Oleh Arip Musthopa Ketum PB HMI 2008-2010
Umi, demikian saya biasa memanggil Ibu saya, pernah bertanya tentang hal ini. Umi nampak bingung dengan adanya ragam berita tentang siapa pemenang Pilpres 2019 : Jokowi-MA atau Prabowo-Sandi? Saya meyakini Umi tidak sendirian, ada jutaan orang seperti Umi.
Pertanyaan siapa pemenang Pilpres 2019 sebenarnya sudah dijawab oleh Quick Count (QC) yang disiarkan oleh -seluruh- stasiun televisi dan media massa lainnya. QC yang dilaksanakan oleh LSI Denny JA, Charta Politica, Indikator Politik Indonesia, dkk menempatkan Paslon 01 Jokowi-MA menang dalam kisaran suara 54-56%. Namun, berbeda dengan Pemilu 2004, 2009, dan 2014, kali ini QC tidak seotoritatif yang diharapkan. Tidak sedikit yang ragu dengan hasil QC.
Keraguan pada QC dipicu oleh paling tidak dua hal; pertama status hampir seluruh lembaga penyelenggara QC yang baik secara terbuka maupun diam-diam -diketahui- mendukung dan bekerja untuk Paslon 01.
Kedua, pada masa kampanye rapat umum, antusiasme dukungan terlihat deras mengarah pada Paslon 02. Sementara hasil survei mereka yang dipublikasi sebelum hari pencoblosan menempatkan Paslon 01 di atas Paslon 02 dengan selisih elektabilitas yang signifikan. Atas "ketidaksesuaian" ini, publik lantas menaruh curiga bukan hanya pada hasil surveinya, namun juga hasil QC.
Upaya menjawab keingintahuan publik atas hasil Pilpres 2019 selanjutnya coba di jawab oleh _real count_ dalam Situng KPU yang bisa diakses terbuka di www.kpu.go.id.
Bak pinang dibelah dua, hasil Situng KPU selalu menampilkan perolehan suara yang stabil diantara dua kontestan, dengan prosentase yang relatif sama dengan hasil QC, tidak peduli seberapa banyak data yang masuk. Padahal prosentase jumlah data masuk dari setiap provinsi tidak merata. Logikanya, bila data masuk tidak merata di setiap provinsi, maka prosentase perolehan suara secara nasional pasti berubah-ubah (tidak stabil).
Hal ini menimbulkan kecurigaan hingga akhirnya publik melihat secara langsung banyak kejanggalan dalam Situng tersebut. Mulai dari data TPS tidak dilengkapi hasil scan C1, dilengkapi C1 tapi tidak sesuai antara data C1 dan angka perolehan suara yang diinput, hingga angka perolehan suara Paslon 01 yang kerapkali melonjak hingga di atas total suara per TPS.
Puncak keraguan terhadap validitas perolehan suara dalam Situng terjadi ketika Tim IT BPN Prabowo-Sandi mempublikasikan hasil riset mereka terhadap Situng KPU. Tercatat ada 73.715 salah input dalam Situng KPU yang kemudian dilaporkan oleh BPN Prabowo-Sandi kepada Bawaslu RI.
Setelah QC dan Situng KPU gagal meyakinkan publik, harapan untuk menjawabnya hanya terletak pada perhitungan manual berjenjang yang dilakukan oleh KPU : mulai dari TPS, kemudian Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan akhirnya Nasional. Menurut jadwal, tanggal 22 Mei 2019 hasilnya baru bisa diketahui.
Tanpa harus menunggu sampai 22 Mei, terlihat Paslon 01 berada di atas angin setelah KPUD Jateng dan Jatim mempublikasikan hasil Rapat Pleno Rekapitulasi Suara Pilpres di wilayahnya. Di dua provinsi tersebut, Paslon 01 unggul 19.671.485 suara dari Paslon 02. Selisih suara yang sangat besar dan sulit dikejar oleh perolehan suara Paslon 02 di Provinsi lain.
Namun hasil perhitungan manual KPUD Jateng dan Jatim tersebut bukannya tanpa keraguan. Saksi dari Paslon 02 alih-alih tanda tangan hasil perhitungan, melainkan memberikan banyak catatan keberatan. Sementara itu di publik, muncul kecurigaan bahwa telah terjadi penggelembungan suara di Jateng dan Jatim yang menguntungkan Paslon 01. Argumennya adalah perbandingan dengan jumlah suara sah pada Pilgub 2018 yang jauh lebih rendah.
