Oleh Mayjen TNI (Purn) Prijanto
Artikel ini terinspirasi adanya sikap ksatria tokoh-tokoh dunia, yang mundur dari jabatannya. Di samping itu, menyimak penjelasan Machfud MD di salah satu media TV yang merujuk Ketetapan MPR Nomor VI/2000, mengatakan kurang lebih : ‘……. seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya, kebijakannya dicurigai menimbulkan kontroversi, tidak perlu tunggu keputusan hukum, mundur… dst’. Jadi mundur itu tidak perlu nunggu keputusan hukum bersalah.
Kisruh dalam artikel ini bukannya menuduh Pilpres 2019 ada kecurangan atau Pilpres 2019 itu curang. Tetapi, kisruh dalam arti munculnya gejolak sosial selama proses Pemilu 2019. Gejolak sosial muncul karena pemberitaan dan informasi dari berbagai macam media, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pemberitaan seputar Pemilu 2019 telah membuat resah, membingungkan, mencekam dan menakutkan dalam kehidupan masyarakat.
Akibatnya, masyarakat menjadi terkotak-kotak. Terjadi disharmoni dalam kehidupan sehingga merobek-robek persatuan. Masing-masing membawa kepentingannya yang diekspresikan dengan beraneka ragam cara. Ujaran kebencian, hujatan, fitnah, bohong, tipuan, saling ancam, saling serang, saling klaim sampai dengan ajakan ‘Perang Total’ dan ‘People Power’. Melihat hal ini, apa solusinya?
Gejolak sosial, pada umumnya akibat kebijakan dan aturan yang bersentuhan dengan kehidupan rakyat. Dengan demikian, tidak bisa lepas dari tanggung jawab pejabat publik. Karena itulah kebijakan dan aturan yang berakibat buruk terhadap rakyat, sering dikaitkan dengan tanggung jawab pejabat. Sehingga dalam peradaban yang sudah mapan, sering kita lihat pengunduran diri pejabat publik atas dasar tanggung jawab jabatan dan harga dirinya.
Mundur Dari Jabatan
Akira Amari, Menteri Ekonomi Jepang mengundurkan diri dari jabatannya karena tuduhan korupsi. Walaupun dalam penelusuran ternyata anak buahnya yang melakukannya. Alasan Akira karena adanya rasa tanggung jawab sebagai pejabat kabinet, politikus dan juga karena harga diri.
Choi Joong-kyung, Menteri Ekonomi Korea Selatan, mengundurkan diri karena adanya pemadaman listrik selama 30 menit sehingga mempengaruhi 2 juta rumah. Pemadaman tersebut akibat “kesalahan perhitungan” pemerintah. Rasa tanggung jawab karena salah hitung pemerintah tersebut, yang membuat Choi mengundurkan diri.
Yukio Hatoyama, Perdana Menteri Jepang, mengundurkan diri karena gagal memenuhi janji kampanye Pemilu untuk memindahkan Pangkalan Militer AS ke luar dari wilayah Okinawa. Kejujuran satunya kata dan perbuatan saat kampanye dan setelah terpilih serta sikap konsisten atas yang diucapkan, membuat Yukio mundur.
Naoto Kan, Perdana Menteri Jepang, pengganti Yukio Hatoyama mengundurkan diri setelah mendapat kecaman kegagalannya memulihkan Jepang setelah tsunami Maret 2011, yang membuat krisis nuklir Jepang.
Lee Chih Kung, Menteri Ekonomi Taiwan mengundurkan diri karena bertanggung jawab adanya pemadaman listrik selama 5 jam, akibat 6 generator pusat pembangkit listrik di Taoyun tidak berfungsi, dengan kerugian 2,89 juta dolar AS.
George Papandreou, Perdana Menteri Yunani mengundurkan diri dengan alasan ingin memuluskan jalan bagi pemerintahan koalisi baru. Sikap Papandreou menunjukan sikap kenegarawanannya. Dia lebih mementingkan Yunani dari pada jabatan yang sudah ditangannya sebagai Perdana Menteri.
