Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate)
GELORA.CO - Kokohnya sikap KPU terhadap input perolehan suara pilpres pada sistim IT penghitungan mereka, yang hinga dinilai terus merugikan Prabowo-Sandi, sangat menarik, bahkan menantang. Menantang, karena sikap itu tersaji di tengah naiknya gelombang gempuran TIM IT BPN, yang validitas datanya harus diakui tak dibantah KPU sejauh ini. Menariknya sejauh ini terlihat gempuran-gempuran itu tak memiliki pengaruh apapun. KPU tetap pada pendiriannya, meneruskan input data perolehaan suara pilpres pada Situng mereka.
Seperti hari-hari yang telah berlalu, berbagai kelompok masyarakat yang berafiliasi dengan BPN Prabowo-Sandi masih terus menganalisis secara forensik IT KPU. Mereka dalam pekerjaan itu menemukan lagi ratusan ribu pelanggaran, salah input. Hasilnya pada hari Jumat tanggal 3 Mei, mereka membawa, melaporkan lagi temuan itu ke Bawaslu, satu-satunya organ dalam hukum pemilu yang diberi wewenang mengoreksi semua tindak-tanduk KPU.
Argumen KPU Tak Bakal Cukup
Kali ini, Jumat tanggal 3 Mei 2019) Relawan IT BPN Prabowo-Sandi membawa 73.715 bukti kesalahan input data situng atau sebesar 15,4 persen dari total 477.021 yang telah terinput. Kesalahan terbesar ditemukan di Jawa Tengah sebanyak 7.666 TPS, Jawa Timur 5.826, Sumatera Utara 4.327, Sumatera Selatan 3.296, dan Sulawesi Selatan 3.219. Sebelumnya, tepatnya pada hari Kamis tanggal 2 Mei mereka sudah mendatangi Bawaslu dan melaporkan temuan kesalahan entry sebanyak 13.031. Dari berbagai kesalahan input tersebut yang paling banyak adalah tidak ada C1 lembar 1 sebanyak 33.221. Tidak ada C1 lembar 2 sebanyak 33.1999, tidak ada C1 lembar 1 dan lembar 2 sebanyak 29.731 (Lihat Situs Eramuslim edisi 3 Mei 2019, Lihat juga Situs Teroponsenayan 3 Mei 2019).
Laporan-laporan ini, sejauh yang teramati, melengkapi laporan lain yang relative sama substansinya yang telah lebih dahulu diajukan elemen lain, yang terafiliasi dengan Prabowo-Sandi ke Bawaslu. Seperti laporan terbaru, laporan-laporan yang terlah dahulu diajukan, cukup jelas juga menjelaskan kekeliruan hitung itu terjadi, dimana dan kapan. Praktis laporan-laporan itu, untuk alasan apapun, tak bisa diabaikan.
Siapapun yang diuntungkan dari kekeliruan input itu, fakta yang begitu telanjang, yang patut diapresiasi memiliki validitas, setidaknya dapat diuji kesahihannya, memukul, dalam arti merusak serusak-rusaknya validitas konstitusional pemilu kali ini. Praktis kenyataan-kenyataan itu, sebagaimana kenyataan lain yang sama, yang telah dipublikasi berbagai media online, misalnya kekeliruan menuliskan angka perolehan suara Jokowi-Ma’ruf. Kekeliruan itu, andai mau, dapat dinilai menggerogoti dalam kadar mematikan seluruh validitas kontitusional pemilu ini.
Sudahlah KPU, hentikanlah situng itu. Toh secara hukum eksistensi Situng hanya didasarkan pada Peraturan yang dibuat sendiri, bukan UU. UU Nomor 7 Tahun 23017 Tentang Pemilihan Umum, sama sekali tidak mengatur Situng. Tidak ada satu pun huruf dalam 573 pasal UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang dapat diambil, dan dijadikan dasar keberadaan Situng itu. Praktis situng itu hanya didasarkan pada kebijakan KPU, yang dituangkan dalam peraturan KPU.
Peraturan KPU, dalam sistim hukum positif Indonesia bernilai dan bersifat hukum sebagai peraturan kebijakan. Disebut peraturan kebijakan, karena hal yang diatur, yakni situng itu, tak diatur dalam UU Pemilu, tetapi karena dirasa perlu, tentu dengan beberapa pertimbangan, sehingga diadakan. Untuk keperluan itulah, maka dibuat PKPU untuk memberi sifat dan kapasitas hukum pada kebijakan itu.
Praktis Situng hanya merupakan satu kebijakan, bukan perintah imperative – wajib - dari pembentuk UU; DPR dan Presiden. Situng, dengan demikian, sekali lag, dalam dunia hukum tata negara dan administrasi negara haanya berkapssitas sebagai kebijakan. Hukum Indonesia mengharuskan setiap kebijakan yang dituangkan dalam hukum, termasuk PKPU memenuhi kualifikasi; (a) memecahkan persoalan strategis yang sedang dihadapi, (b) melancarkan kewajiban pemerintah dalam menanganai satu urusan pemerintahan, dan (c) dengan demikian memberi manfaat bagi masyarakat umum.
