemilu kepada Bawaslu, keyakinan adanya kecurangan ini yang akan menggerakkan pemilih capres 02 melakukan people power atau menegakkan kedaulatan rakyat dalam bentuk vote by feet.
Artinya ketika surat suara tidak lagi dianggap, maka pemilih akan menunjukkan atau membuktikan dukungannya dengan membela capres 02.
Vote by feet ini akan bertumpu pada dua kekuatan rakyat, yaitu emak-emak dan eks 212. Mereka adalah rakyat biasa yang baik-baik, yang bergerak karena panggilan hati. Selain itu, kekuatan aktivis yang masih konsen pada persoalan keadilan dan demokrasi.
Vote by feet ini tidak harus melakukan aksi ke KPU atau Bawaslu jelang putusan KPU. Para pendukung capres 02 dapat menunjukkan dukungan dengan datang ke Kertanegara, kediaman Prabowo dalam jangka waktu relatif lama.
Jika sampai 100 ribu orang saja berkumpul di sekitar Kertanegara, dipastikan wilayah kebayoran akan lumpuh. Jika wilayah selatan Jakarta lumpuh, maka DKI Jakarta akan lumpuh.
Vote by feet ini akan bergerak bilamana Prabowo menyatakan menolak keputusan final KPU mendatang. Dalam bahasa politik praktis diartikan sebagai situasi “dua presiden".
Dengan sikap Prabowo tersebut, maka para pendukungnya akan datang membela dan sekaligus ingin membuktikan jumlah suara pemilih capres sesungguhnya dengan kaki.
Apa yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi untuk meredam bahkan mengancam vote by feet ini tidak akan banyak berguna. Masyarakat tidak takut lagi setelah terlalu lama merindukan keadilan dan kedaulatan rakyat.
Menurut saya, ancaman-ancaman dari Wiranto dan Hendro hanya sebagai psywar saja. Mereka hanya bergantung pada Jokowi, ada ketakutan yang besar begitu Jokowi terancam tidak akan berlanjut memerintah lagi.
Selain itu, ada kekhawatiran Jokowi tidak mampu mengatasi vote by feet ini bilamana juga terjadi di berbagai daerah. Saya yakin tentara juga tidak akan berani menembak rakyat.
Vote by feet ini belum menjadi krisis. Akan menjadi krisis bilamana Jokowi yang "gerah" dengan rakyat menjadikan Prabowo sebagai presiden, akan memerintahkan aparat untuk menindak vote by feet ini, tetapi tentara menolaknya.
Inilah titik kritis dari pertarungan Pilpres 2019. Dengan status darurat, tentara bisa mengambil alih tanggung jawab keamanan nasional. Selanjutnya akan muncul berbagai skenario atau skema penyelesaian krisis Pemilu 2019, dan sejarah yang akan menentukannya.
Jika melihat kembali pertarungan politik ’98, maka terlihat ada persamaan situasinya. Misalnya dari aktor-aktor di ’98 yang masih hidup juga dalam yang posisi sama di 2019, saling berhadapan dengan aktor-aktor yang sama.
Di ’98 sebelum terjadi rush dan kerusuhan, ekonomi juga sedang drop, hanya saja sekarang ini rupiah masih tertolong intervensi BI. Tapi soal harga-harga pangan sudah naik. Juga soal tentara yang terpecah. Di TPS perumahan Paspamres dan Kopassus saja dimenangkan capres 02.
Hanya saja rakyat harus belajar dari sejarah reformasi ’98, jangan sampai agenda keadilan dan demokrasi akan dibajak lagi melalui proxy. Bahwa kemudian penggerak gerakan tidak masuk dalam struktur kekuasaan itu hal yang lumrah tetapi agenda perjuangan harus tetap diwujudkan.
*) Direktur Eksekutif Government and Political Studies (GPS)