Oleh Nimran Abd, Ketua PB HMI 2006-2008
"Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani : kleptes (pencuri) dan kratos (kuasa), Kleptokrasi ("pemerintahan para pencuri") adalah istilah yang mengacu kepada sebuah bentuk pemerintahan yang mengambil wang pungutan (pajak) yang berasal dari publik/rakyat untuk memperkaya kelompok tertentu atau diri sendiri". (Wikipedia bahasa Indonesia-Ensiklopedia Bebas).
Pemilu yang sudah digelar lazimnya dibanyak negara demokrasi usai dengan sendirinya ketika hasilnya ramai diberitakan oleh lembaga pemantau. Seiring dengan itu pihak yang keluar sebagai pemenang tampil mengucapkan syukur dan rasa terima kasih terhadap segenap rakyat dan para pendukungnya, meskipun jadwal pengumuman dari lembaga resmi mungkin saja masih diperlukan beberapa waktu lagi baru akan diumumkan akan tetapi segenap komponen rakyat sudah bisa menerimanya. Lembaga pemantau yang kredibel adalah alasan bukan hanya bagi rakyat tetapi juga bagi calon yang dinyatakan kalah oleh suara lembaga pemantau dalam menerima hasilnya. Sebaliknya keadaan akan menjadi berbeda apabila pemilu dalam pelaksanaannya ditemukan banyak terjadi kecurangan yang sudah diketahui luas mengandung kecacatan secara syarat-syarat formil prosedural yang telah diletakan sebagai prinsip pokok dalam peraturan perundang-undangan tentang pemilu yang wajib ditaati dalam pelaksanaannya oleh penyelenggara. Protes atas hasil pemilu curang tentu saja mengemuka yang tidak hanya disuarakan oleh calon yang dirugikan melainkan juga oleh segenap rakyat yang merasa suara dan kedaulatannya dikebiri dan curangi. Apakah protes itu dalam bingkai yang normatif semisal penolakan menandatangani hasil rekapitulasi ataupun dalam bentuk aksi massa haruslah dipandang sebagai sarana yang lazim dalam negara demokrasi.
Di Indonesia, pemilu 2019 rupa dan wujud pelaksanaan perhelatanya berubah menjadi momok yang seram dan teramat menakutkan. Hal ini tidak lain ditandainya pemilu dengan massifnya kecurangan, telah memancing protes hingga klimaksnya dengan adanya rencana aksi massa yang diperkirakan terjadi dalam skala besar jelang dan pada saat tibanya jadwal pengumuman hasil oleh KPU. Nurani keadilan sosial dari rakyat yang merasa kedaulatannya telah dicabik-cabik oleh rezim kleptokrasi seolah menemukan tempat pelampiasan. Semua instrumen pemerintah berada dalam situasi panik dan tidak menduga reaksi atas kecurangan yang menguntungkan calon petahana begitu kuat dan keras disuarakan segenap rakyat. Kementerian negara dan aparat kepolisian tampil beringas, menangkap dan menjerat setiap orang yang dianggap lawan dan membahayakan pemerintah. Pemerintahan negara seolah kehilangan kewarasan dan lepas kendali hingga luput memaknai aksi protes rakyat dengan penuh sikap arif dan bijaksana. Padahal sejatinya alasan atau protes rakyat adalah murni ditujukan kepada lembaga penyelenggara, bukanlah terhadap pemerintah sehingga sangatlah arogan menjerat rakyat dengan ketentuan makar.
Adalah lumrah dan beralasan rakyat menilai penyelewengan pelaksanaan pemilu oleh penyelenggara adalah sebuah design besar yang datang dari pemerintah. Memang nyatanya demikian, apalagi adanya calon petahana dari pejabat tinggi pemerintahan negara yang tengah menjabat. Setiap rakyat dinegara ini tidak dapat mengelak ada dan terjadinya kecurangan secara telanjang bulat dihadapan mata, bahkan dalam skala terkecil sekalipun telah diakui oleh Bawaslu melalui suatu putusan resmi dari pengaduan dan telah disidangkan tersebut.
Kondisi anomali ini jelas berbuah krisis politik. Dua elemen pokok negara tengah vis a vis dalam haluan yang berbeda secara tajam. Rakyat dan pemerintah untuk kali kesekiannya diuji sejarah, apakah kekuasaan mampu untuk bertahan ataukah harus menerima takdirnya mengakui kedaulatan rakyat? Bisakah pemerintahan suatu negara dapat berjalan efektif tanpa adanya legitimasi rakyat? Hari-hari mendatang negeri ini akan melalui masa-masa yang teramat sulit, melalui krisis tanpa bayangan untuk sampai pada sebuah titik equilibrum. Akhirnya tulisan singkat ini hanya sampai pada kedua pertanyaan diatas.[tsc]