OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
AKHIR-AKHIR ini kata people power mendominasi media kita, baik media resmi maupun media sosial. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan people power oleh para elite politik kita?
People power berasal dari dua kata dalam bahasa Inggris: ”people” berarti orang banyak atau rakyat, dan “power” berarti kekuatan. Dengan demikian secara harfiah kata people power dapat diartikan sebagai kekuatan rakyat atau kekuatan massa.
Dalam kontek politik, istilah people power mulai muncul dan populer, saat rakyat Amerika melakukan protes terhadap kebijakan pemerintahnya melakukan perang di Vietnam. Protes dilakukan dengan cara damai dan menggunakan simbol bunga. Para demonstran menggunakan pakaian warna-warni dengan gambar berbagai jenis bunga. Bahkan diberbagai tempat, para demonstran membagikan bunga kepada masyarakat, untuk menarik perhatian sekaligus mengambil simpati untuk mendapatkan dukungan.
Menurut Polybius, pada zaman Yunani kuno, lazim rakyat datang untuk berujung rasa di depan Senat, jika ada kebijakan Senat yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Jadi pada awalnya, istilah people power berkonotasi damai.
Istilah ini mulai mendapatkan konotasi baru, saat demo besar-besaran rakyat Philipina menentang pemerintahan otoriter, yang berujung pada tumbangnya rejim Ferdinand Marcos. Di Indonesia, konotasi ini mendapatkan penguatan, ketika istilah people power banyak digunakan oleh rakyat menentang Orde Baru, yang berujung pada tumbangnya rejim Soeharto.
Sejak Arab Spring melanda negara-negara Muslim di Timur Tengah, istilah people power selalu digunakan untuk menyebutkan gerakkan massa, yang menentang para penguasa. Rakyat yang bergerak pada umumnya memiliki tuntutan tunggal, yaitu demokrasi atau bagaimana demokrasi diterapkan di negaranya.
Sementara di sisi lain, pemerintahan yang berkuasa pada umumnya otoriter, meskipun tidak selalu dipimpin oleh militer. Selain itu, pemerintah yang berkuasa cukup lama dan tidak pernah berganti pimpinan, seperti yang dialami Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Libia, Aljazair, dan Sudan. Padahal semua negara ini secara formal berbentuk republik.
Pemerintahan yang berkuasa menerapkan nepotisme, dalam arti kekuasaan dipergilirkan dan/atau jabatan-jabatan penting di pemerintahan hanya pada lingkaran keluarga dan/atau kelompok tertentu saja. Tidak ada pemilu reguler, kalaupun ada maka pemilu dilaksanakan tidak Jurdil, alias abal-abal. Rakyat pada umumnya miskin dan ekonomi sulit, sementara elite yang berkuasa hidup bergelimang kemewahan. Media massa dikendalikan kekuasaan, pemerintahan sangat represif terhadap rakyatnya.
Dari sejumlah negara di Timur Tengah yang mengalami pergolakan politik, akibat masalah-masalah tersebut di atas, ternyata sebagian besar mengalami kegagalan. Ukuran kegagalan antara lain: Pemerintah yang berkuasa semakin represif, atau rakyat semakin miskin, atau kehidupan sosial menjadi kacau dan rakyat kehilangan rasa aman.
Yaman dan Libia selama bertahun-tahun mengalami perang saudara, dan mereka gagal membentuk pemerintahan yang diterima kelompok-kelompok yang bertikai. Banyak rakyat menderita kemiskinan dan kelaparan, mengungsi ke negara lain, bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia akibat perang.
Mesir kini diperintah oleh rejim yang lebih otoriter dibanding rejim yang berkuasa sebelum revolusi. Sementara di Suriah, kelompok pro-demokrasi gagal menumbangkan rejim yang berkuasa, padahal perang saudara bertahun-tahun telah menelan korban dalam bentuk harta-benda, jutaan rakyat yang mengungsi, dan ratusan ribu meninggal dunia.
Hanya Tunisia yang boleh dikatakan berhasil. Rejim otoritarian berganti dan sistem demokrasi berhasil diwujudkan. Akan tetapi kualitas demokrasinya bila dibanding Indonesia, masih jauh tertinggal. Mungkin karena kita lebih dahulu memulainya.
Di dunia Arab, _people power_ analog dengan revolusi. Karena itu, istilah "revolusi" lebih banyak digunakan di sana. Dikarenakan lebih banyak yang gagal dibanding yang berhasil, telah mengakibatkan istilah "people power" atau "revolusi" berkonotasi negatif.
Hal inilah yang memudahkan negara-negara Arab kaya di kawasan Teluk, sangat mudah meredam tuntutan demokrasi dari rakyatnya. Dengan menggunakan politik kemakmuran, dan dengan cara subsidi besar-besaran pada sektor publik dan fasilitas umum terbukti sangat manjur.
Jika pengalaman negara-negara Muslim di Timur Tengah, digunakan untuk bercermin, kemudian mengevalusi proses demokratisasi di tanah air, maka pilihan pada Reformasi dan bukan Revolusi, oleh para tokoh politik kita tahun 1998 sudah sangat benar. Lalu apa bedanya revolusi dibanding reformasi? Reformasi tidak lain dari revolusi diperlambat, atau evolusi dipercepat.
Selama rentang 20 tahun perjalanan Reformasi, sebenarnya sudah banyak yang dicapai. Meskipun demikian, harus diakui masih jauh dari kondisi ideal yang dicita-citakan. Karena itu sejumlah kelompok reformis, meneriakkan kembali people power yang pernah didengungkannya 20 tahun lalu.
Bagi generasi muda yang tidak mengikuti perjalanan reformasi sejak awal, atau bagi mereka yang tidak memahami betapa sulitnya proses demokratisasi, bisa jadi mengalami ketidaksabaran atau bahkan frustasi melihat lambannya kemajuan demokrasi di tanah air, sehingga ingin menempuh jalan pintas, dengan mengabaikan segala resiko yang harus ditanggung oleh seluruh anak bangsa.
Melihat realitas sosial politik yang ada saat ini, sebenarnya mengingatkan kita semua, betapa pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat luas, agar mampu bersikap dan bertindak secara rasional, objektif, dan bijaksana dalam urusan bernegara. []
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi [rmol]