GELORA.CO - Sengitnya pertarungan antarpartai dan meruncingnya friksi politik di Pemilu 1955 berdampak pada munculnya gangguan keamanan. Keadaan ini diperparah dengan persoalan gejolak daerah warisan revolusi yang tak kunjung usai. DI/TII yang menafikan keberadaan Republik Indonesia masih menjadi ancaman serius penyelenggaraan pemilu di berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Sumatra dan Sulawesi.
Gangguan keamanan itu muncul sejak masa persiapan pemilu. Berdasarkan laporan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) kepada pemerintah, seperti terekam dalam "Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959" (Nomor Arsip 1916) koleksi ANRI, daerah-daerah yang relatif aman dan tidak mendapat gangguan keamanan selama distribusi logistik dan pendataan pemilih antara lain Jakarta Raya, Jawa Barat (meskipun terdapat gangguan kemananan, terutama dari DI/TII, namun skalanya kecil dibandingkan dengan persoalan keamanan di luar Jawa), Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Nusa Tenggara. Daerah-daerah tersebut dapat menyelesaikan proses pendataan pemilih satu bulan kemudian, pada akhir Juni 1954 atau sebelumnya.
Sementara daerah-daerah yang terdapat gangguan keamanan seperti Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan beberapa kecamatan di Tasikmalaya, Jawa Barat proses pendaftaran pemilihnya berlangsung lebih lama. Kendala berikutnya, seperti pada beberapa desa di Kalimantan yang penduduknya buta huruf, adalah harus menunggu pendaftar dari desa lain untuk melakukan pendataan.
Persoalan transportasi baik darat, laut, maupun angkutan sungai yang terbatas juga menjadi penghambat tugas Panitia Pendaftaran Pemilih. Selama proses pendataan itu, beberapa panitia gugur dalam menjalankan tugas akibat tindakan gerombolan-gerombolan yang mengganggu proses jalannya pemilu.
Dari Penculikan Gagal sampai Pembunuhan
Di Yogyakarta terjadi percobaan penculikan terhadap orang-orang pemerintahan. Kejadian ini berkaitan dengan konstelasi politik jelang dilangsungkannya pemilihan umum. Salah seorang anggota Dewan Pimpinan Masyumi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kiai Haji Mansjur, dengan dibantu Wardani warga Sentolo, Haji Moh. Dimjati warga Muntilan, Notosoedarmo (lurah Desa Wates), Hadisajadi (Pembantu Letnan Staf Reg. I Bat. XIII), dan Barodji (pegawai STP Negeri Wates) dilaporkan akan melakukan penculikan dan penggarongan terhadap tokoh terkemuka yang menyokong pemerintah (PNI, PKI, dan lainnya) di wilayah itu.
Aksi itu mereka rencanakan pada tanggal 12 atau 13 Januari 1954 jam 1 malam. Namun maksud jahat itu gagal dilakukan karena perencanaan aksi telah bocor dan Kiai Haji Mansyur telah ditangkap polisi. Kasus ini termuat dalam Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung Indonesia No. PLK C.2/625/3/3 yang tercantum dalam "Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959" (Nomor Arsip 1108).
Selain kejadian di Yogyakarta, selama masa persiapan pemilu terdapat beberapa panitia badan penyelenggara pemilu di daerah yang diculik dan gugur ketika menjalankan tugas. Acting Gubernur Sulawesi, Donggeng Dg. Ngasa, melaporkan kepada Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri pada 5 Mei 1956 tentang adanya penculikan terhadap anggota panitia penyelenggara pemilu di wilayahnya.
Mereka yang hilang adalah Andi Djije (Anggota PPP Pinrang) yang diculik di sekitar Pinrang pada 20 Agustus 1955 di rumahnya dan dibawa masuk ke hutan dan Muh. Junus (Anggota PPS Pinrang) yang hilang sejak 7 Juli 1955 di sekitar Pinrang. Menurut keterangan, korban dipaksa masuk hutan oleh gerombolan-gerombolan dengan disertai ancaman, keduanya belum kembali hingga laporan disampaikan. Laporan tentang peristiwa itu tercatat dalam "Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959" (Nomor Arsip 1133).
Kemudian di Brebes, Jawa Tengah dilaporkan 10 orang panitia penyelenggara pemilu gugur dalam menjalankan tugas pemilu.
Kesepuluh orang tersebut adalah Achmad Sef (Wakil Ketua Panitia Pendaftaran Pemilih Kabupaten Brebes), Abdoeldjamil (Anggota Panitia Pemungutan Suara Kecamatan Sirampog), Ranawidjaja (Wakil Ketua PPP Desa Tanggungsari, Kecamatan Ketanggungan), Machmoed (Anggota PPP Desa Sindangjaya, Kecamatan Tanjung), Djoemarta (Wakil Ketua PPP Desa Tambakserang, Kecamatan Bantarkawung), Taklim (Lurah/Ketua PPP Desa Karangjokeng, Kecamatan Tanjung), Karnadi (Lurah/Ketua PPP Desa Pamedaran, Kecamatan Ketanggungan), Karsad (Carik selaku anggota PPP Desa Pamedaran, Kecamatan Ketanggungan), Soemar (Lurah/Ketua PPP Desa Sutamaja, Kecamatan Tanjung), Soemaid (Lurah/Ketua PPP Desa Mlajang, Kecamatan Sirampog).
Semua korban dilaporkan meninggal akibat diculik kemudian dibunuh sekelompok gerombolan pengacau.
[tirto]