GELORA.CO - Ketua Koalisi Rakyat untuk Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, hari ini, Selasa (7/5/2019), melaporkan dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terkait berdirinya 5.507 menara telekomunikasi mikro seluler (Mikrosel) di lahan milik Pemprov DKI Jakarta, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya laporkan karena penanganan kasus ini mangkrak di Pemprov maupun DPRD DKI Jakarta. Padahal kasus ini terungkap dari hasil audit BPK atas laporan keuangan DKI tahun anggaran 2017. Bahkan rencana DPRD DKI untuk membentuk Pansus Tower Mikrosel, hingga kini juga tak kunjung terealisasi," kata Sugiyanto usai melapor di KPK di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Laporan aktivis yang akrab disapa SGY ini juga dilengkapi barang bukti berupa satu copy data lampiran hasil pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2017 Buku III halaman 149 hingga 154, dan copy data lainnya.
Menurut LHP BPK tahun 2017, ke-5.507 tower mikrosel itu didirikan oleh sembilan perusahaan penyedia infrastruktur menara telekomunikasi, yaitu PT DT (228 tower mikrosel), PT DAS (11 tower mikrosel), PT BITTN (355 tower mikrosel), PT BTS (3.338 tower mikrosel), PT QI (12 tower mikrosel), PT ISI (396 tower mikrosel), PT MDC (400 tower mikrosel), PT IBS (744 tower mikrosel), dan PT MTI (23 tower mikrosel).
"Dugaan KKN muncul karena meski tower-tower itu didirikan di lahan milik Pemprov DKI, namun belum dipungut biaya sewa lahan," jelas SGY.
Ia menambahkan, alasan DPRD yang sebelumnya membentuk Pansus Tower Mikrosel sebenarnya sudah benar, karena Pansus ditengarai dapat membongkar ada apa di balik berdirinya ribuan Tower Mikrosel itu, dan siapa saja yang bertanggung jawab, karena saat kasus ini masih ditangani Komisi A DPRD, ditemukan perbedaan pandangan antara DPRD dengan Pemprov DKI Jakarta cq (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) tentang dasar aturan pendirian menara mikrosel.
DPRD berpendapat, pendirian menara mikrosel harus membayar sewa lahan dan mengunakan aturan Pergub No. 14 Tahun 2014 Tentang Penyelengaraan Menara Telekomunikasi, sementara Pemprov DKI Jakarta berpendapat bahwa pendirian menara mikrosel tidak membayar sewa lahan dengan alasan karema nomenklaturnya begitu sejak lama.
"Pemprov DKI Jakarta diduga menggunakan aturan Pergub No. 195 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Jaringan. Dalam aturan tersebut disebutkan, pendirian bangun pelengkap tiang/antena telekomunikasi mikrosel yang berada di atas tanah /aset lahan milik Pemprov DKI Jakarta tidak membayar sewa lahan, tetapi hanya membayar biaya restribusi" jelasnya.
Diakui, kegagalan DPRD membentuk Pansus Tower Mikrosel menimbulkan kecurigaan di masyarakat bahwa lembaga legislatif itu telah masuk angin akibat disuap.
"Pemberian izin untuk pendirian 5.507 menara mikrosel di lahan aset Pemprov DKI Jakarta diduga tidak memiliki dasar aturan yang benar. Pemprov diduga memaksakan pengunaan Pergub No. 195 Tahun 2010 semata-mata untuk menghindari agar pengusaha tidak perlu membayar biaya sewa lahan, cukup membayar restribusi," imbuh SGY.
Kecurigaan ini, kata aktivisi berkacamata tersebut, muncul karena adanya kalimat atau nomenklatur “mikro seluler ” pada perda N0 195 Tahun 2010. Padahal mikro seluler yang dimaksud pada Perda itu adalah mikrosel yang didirikan sebagai bangunan pelengkap untuk tujuan pemeliharaan atau perbaikan jaringan ultilitas kabel atau pipa, sementara 5.507 menara mikrosel yang didirikan sembilan perusahaan penyedia infrastruktur menara telekomunikasi itu diduga kuat merupakan menara mikrosel telekomunikasi yang berfungsi sebagai penunjang jaringan telekomunikasi.
Apalagi, lanjut dia, dalam perikatan kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan kesembilan perusahaan tersebut terdapat klausul dimana kesembilan perusahaan itu wajib berpartisipasi dan berkontribusi untuk menyediakan fasiltas berupa CCTV, Akses Wi-Fi gratis, Fiber Optik, Fasilitas CCTV Vidio surveillance, dan lain-lain.
"Ketentuan kewajiban partisipasi dan kontribusi jelas tidak ada dalam aturan Pergub No. 195 Tahun 2010," imbuh SGY.
Ia menduga ada rekayasa aturan dalam pemberian izin pendirian menara mikrosel kepada para pihak ketiga tersebut dengan cara mengabungkan aturan pada Pergub No. 195 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penempatan Jaringan Utilitas, dan Pergub No. 14 Tahun 2014 Tentang Penyelengaraan Menara Telekomunikasi dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS), untuk menghindari biaya sewa lahan.
"Jadi, diduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran ketentuan tentang deskresi oleh pejabat Pemprov DKI Jakarta dalam kasus ini," tegasnya.
SGY berharap, dengan dilaporkannya kasus ini ke KPK, maka siapa saja yang terlibat dalam kasus ini, termasuk dalam kasus kegagalan DPRD membentuk Pansus Tower Mikrosel, dapat dimintai pertanggungjawaban.
Dari laporan aktivis ini juga diketahui, jika biaya sewa lahan satu tiang menara mikrosel diasumsikan sebesar Rp50 juta/tahun, maka potensi hilangnya penerimaan Pemprov DKI Jakarta dari kasus ini mencapai sekitar Rp275,35 miliar atau sekitar Rp1,101 triliun dalam kurun waktu empat tahun (2014-2018).[tsc]