MASYARAKAT masih mencatat banyak kesalahan input data terkait perolehan suara pemilihan presiden (pilpres) di Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) KPU (Komisi Pemilihan Umum). Awalnya, ketua KPU menepis bahwa kesalahan input adalah bagian dari kecurangan untuk memberi keuntungan kepada calon presiden dan wakil presiden dengan nomor urut 01. Ketua KPU mengatakan bahwa kesalahan input ini murni karena kelalaian manusia atau human error.
Tetapi, masyarakat tidak percaya dengan penjelasan KPU karena kesalahan input tersebut sepertinya terpola dan selalu menguntungkan 01 dan merugikan 02. Oleh karena itu, masyarakat mencurigai, bahkan banyak yang menuduh, bahwa kesalahan input ini sebagai modus kecurangan untuk memenangkan Jokowi dalam kontestasi Pilpres ini.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPU, dan juga Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), semakin meluas. Tidak sedikit masyarakat yang menuntut agar pimpinan KPU dan Bawaslu diadili atas dugaan kecurangan-kecurangan pemilu ini, karena menurut pandangan mereka dugaan kecurangan ini sudah dikategorikan TSM: Terstruktur, Sistematis dan Masif.
Yang cukup mengejutkan, belum lama berselang beredar berita ketua KPU mengakui adanya potensi kecurangan yang dilakukan oleh petugas input data, seperti dimuat di sinarharapan.co pada 21 April 2019.
Ketua KPU pun berjanji akan mengecek potensi kecurangan tersebut. Janji ini disampaikan dengan ringan sekali, seolah-olah kecurangan input data hanya persoalan kecil saja. Padahal, ini menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta orang.
Di lain pihak, masyarakat masih banyak yang terus melaporkan kesalahan input data ini di berbagai media sosial dengan harapan KPU akan mengoreksinya. Tetapi, siapa yang dapat memastikan bahwa data yang sudah dikoreksi, atau data lainnya, tidak menjadi salah lagi? Karena pada dasarnya aplikasi Situng KPU tersebut tidak dapat dipercaya kebenaran dan tingkat akurasinya, dan oleh karena itu tidak layak untuk digunakan dalam perhitungan suara pilpres ini. Konsekuensi logis atas ketidaklayakan aplikasi Situng ini membuat hasil perhitungan suara KPU yang bersumber dari aplikasi Situng ini menjadi cacat hukum sehingga tidak dapat dijadikan referensi perhitungan suara secara resmi.
Artinya, apabila ada satu kesalahan saja, maka Situng KPU menjadi batal demi hukum. Karena, perhitungan suara pilpres harus sempurna dengan kesalahan nihil, apalagi kalau kesalahan ini buah dari kecurangan.
Oleh karena itu, masyarakat seharusnya tidak perlu melakukan koreksi atas kesalahan input yang dilakukan (petugas) KPU yang menurut berita di media sudah mencapai puluhan ribu kasus, bahkan ada yang menyebut sudah lebih dari 50 ribu. Masyarakat cukup memantau dan mencatat kesalahan tersebut, dan pada waktunya, pada hari H, masyarakat tinggal melihat dan menyatakan data Situng KPU tidak layak dan tidak dapat diterima apabila terdapat kesalahan hitung suara yang tidak sama dengan data TPS.
Artinya perhitungan suara tersebut harus batal demi hukum, dan harus dilakukan perhitungan manual oleh pihak independen yang disaksikan oleh semua pihak yang berkepentingan, dalam hal ini saksi kubu 01 dan 02.
Selain itu, bagi masyarakat yang merasa suara meraka di masing-masing di TPS berbeda dengan hasil perhitungan di Situng KPU, mereka dapat menggugat petugas input data KPU baik secara perdata maupun pidana.
Ketua Bawaslu (Provinsi Riau), Rusidi Rusdan, pernah menyatakan bahwa siapapun yang merubah hasil perhitungan suara di TPS bisa dipidana, seperti dimuat di kompas.com pada 25 April 2019. Secara hukum, ancaman pidana ini juga berlaku bagi petugas input data KPU yang merubah hasil perhitungan suara di Situng KPU, dan, oleh karena itu, masyarakat dapat menuntut petugas tersebut secara perdata dan pidana. Aplikasi Situng KPU pasti mempunyai log atau jejak nama petugas yang menginput data yang salah tersebut.
Dengan tuntutan pidana ini diharapkan petugas KPU tidak akan berani melakukan kesalahan dan kecurangan input data perolehan suara. Kedua, kalau sampai terjadi peradilan terhadap petugas input data KPU tersebut, maka diharapkan persengkongkolan kecurangan ini dapat terbongkar, dan ancaman pidana juga berlaku bagi mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Bahkan kalau salah satu kubu paslon terlibat, maka ancaman diskualifikasi merupakan pilihan yang sangat mungkin.
Undang-undang No. 7 Tahun 2017, Pasal 504 menyatakan bahwa Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 389 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Dan Pasal 505 menyatakan bahwa Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Jadi, kelalaian, sekali lagi kelalaian, yang mengakibatkan hilang atau berubahnya hasil perhitungan suara dapat dipidana. Jadi human error input data, yang dianggap sebagai kelalaian oleh ketua KPU, jelas dapat diancam pidana.
Kedua pasal ini harus digunakan sebagai dasar penuntutan hukum bagi masyarakat yang merasa dirugikan karena pemberian suaranya ke salah satu paslon pilpres hilang dalam perhitungan suara di Situng KPU. Dengan kata lain, masyarakat tidak perlu melakukan koreksi terhadap kesalahan input data, tetapi langsung proses secara hukum.
Semoga hukum di Indonesia masih dapat tegak dan tegar dalam menegakkan demokrasi yang tercoreng oleh kelalaian dan kesalahan input data oleh para petugas KPU.
Oleh: Anthony Budiawan
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) .[rmol]