Menurut KPUD setempat, jumlah suara sah di Jateng untuk Pilpres 2019 adalah 21.769.958. Sedangkan di Jatim, jumlah suara sahnya adalah 24.672.915. Sedangkan pada Pilgub Jateng 2018, suara sahnya adalah 17.630.687. Di Pilgub Jatim 2018, suara sahnya adalah 19.541.232. Jadi di Jateng terdapat peningkatan suara dari Pilgub ke Pilpres sebesar 4.139.271 atau 19% dari total suara sah Pilpres 2019. Sedangkan di Jatim, terdapat peningkatan suara sah sebesar 5.130.683 atau 20,7% dari total suara sah Pilpres 2019.
Apabila kita bandingkan data tersebut dengan Pilgub Jateng 2013 (suara sah 14.259.945) dan Pilpres 2014 (suara sah 19.445.260), terdapat peningkatan suara sah sebesar 5.185.315 atau 26,6% dari total suara sah Pilpres 2014. Sedangkan di Jatim, Pilgub 2013 suara sahnya 17.343.832 dan Pilpres 2014 adalah 21.946.401, terdapat peningkatan suara sah 4.602.569 atau 20,9% dari total suara sah Pilpres 2014.
Dari perbandingan tersebut, terlihat bahwa peningkatan suara sah atau partisipasi pemilih dari Pilgub ke Pilpres di tahun 2019 ini bukanlah pertama kali, karena sebelumnya terjadi juga tahun 2014. Jadi membandingkan suara sah Pilgub 2018 dan Pilpres 2019 tidak otomatis menghasilkan kesimpulan telah terjadi penggelembungan suara di Jatim dan Jateng pada Pilpres 2019 ini.
Fenomena peningkatan suara sah atau partisipasi pemilih dari Pilgub ke Pilpres bukan hanya terjadi di Jateng dan Jatim, melainkan terjadi juga di daerah lain. Sebagai contoh di Jabar dan DKI Jakarta. Di Jabar, Pilgub 2013 suara sahnya 20.115.423, sedangkan untuk Pilpres 2014, suara sahnya 23.697.696. Terdapat peningkatan sebesar 3.582.273 atau 15,1% dari total suara sah Pilpres 2014.
Sementara itu Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 suara sahnya 4.592.945 dan Pilpres 2014 suara sahnya 5.387.958. Terdapat peningkatan sebesar 795.013 atau 14,7% dari total suara sah Pilpres 2014. ( Perbandingan Pilgub Jabar 2018 dan Pilpres 2019 serta Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019 saat ini belum bisa dilakukan karena hasil resmi Pilpres 2019 di dua Provinsi tersebut belum ada).
Dengan membandingkan data peningkatan suara sah di Jatim-Jateng dan Jabar-DKI pada Pilgub dan Pilpres di atas, nampak terlihat bahwa prosentase peningkatan suara sah di Jatim dan Jateng jauh lebih tinggi dari Jabar dan DKI. Hal ini mungkin bisa dijadikan indikasi awal adanya penggelembungan suara di Jateng dan Jatim yang menguntungkan Paslon 01. Namun agar dugaan tersebut kokoh, perlu didukung oleh indikasi dan bukti lainnya.
Akhirnya, penulis ingin menyampaikan bahwa, pertama, BPN Paslon 02 dan pendukungnya perlu kerja keras untuk membangun perspektif dan mengumpulkan bukti-bukti adanya kecurangan yang nyata oleh Paslon 01. Tanpa itu, jangan berharap Paslon 02 memenangkan Pilpres 2019.
Kedua, betapa pentingnya menjaga kredibilitas hasil perhitungan manual KPU dalam menjawab keingintahuan dan rasa keadilan publik tentang siapa yang terpilih dalam Pilpres 2019. Jangan sampai, hasil Pleno KPU gagal memberikan jawaban yang memuaskan karena terlalu banyaknya celah bagi banyak pihak meragukan hasilnya.
Memang ada langkah konstitusional terakhir melalui Mahkamah Konstitusi. Namun proses menuju kesana membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga secara otomatis membawa unsur ketidakpastian yang lebih lama di dalamnya. Padahal kondisi ketidakpastian sangat dekat dengan kondisi chaotic.
Ketiga, apabila BPN Paslon 02 berhasil membuktikan adanya kecurangan yang massif, sistematis, dan terstruktur sehingga mengharuskan adanya pemungutan suara ulang baik seluruhnya maupun di sebagian wilayah, maka hendaknya dilaksanakan di bawah pengawasan lembaga pemantau internasional. Agar hasilnya lebih kredibel dan diterima semua pihak.
Wallahu a"lam bishshowab.[tsc]