Chung Hong-won, Perdana menteri Korea Selatan, mengundurkan diri setelah menerima kemarahan masyarakat Korea Selatan, akibat lambatnya pemerintah mengevakuasi korban kecelakaan kapal feri Sewol yang merenggut ratusan jiwa. Chung mundur karena rasa tanggung jawab disertai permintaan maaf.
Soeharto, Presiden Indonesia, mundur dari Presiden pada 21 Mei 1998 setelah Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi. Walau Soeharto memiliki pengikut, tetapi memilih mundur karena tidak ingin terjadi perpecahan dan pertumpahan darah. Menhankam/Pangab Wiranto dikala itu sudah mem-back up dengan melarang Mahasiswa agar tidak masuk Jakarta. Namun kehendak rakyat tak terbendung, sehingga menjebol pasukan ABRI yang menahannya. Akhirnya, mahasiswa menduduki MPR/DPR.
Contoh di atas menunjukkan, jabatan itu memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab. Agar bisa menyelesaikan tugas dengan baik, diberikan kepadanya wewenang. Hasil tugas baik atau buruk, merupakan tanggung jawabnya. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan anak buah, atas tugas jabatannya, merupakan tanggung jawabnya, karena dirinya diberikan kewenangan untuk mengatur demi tercapainya tugas.
Pemimpin yang berani mundur umumnya memiliki : (1) integritas yang selalu menjaga kejujuran dan keadilan (2) kehormatan yang selalu dijaganya (3) keberanian menghadapi kesulitan (4) menghormati orang lain (5) kasih sayang terhadap rakyatnya (6) tulus ikhlas dalam pengabdian (7) kesetiaan terhadap bangsa dan negaranya.
Kisruh Pemilu 2019
Dari berita media, kita coba inventarisasi pemberitaan yang membuat kisruh, sehingga menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, antara lain :
DPT bermasalah yang jumlahnya jutaan. Orang gila boleh nyoblos. Kotak suara dibuat dari kardus. Dugaan penggunaan kekuatan struktur pemerintahan. Tertangkapnya orang-orang yang menggunakan uang dalam OTT KPK.
Tayangan awal ‘quick count’ di TV yang memenangkan pasangan 02, tetapi berubah cepat dimenangkan 01, dikaitkan dengan raut wajah tim 01 pada saat yang sama melihat di Jakarta Theater. Kasus-kasus perjalanan kotak suara setelah coblosan, perhitungan Situng, dan perhitungan manual.
Berbagai kasus coblosan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Lebih lima ratus petugas Pemilu meninggal dunia dan lebih sebelas ribu petugas yang sakit setelah coblosan. Tuntutan dibentuknya TGPF untuk kasus yang meninggal dunia. Tuduhan dan polemik pengertian tentang makar dan kedaulatan rakyat.
People power, makar, penangkapan-penangkapan oleh aparat, Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat, pengerahan pasukan TNI/Polri bersenjata lengkap dengan munisi hampa/karet/tajam dengan jumlah ribuan personil didukung Rantis di Jakarta, merupakan berita menjelang diumumkannya hasil Pemilu 2019 oleh KPU.
Siapa Bertanggung Jawab atau Mundur ?
Sebagaimana disampaikan di awal, artikel ini terinspirasi adanya tokoh-tokoh dunia yang berani mundur dan mundur itu tidak perlu menunggu putusan pengadilan. Artikel ini sebagai bentuk keprihatinan untuk mencari solusi dengan pendekatan logika akademik dan norma sosial, untuk menjawab andaikan ada pertanyaan : ‘Apa solusi untuk menghentikan gejolak sosial yang mengarah terjadinya perpecahan bangsa ?’
Mencermati peristiwa apa saja yang membuat beberapa tokoh-tokoh dunia mundur dari jabatan, maka demi persatuan bangsa, salah satu solusinya, kiranya ada yang berani menyatakan bertanggung jawab dan mundur. Menurut logika akademik, siapakah mereka itu?