Kekeliruan demi kekeliruan input pada situng itu, kalau tak segera dihentikan, maka dengan mengambil kriteria yang dikemukakan di atas, beralasan hukum dinilai sebagai tindakan yang hampir memenuhi kualifikasi sebagai tindakan sadar mengaburkan informasi. Informasi kabur ini, tidak bisa tidak, dalam sifatnya secara konstitusional merupakan informasi yang tidak sah, juga tidak legitim disajikan kepada masyarakat.
Dalam sifat konstitusionalnya informasi kabur bukanlah informasi yang dimaksud pada pasal 28F UUD 1945. Tidak ada orang, dimanapun mereka hidup didunia ini yang bisa, dalam batas yang masuk akal dapat mengusahakan peningkatan kualitas hidupnya berdasarkan informasi yang sifat subatansialnya sebagian atau seluruhnya kabur. Sekali lagi, tidak ada. Itu sebabnya tidak tersedia argument konstitusional apapun, yang dapat diandalkan KPU mempertahankan Situng ini. Sudahlah KPU, hentikan Situng itu.
Segerakanlah
Bukan soal banyak data yang telah diinput, bukan pula soal waktu penghitungan yang telah jauh berjalan, tetapi manfaat konstitusional apa yang dapat dioperoleh masyarakat dari data Situng itu. Selain keberadaan Situng tidak diperintahkan UU, melainkan hanya, sekali lagi hanya merupakan kebijakan KPU, yang dalam kenyataannya justru menimbulkan ketidak-pastian hukum, karena disani-sini ditemukan ketidakakuratannya, maka secara konstitusional tidak beralasan untuk dipertahankan. Sama sekali tdiak beralasan.
Sudahlah KPU, berbesasr hatilah. Mengakui dengan lapang dada bahwa memang ada masalah. Itu lebih baik. Lebih baik, karena pengakuan ini tidak bakal menurunkan derajat legitimasi sosilogis KPU Tidak. Toh Komisioner semuanya mengetahui dengan pasti bahwa nilai hukum perolehan suara terletak pada Berita Acara, yang fisiknya terlihat nyata, dapat diraba, dikenali, bukan yang difoto dan diunggah ke situng untuk diinformasikan kepada masyarakat.
KPU bisa saja berpendapat mengapa orang memercayai data Situng? Toh data situng hanya sekadar informasi. Tetapi bila benar-benar KPU mengambil posisi itu secara radikal, maka beralasan mengatakan untuk apa data Situng itu? Di sana sini, dalam kenyataannya data itu tersaji, untuk sebagian tidak akurat yang sulit untuk tak dianggap signifikan dalam timbangan hukum, bukan timbangan angka; sedikit atau banyak.
Memang secara hukum data Situng tidak dapat dijadikan fundasi hukum untuk menyatakan, dalam sifat menetapkan pemenang pilpres. Betul. Tetapi justru tidak bisa digunakan sebagai fakta hukum dalam menentukan, menjadi dasar membuat ketetapan Capres dan cawapres yang memperoleh suara terbanyak atau terbesar, dan siapa yang memperoleh suara sebaliknya, untuk apa data Situng itu dipertahankan? Mempertahankan untuk meramaikan ketidakpastian dan kegaduhan? Tentu tidak.
Toh “manfaat memberi informasi pada kesempatan pertama kepada masyarakat” sebagai argumen hukum dibalik pengadaan Situng, dalam kenyataannya telah terbantahkan. Terbantahkan karena, dalam kenyataan yang dapat dikenali secara nyata, data itu menjadi penyumbang paling nyata terhadap bergeloranya ketidakpastian, kegaduhan siang dan malam ditengah masyarakat hari-hari ini.
Tidak mungkin, bahkan tidak elok nan manis mengatakan KPU terlampau mencari-cari argumen, mengada-ada sejauh yang bisa, tetapi akan terasa terlalu sulit untuk tidak menyajikannya sebagai hal paling mungkin. Toh cuma sebuah kebijakan, dan nyatanya justru membuat gaduh, sehingga manfaat umum apa yang diperoleh dari kebijakan itu? Disitu soalnya. Disitu pula rasio hukum yang tersedia, siap pakai pada setiap waktu KPU menghentikan Situng itu.
Berbesar hatilah, bijaksanalah sebijaksana-bijaksananya menyadari kekeliruan kalkulasi, pemikiran teroritis yang berakhir dengan memanggil datangnya Situng yang menyayat hati itu. Sudah terlalu banyak yang, Innalillahi Wainnailaihi Roajiun, petugas pemungutan suara (PPS) meninggal dunia demi memastikan kelancaran pemungutan dan penghtiungan surat suara, tetapi hasil kerja mereka masih harus mengalami kadaan – salah input berkali-kali lagi? Subhanallah, janganlah.
Segerakanlah KPU hentikan Situng itu. Argumen hukum telah tak lagi mungkin dapat diandalkan untuk menghadapi permintaan demi permintaan yang semuanya beralasan, yang dalam sifat esensilnya menghentikan Situng itu. Sudahlah. Sudahlah niat baik, dalam kenyataan tidak berjalan sebagaimana proyeksi awal. Sudahlah, hentikanlah. Segerakanlah itu. Cara itu akan membawa manfaat, sangat hebat buat bangsa dan negara yang sama-sama kita sayangi dan cintai ini. Insya Allah.
Jakarta, 4 Mei 2019 (*) [tsc]