GELORA.CO - Akademisi Ariel Heryanto, yang pernah menjadi salah satu guru besar di Australian National University, menyoroti soal terburu-burunya pemerintah mengakuisisi 51% sahan Freeport.
"Penguasaan 51% saham Freeport oleh RI disambut publik yang bersemangat nasionalis menggebu. Artikel ini mengejek. Gara2 kontrak serba terburu, RI mewarisi beaya kerusakan lingkungan 4 kali lipat lebih besar ketimbang nilai kontrak bagi-saham yang baru," tulis Ariel Heryanto di akun twitternya, Sabtu (4/5/2019).
Artikel yang dimaksud adalah dari media internasional berjudul "With its $3.85b mine takeover, Indonesia inherits a $13b pollution problem".
Kutipan artikel:
Dengan pengambilalihan tambang senilai $ 3,85 miliar, Indonesia mewarisi masalah polusi $ 13 miliar.
Ketika pemerintah Indonesia mengambil alih saham dari salah satu tambang emas terbesar di dunia tahun lalu, banyak pihak yang memuji langkah tersebut sebagai sebuah catatan sejarah menuju kedaulatan nasional ekonomi.
Liputan media yang tidak henti-hentinya meliput transaksi oleh pemerintah Indonesia tersebut, melaporkan pembelian 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI), yang mayoritas sebelumnya dimiliki oleh perusahaan yang berbasis di Arizona bernama Freeport-McMoRan, merangkup kejadian tersebut sebagai sebuah kejadian kembalinya aset yang sangat berharga—tambang emas dan tembaga Grasberg—kepada masyarakat Indonesia setelah berabad-abad dipegang oleh pihak asing.
Namun tak banyak yang juga ikut meliput polusi berbahaya yang telah melegenda yang dihasilkan oleh tambang tersebut.
Namun seiring dengan kepemilikan di salah satu tambang yang paling didambakan di Bumi, Inalum dan pemerintah Papua juga mewarisi masalah pencemaran yang berasal dari limbah pertambangan, atau tailing, yang diaduk oleh PTFI selama beberapa dekade.
Mengingat pengambilalihan itu, pemerintah pusat dan provinsi sekarang juga harus menanggung dampak buruk dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh operasi tambang.
Dampak kerugian itu mencapai sekitar $13 miliar—menurut perkiraan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh PTFI, menurut tinjauan oleh auditor negara. Setelah audit berikutnya, yang mengidentifikasi berbagai penyimpangan dalam operasi dan kontrak perusahaan, pemerintah memberlakukan sanksi terhadap PTFI. Temuan itu termasuk tanda-tanda penambangan yang ceroboh dan pembuangan limbah penambangan ke sungai, hutan, dan laut.
Ahmad Redi, seorang ahli hukum sumber daya alam di Universitas Tarumanegara di Jakarta, mengatakan bahwa PT Inalum akan dibiarkan secara hukum dan bertanggung jawab secara finansial atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan PTFI sebelumnya.
Dia mengatakan pemerintah akan mendapatkan kesepakatan yang lebih menguntungkan seandainya izin kerja Freeport diizinkan berakhir pada 2021, termasuk tidak membayar sebanyak untuk saham pengendali di PTFI, dan mendapatkan pengaturan pajak yang lebih menguntungkan setelah 2021. (*)