Pertama, orang-orang yang secara sadar menyetujui dan melakukan amandemen UUD 1945, terutama yang telah mengubah Pasal 1 ayat (2) yang semula : “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Mengapa dan apa alasannya? Karena, Pemilu saat ini, merupakan format demokrasi hasil amandemen UUD 1945 yang jelas-jelas menyimpang dan mencederai nilai-nilai demokrasi yang telah dirumuskan para “the founding fathers and mothers”. Demokrasi saat ini menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Bung Karno, ketika pidato di SU PBB tahun 1960, jelas mengatakan bahwa : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah demokrasi Indonesia. Nilai demokrasi tersebut telah telah ditransformasikan dalam Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 1 ayat (2).
Kedua, salah satu dari Paslon 01 atau 02. Mengapa, karena adanya sesanti ‘Tan Hana Dharma Mangruwa’. Sebuah kalimat yang sesungguhnya menyatu dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada kebenaran yang mendua atau tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Tidak bisa dua-duanya menyatakan benar dan menang. Tidak bisa dua-duanya menjadi Presiden dan Wapres.
Kedua paslon bisa melakukan perenungan yang mendalam, disertai kejujuran dan kearifan, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Melakukan evaluasi semua proses dan peristiwa, yang telah dilewatinya, apakah dirinya sudah melakukannya secara jujur, benar dan adil. Kedua paslon bisa mengukur dirinya, apakah dirinya layak memenangkan Pemilu untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia untuk 5 tahun ke depan, setelah menapak dan melakukan serangkaian proses.
Ketiga, Dari perspektif pengorganisasian, pejabat Penyelenggara Pemilu dan Pengawas Pemilu, masuk kelompok paling bertanggung jawab atau mundur. Mengapa, karena segala kebaikan, keberhasilan, kekurangan dan gejolak akibat penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu melekat erat dalam organisasi.
Perlu diingat, peran, tugas, wewenang dan tanggung jawab itu ada di organisasi tersebut. Sejak perencanaan, pelaksanaan dan tahap pengakhiran berada di penyelenggara dan pengawas. Harus segera disadari, rakyat tidaklah bodoh. Tidak mungkin dari 183 juta lebih penduduk Indonesia yang usia produktif, tidak ada yang melihat dan tidak mengerti hal ini.
Keempat, pejabat siapapun ataupun bukan pejabat dari organisasi formal ataupun informal yang memiliki keterkaitan dengan proses Pemilu 2019, yang karena peran, tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, ikut terlibat dan tidak bisa mencegah terjadinya gejolak sosial. Atau karena peran yang dilakukannya, membuat kisruh yang berakibat timbulnya gejolak sosial.
Menyatakan saya bertanggung jawab dan mundur dari jabatan, bukanlah hal yang mudah dan rendah. Justru pernyataan semacam itu, umumnya disebut sebagai ksatria bak ksatria Samurai yang memiliki karakter Bushido. Namun ada juga orang yang kebalik menilainya. Mundur dikira lari dari tanggung jawab, sehingga dia lebih memilih mengelak, menjawab untuk mencari pembenaran.
Padahal mundur dari jabatan juga salah satu bentuk dari pertanggungjawaban jabatan. Tidak perlu berkilah belum ada keputusan hukum, atau atasannya belum mengundurkan dirinya. Sebab jika mundur setelah ada keputusan hukum, itu namanya hukuman, dan tidak ada nilainya.
Siapa berani menyatakan bertanggung jawab atau mundur, tergantung sejauhmana orang itu memiliki rasa malu dan takut. Malu berbuat tidak jujur, malu tidak menjunjung kebenaran, malu tidak adil, dan takut jika kelak dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoga tumbuh kesadaran kita, sebelum penyesalan datang, tatkala terbaring di ranjang menunggu kematian, Insya Allah, aamiin (*)