Oleh Slamet Urip
Berawal dari Pilpres Filipina yang digelar tanggal 07 Februari 1986. Capres oposisi Nyonya Corazon (Cory) Acquino melawan petahana Ferdinand Marcos.
Hasilnya sang petahana "dimenangkan" oleh KPU Filipina (COMELEC).
Namun Gerakan Nasional Untuk Pemilu Bebas (NAMFREL) sebuah organisasi independen yang melakukan penghitungan suara tidak resmi, justru menyatakan oposisi sebagai pemenang dengan suara 7,835,070 melawan petahana yang hanya mengantongi 7,053,068 suara.
Berbagai laporan kecurangan pun mengemuka, 35 teknisi komputer dari komisi pemilihan umum mundur karena tidak mau mencurangi hasil pilpres untuk menguntungkan petahana.
Peristiwa ini menyulut kobaran api demonstrasi anti pemerintah. Rakyat turun ke jalan memprotes kecurangan yang membuat : Ibukota Manila praktis lumpuh selama empat hari (22-25 Februari 1986).
Berawal dari jumlah demonstran yang hanya ribuan, kemudian berlipat menjadi ratusan ribu dan terus bertambah, hingga diperkirakan 2 juta orang ikut dalam aksi gerakan sipil tanpa senjata, yang kemudian dikenal sebagai gerakan "People Power" .
Berbagai cara digunakan oleh rezim untuk membubarkan aksi massa, seperti menempatkan para sniper dan serangan badai gas air mata, namun massa tetap tak bergeming....
Akhirnya pada tanggal 25 Februari 1986 malam, Marcos menyerah. Ia dan keluarganya kemudian terbang dan mengasingkan diri ke Hawaii, AS. Pemimpin oposisi Corazon Acquino pun dilantik sebagai Presiden Filipina melalui sebuah upacara sederhana di Club Filipino.
Sebuah club yang jaraknya satu kilometer dari jalan tempat pusat berkumpulnya massa.
Situasi di Indonesia mirip. Namun apakah "People Power" pasca 22 Mei lebih dahsyat dari Philipina? Kita tunggu saja episode berikutnya... (*)