By: Yudhi Hertanto*
PASCA berakhirnya masa bakti Presiden SBY di 2014, partai besutan sang jenderal memang seolah menepi dari ketatnya pertarungan politik.
Arah dan sikap politik tengah menjadi laku gerak partai biru tersebut.
Fase 2014 yang menghadirkan kepemimpinan baru nasional yakni Jokowi dengan partai pengusungnya PDIP, membuat Demokrat menjauh dari gelanggang. Terlebih secara bersamaan banyak persoalan muncul di tubuh internal partai berlambang mercy.
Persoalannya, partai Pak SBY memang seolah tidak bisa bersama kubu kekuasaan karena faktor psikologis yang bersifat historik. Sekali lagi, Partai Demokrat memang besar dan dibesarkan dengan keberadaan figur personal SBY, dengan citra sebagai tentara pemikir.
Bekalan itu pula yang menghantarkan Demokrat yang memulai debutnya pada 2004 dengan perolehan suara 7,45 persen, sebagai tahun awal keterpilihan SBY menjadi Presiden RI, hingga kemudian melonjak perolehan suaranya di 2009 mencapai 20,40 persen sekaligus tonggak periode kepemimpinan SBY.
Selanjutnya, perolehan suara kembali melorot, seiring surutnya kekuasaan, dan problem internal partai. Salah satu yang teringat dari kemunculan Demokrat sebagai partai besar di 2009 adalah terpecahnya bentukan koalisi pemerintah di kasus Bank Century.
Regenerasi Politik
Penurunan perolehan suara Demokrat terjadi di 2014, dengan seluruh perangkat yang dimiliki maka partai biru ini hanya mampu mempertahankan 10.19 persen suara. Sejak itu, Demokrat seolah bermain sendiri, tidak hendak berasosiasi pada kekuatan dua kubu yang berkompetisi saat itu, yakni Jokowi-Prabowo.
Putra kedua SBY, menjadi kader yang diusung pada banyak kesempatan. Ibas terpilih menjadi Sekretariat Jenderal partai periode 2010-2015. Hingga kemudian justru sang kakak AHY yang secara drastis masuk ke kancah politik dengan meninggalkan karir militer.
Fenomena AHY dianggap menjadi figur penting yang mampu mensubtitusi SBY, terlebih dengan latar kemiliteran yang sama meski AHY harus berkorban atas masa depan profesi ketentaraannya. Keterlibatan AHY dimulai dengan menjadi kandidat pada Pilkada DKI periode 2017 berpasangan dengan mpok Sylvi.
Meski menjadi kuda hitam yang sempat diperhitungkan, toh pada akhirnya, AHY menempatkan pengalaman dalam berkompetisi politik di Ibukota sebagai sarana latih dan uji coba di ranah politik. Sebagai pemegang mandat dan tongkat estafet kepemimpinan partai AHY memang harus ditempa dengan kuat, dan secepat mungkin.
Hal ini kemudian yang bisa ditafsirkan tentang diperlukannya panggung bagi AHY di tingkat nasional. Apalagi setelah negosiasi pencalonan AHY untuk berduet dengan Prabowo pada Pilpres 2019 berakhir kandas.
Situasi terakhir ini pula yang menjadi dasar sekaligus menjelaskan alasan gerbong Demokrat paling akhir bergabung dari koalisi partai pengusung Prabowo-Sandi.
Penting untuk dicermati pernyataan AHY sebagai Kogasma bagi Partai Demokrat bahwa kondisi pemilu serentak tidak menguntungkan bagi partai tersebut, maka langkah double track dicanangkan. Secara riil, Demokrat memang tidak mendapatkan coattail effect, karena perolehan suaranya berdasarkan Quick Count Kompas untuk Pemilu 2019 turun menjadi 8,03 persen.
Pragmatisme Koalisi
Bergabungnya Demokrat dalam dukungan kepada Koalisi Adil Makmur berlangsung bukan tanpa halangan, bahkan berkali-kali berbenturan. Persoalan kardus, kritik tentang lambannya Prabowo turun ke basis pemilih disuarakan. Meski kemudian ketika tampil di muka media tampak menjadi barisan loyal, kita tidak pernah mengetahui dengan pasti bagaimana peran dan panggung itu dimainkan.
Terakhir, soal kehadiran AHY hadir ke istana sebagai upaya membagun komunikasi politik sekaligus memenuhi undangan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari pembacaan tentang arah hasil pemilu dan peta jalur untuk mendorong garis orbital AHY.
Tentu aksi simbolik kendaraan dengan plat B 2024 AHY tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai makna dari pesan yang hendak disampaikan.
Menatap 2024 bagi AHY menjadi sangat mungkin bila ada ruang dan panggung berlatih di dalam kekuasaan, dan untuk itu undangan Jokowi bak gayung bersambut.
Terlebih, isu reshuffle kabinet dimungkinkan terjadi ketika santer diberitakan beberapa menteri akan digantikan terkait dengan kasus yang disidik di KPK. Kans AHY tentu menjadi bertambah dalam peluang untuk masuk jajaran kabinet.
Logika yang dapat dibaca, AHY dapat menjadi titik kompromi ketika SBY sebagai figur Demokrat justru tidak bisa diterima oleh partai penguasa yakni PDIP.
Maka pernyataan setan gundul yang menjadi pemasok informasi keliru akan klaim kemenangan Prabowo, bagi rekan koalisi Adil Makmur sebagaimana yang dilontarkan Andi Arief, adalah upaya membangun benteng narasi dalam rangka melindungi kepentingan partai Demokrat dan putra mahkotanya.
Terdapat alasan rasional bagi Demokrat untuk berpindah, bila setan gundul masih ada dalam koalisi.
Metafora setan gundul tentu tidak merujuk pada individu personal, mungkin juga soal kelompok lain yang bersenyawa dalam koalisi. Bisa siapa saja, karena tidak menyebut nama, tetapi ada kemungkinan terkait PA 212 dan Ijtima Ulama yang selama ini didengarkan oleh paslon Prabowo-Sandi, atau mungkin hanya Andi Arief yang mengetahuinya?
Sekali lagi, politik tengah itu tidak selalu di tengah, membiarkan diri di tengah itu adalah langkah strategis, menjadi elemen yang diperebutkan untuk dapat ditarik ke kanan ataupun ke kiri.
Dan kali ini tatapan Demokrat adalah 2024 dengan mencoba mempersiapkan karpet menuju istana pada lingkar kekuasaan, tentu jika tidak di veto di tengah jalan!
*) Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid